”Mooring Buoy” Lindungi Periuk Warga Raja Ampat
”Mooring buoy” dipasang di Raja Ampat untuk menjaga ekosistem terumbu karang dan mencegah kerusakan laut oleh kapal.
Teknologi dan inovasi mooringbuoy dipasang di kawasan konservasi perairan Raja Ampat. Harapannya, semua bisa mencegah potensi kerusakan yang bisa merugikan semua kalangan di Bumi ini.
Ada suasana berbeda di rumah Derek Waiyai (60), warga Kampung Friwen, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Jumat (7/6/2024). Teras rumah ketua adat setempat itu dipadati 20 warga.
Sebuah meja kecil ditaruh di beranda rumah dipenuhi sembilan piring berbagai ukuran. Ada yang berisi ikan goreng, pisang rebus, koin, hingga sirih dan pinang. ”Kita akan mengadakan kakes,” kata Derek.
Kakes adalah semacam hajat Bumi yang dilakukan warga setempat. Kebetulan, hari itu ada momen penting. Dua mooringbuoy atau tambat labuh kapal hendak dipasang di Pulau Friwen dan Pulau Mioskon. Berada di perairan Raja Ampat, kedua pulau itu dikenal dunia lewat wisata terumbu karangnya.
Mooring buoy biasanya dipasang di tengah laut supaya kapal tidak merapat di kedalaman yang dangkal. Di Raja Ampat, harapannya alat ini bisa mencegah kapal yang hendak berlabuh menabrak terumbu karang.
Baca juga: Pertama di Indonesia, Terumbu Karang Raja Ampat Dilindungi Sistem ”Mooring”
Bertelanjang dada dan menabuh tifa, Derek memimpin kakes. Di belakangnya ada lima kerabat membawa piring sesaji.
Setelah diberkati di gereja, sesaji itu lantas dibawa ke tengah laut. Sebagian dilarung. Sebagian lainnya dibawa ke kapal landing craft transport (LCT), yang akan digunakan untuk memasang mooringbuoy di tengah laut.
”Kami berharap arwah leluhur di dasar laut melindungi pemasangan mooringbuoy ini,” katanya.
Bukan tanpa alasan Derek dan warga di Pulau Friwen berharap banyak pada mooring. Mereka berharap, mooring bisa ikut menjaga ekosistem terumbu karang yang merupakan harta paling berharga di Raja Ampat.
”Selama bertahun-tahun, kami bersama masyarakat Mioskon menantikan momen ini. Akhirnya ada sebuah alat pelindung terumbu karang yang mendukung sektor pariwisata di sini,” ungkap Derek.
Pemasangan mooringbuoy ini adalah bagian dari kolaborasi Konservasi Indonesia, Dinas Pertanian, Pangan, Kelautan dan Perikanan Papua Barat Daya, serta Pemkab Raja Ampat. Pendanaan penyediaan mooring diinisasi Global Fund for Coral Reefs.
Baca juga:Kapal Wisata Kini Tak Bisa Sembarangan Lepas Jangkar di Raja Ampat
Direktur Program Konservasi Indonesia (KI) Papua Roberth Mandosir menuturkan, mooring ini yang pertama di Indonesia untuk tujuan konservasi. Pemasangannya berkaca pada seringnya kapal kandas dan nakhoda melepaskan jangkar secara sembarangan. Aktivitas itu merusak terumbu karang, termasuk di Raja Ampat.
Salah satu kejadian yang menjadi buah bibir dunia ialah ketika kapal pesiar Caledonian Sky dengan ukuran 4.280 gros ton (GT) yang kandas menabrak terumbu karang di sekitar Pulau Manswar, Raja Ampat, pada 4 Maret 2017. Akibatnya, terumbu karang di area seluas 1.600 meter persegi rusak.
Baca juga: Kapal Caledonian Sky Tak Layak Berlayar di Lautan Dangkal
Selesai Derek melakukan prosesi adat, pemasangan pun dimulai sekitar pukul 10.00 WIT. Menggunakan kapal LCT, dua perangkat mooringbuoy dibawa ke laut lepas. Mooring buoy untuk Pulau Friwen ditempatkan 680 meter dari pantai dengan kedalaman 44 m. Adapun untuk di Pulau Mioskun ditempatkan sejauh 610 m dari pantai dengan kedalaman 48 m.
Jarak antara kedua alat itu 3,6 kilometer. Jarak ini dianggap ideal untuk melindungi terumbu karang di sekitar dua pulau itu.
Setiap mooringbuoy memiliki dua jangkar yang masing-masing beratnya 480 kilogram. Selain jangkar, bagian lainnya adalah buoy yang mengapung, tali anchorplait, serta rantai.
Mooring buoy di dua lokasi tersebut diperuntukkan bagi kapal dengan ukuran tidak lebih dari 700 GT. Artinya, alat itu ikut membatasi kapal berukuran di atas 700 GT berlabuh di kawasan konservasi Raja Ampat.
Kawasan konservasi
Kepala Dinas Pertanian, Pangan, Perikanan, dan Kelautan Papua Barat Daya Absalom Salossa mengatakan, keberadaan mooring buoy sangat penting bagi masa depan Bumi ini. Perlindungan kawasan Raja Ampat berkontribusi besar bagi keberadaan 75 persen karang dunia.
Data Konservasi Indonesia menyebutkan, perairan Raja Ampat memiliki 553 spesies karang, 1.661 spesies ikan, 4 spesies penyu, dan 14 spesies mamalia laut. Salah satu yang terkenal adalah 1 spesies duyung atau dugong.
Mooring buoy biasanya dipasang di tengah laut supaya kapal tidak merapat di kedalaman yang dangkal.
Semua kekayaan alam laut tersebut tersebar di empat kawasan konservasi perairan dan satu cagar alam laut yang dikelola pemerintah pusat dan Pemprov Papua Barat Daya. Total luas lima kawasan ini mencapai 1,9 juta hektar.
Lima kawasan konservasi tersebut adalah Kawasan Konservasi Nasional Kepulauan Raja Ampat, Kawasan Konservasi Nasional Waigeo Sebelah Barat, Kawasan Konservasi Daerah Raja Ampat, Kawasan Konservasi Daerah Misool Utara, dan Cagar Alam Laut Kofiau.
”Selain untuk konservasi alam, mooringbuoy vital untuk mengelola pariwisata berkelanjutan di Raja Ampat. Pariwisata adalah piring makan atau sumber penghasilan masyarakat Raja Ampat,” tutur Absalom.
Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Dinas Pariwisata Raja Ampat Ina Rumbekwan menuturkan, ada lebih kurang 200 pelaku usaha penginapan. Semuanya warga asli Raja Ampat.
Data Badan Layanan Umum Daerah Pengelola Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat menunjukkan, ada 150 kapal wisata yang masuk ke Raja Ampat saat musim kunjungan, dari Oktober hingga April. Jumlah wisatawan ke Raja Ampat pada tahun 2023 mencapai lebih kurang 24.000 orang. Mereka mayoritas menuju sekitar 200 titik penyelaman.
”Masyarakat selaku pelaku usaha wisata sangat merindukan fasilitas ini. Mereka mendukung penuh pemerintah dan lembaga terkait yang telah menyediakan fasilitas ini,” ungkap Ina.
Baca juga: Sistem ”Mooring” Menjaga Jantung Segitiga Karang Dunia di Raja Ampat
Kini, pemda setempat sudah membentuk Kelompok Kerja Raja Ampat Mooring System (RAMS), yang terdiri dari sejumlah instansi terkait dan lembaga mitra. Pokja ini menyusun tata kelola penggunaan fasilitas tambat, jalur rute kapal, hingga retribusi jasa layanan.
Replikasi
Sehari setelah dipasang, mooringbuoy langsung digunakan. Pada Sabtu (8/6/2024), MV Aldo menjadi yang pertama menambatkan talinya di perairan Pulau Mioskun. Kapal motor berukuran 28 GT itu dinakhodai Kapten Yosina Padwa. Ia hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saat memasang tali tambat kapal.
Roberth mengatakan, targetnya bakal ada 107 mooring di kawasan konservasi perairan di Raja Ampat. Ia berharap kisah sukses mooring di Raja Ampat bisa diterapkan di area konservasi perairan lainnya, tidak hanya Papua, tapi juga banyak daerah lainnya di Indonesia.
”Proyek ini akan dievaluasi setelah enam bulan. Harapannya bakal semakin banyak digunakan untuk menyeimbangkan fungsi ekonomi dan lingkungan berkelanjutan di sekitar kawasan konservasi,” ujar Roberth.
Melindungi perairan Raja Ampat dengan inovasi teknologi tidak hanya berdampak positif bagi masa depan lingkungan dan pariwisata Indonesia saja, tetapi juga kelestarian ekosistem perairan dunia.