Memahami Alasan Gen Z Menuntut ”Work Life Balance”
Sebanyak 95 persen gen Z menyatakan ”work life balance” adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO, DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Generasi Z sering dicap oleh generasi senior sebagai orang yang tidak berdedikasi tinggi pada pekerjaannya, sering mengeluh, dan mudah mengundurkan diri. Di tempat kerja, mereka kerap beralasan suasana kerjanya tidak mendukung keseimbangan antara persoalan pekerjaan dan pribadi atau biasa dikenal dengan istilah work life balance.
Hal ini tergambar dalam survei Jakpat kepada 1.262 responden gen Z berusia 18-20 tahun pada Februari 2024. Sebanyak 95 persen gen Z menyatakan work life balance adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja.
Mereka membutuhkan work life balance karena ingin memiliki mental yang sehat. Dengan work life balance, mereka bisa menambah antusiasme pada pekerjaan, mengurangi stres, meningkatkan kinerja, memperbaiki kesehatan fisik, memperbanyak jejaring sosial, hingga memenuhi hobi. Adapun lima persen gen Z lainnya menyatakan tidak memerlukan work life balance karena merasa mencari pekerjaan saja sudah susah.
Hal ini justru menjadi pemantik bagi generasi senior yang kini menjadi bos untuk lebih peduli pada karyawannya.
Selain berharap bisa menerapkan work life balance, aspek penting lain bagi gen Z saat mempertimbangkan perusahaan ideal adalah lingkungan yang aman dan mendukung, peluang pengembangan karier, dan atasan yang mendukung pengembangan pribadi. Jika semua aspek terpenuhi, gen Z akan sangat loyal pada perusahaan.
”Gen Z cenderung mencari pekerjaan yang menawarkan fleksibilitas, seperti kerja jarak jauh atau jadwal kerja yang fleksibel dengan gaji yang memuaskan,” kata Septiana Widi Sugiastuti, peneliti di Jakpat, Kamis (1/8/2024).
Selain work life balance, mereka menginginkan gaji yang ideal. Namun, dalam kenyataannya, kondisi ideal jarang tercapai di banyak perusahaan di Indonesia. Tak heran, 3 dari 10 gen Z hanya bekerja paling lama satu tahun sampai dua tahun di tempat kerja yang sekarang.
Satu hal lain yang dipertimbangkan gen Z adalah rasa malu jika perusahaan tempatnya bekerja tidak peduli dengan isu lingkungan dan sosial. Sebanyak 64 persen responden gen Z dalam survei ini mengaku sangat peduli terhadap hal itu.
Salah seorang gen Z, Faqihah Muharroroh Itsnaini (25), menyampaikan, gen Z di Jakarta merasa sangat sulit untuk menerapkan work life balance. Status pekerjaannya sebagai wartawan memaksanya untuk terus ”siaga” 24 jam seminggu sehingga saat hari libur pun, pikirannya masih di pekerjaan.
Faqihah hanya menginginkan kerja lima hari dalam seminggu, tidak ada jam lembur atau kalaupun lembur, ada apresiasi dari perusahaan, dan gaji yang ideal. Namun, dia sadar, work life balance hanyalah mimpi baginya.
”Yang gue minta ini, kan, hanya standar minimum sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan pada perusahaan swasta yang sehat, ya. Enggakmuluk-muluk, kok,” kata Faqihah.
Untuk mengakali itu, dia berupaya untuk tetap bekerja tetapi hanya sesuai standar agar hidupnya tidak terbebani. Saat libur, dia menghabiskan waktu seharian di kamar sambil menonton film atau keluar rumah bertemu teman-teman sebelum kembali ke realitas pekerjaan.
Begitu pula dengan Maria Wardani (26), seorang pekerja di Jakarta. Work life balance menjadi aspek penting baginya sekarang dalam memilih pekerjaan baru setelah diberhentikan dari tempat kerja lamanya. Dia akan mempertimbangkan lamanya jam kerja, budaya kerja, dan pengembangan karier yang jelas untuk pekerjaan selanjutnya, sedangkan masalah gaji menjadi pertimbangan kedua jika tempat kerjanya mampu mendukung work life balance.
”Jangan sampai kita kerja terus tetapi lupa menyayangi diri sendiri. Work life balance juga jadi pertimbanganku buat cari kerja. Makanya, penting banget buat nanya budaya perusahaan. Sekalipun kerja, aku masih bisa melakukan aktivitasku yang lain, misalnya olahraga,” kata Maria.
Menurut Maria, tempat kerja yang lama sebenarnya hanya memberikan gaji sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta. Namun, tempat kerja tersebut masih memungkinkan untuk ia mengambil pekerja sambilan di tempat lain.
”Jadi, sebisa mungkin, misalnya, mau work life balance, ya, cari kegiatan di luar main job (pekerjaan utama) yang produktif. Uang enggak hanya didapat dari main job saja,” tuturnya.
Psikolog dari Universitas Atma Jaya, Jakarta, Eunike Sri Tyas Suci, menilai, pandangan gen Z terhadap pekerjaan ideal itu tidak salah karena generasi ini lebih melek digital daripada generasi sebelumnya sehingga pengetahuannya tentang dunia kerja yang ideal lebih baik. Hal ini justru menjadi pemantik bagi generasi senior yang kini menjadi bos untuk lebih peduli pada karyawannya.
”Kehidupan ideal yang diimpikan adalah hal yang wajar dan bahkan perlu ada pada setiap orang. Karena dengan punya mimpi, maka individu akan berupaya untuk mencapainya,” kata Eunike.
Namun, Eunike berpesan, gen Z juga perlu mengukur diri dan modal sosial untuk mencapai kondisi ideal tersebut. Seseorang harus bisa mengukur mimpi agar menjadi realistis untuk tercapai agar ketika gagal dia bisa menyusun rencana untuk bangkit kembali.
Ekosistem pendidikan juga perlu memberi ruang bagi siswa atau mahasiswa untuk lebih kreatif mengembangkan dirinya. Sebab, sangat mungkin mereka belum memiliki strategi untuk meraih mimpi atau bahkan tidak memiliki mimpi sama sekali.
”Apalagi kalau gen Z berada di lingkungan yang kurang menantang. Entah dari keluarga berada atau dari orangtua yang pernah menderita kesulitan hidup sehingga berprinsip ’jangan lagi terjadi pada anakku’ sehingga mudah memberi semua kebutuhan pada anak-anak yang sebenarnya kurang mendidik,” ujarnya.
Oleh karena itu, alasan-alasan memperjuangkan work life balance bagi para gen Z ini menjadi masuk akal sebagai generasi yang lebih sadar akan kesehatan mental dan kehidupan yang ideal. Menjadi tidak adil rasanya jika melabeli mereka sebagai generasi lemah atau dalam bahasa kekinian disebut fragile, alih-alih memperbaiki sistem ketenagakerjaan untuk menjadi ideal.