”Influencer” Dilarang Promosi Produk Susu Formula di Media Sosial
Sebesar 81,4 persen proses ibu menyusui di Indonesia terganggu susu formula. Ini disebabkan promosi yang serampangan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo resmi memasukkan pemengaruhmedia sosial atau influencerdalam daftar orang yang tidak boleh mempromosikan susu formula kepada masyarakat. Hal ini dilakukan agar angka menyusui secara eksklusif bagi ibu di Indonesia meningkat demi menghasilkan generasi masa depan yang baik.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang baru diterbitkan pekan ini sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang tentang Kesehatan No 17/2023.
Pasal 33 dalam PP Kesehatan tersebut dengan tegas melarang produsen atau distributor susu formula (sufor) bayi dan/atau produk pengganti ASI lainnya melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian air susu ibu eksklusif, salah satunya berupa penggunaan pemengaruh untuk promosi produk.
”Dilarang menggunakan tenaga medis, tenaga kesehatan, kader kesehatan, tokoh masyarakat, dan pemengaruh media sosial untuk memberikan informasi mengenai susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya kepada masyarakat,” tulis PP yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 26 Juli 2024.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2018 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan menunjukkan, sekitar 81,4 persen proses menyusui terganggu karena penggunaan susu formula tanpa indikasi medis. Secara global, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-Anak (Unicef) pada tahun 2018 mengungkapkan angka menyusui eksklusif hanya 64,5 persen.
Oma-oma, para suami, harus bisa lebih sadar tentang memberikan dukungan yang positif kepada ibu yang menyusui dan anak-anaknya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Lianita Prawindarti menilai, data ini mengkhawatirkan karena ibu yang tak teredukasi mengenai menyusui dengan baik mudah beralih ke sufor. Padahal, larangan memberi sufor kepada bayi tanpa indikasi medis tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya.
”Ketika menggunakan sufor tanpa indikasi medis, biasanya hal itu menjadi pintu gerbang untuk terhentinya proses menyusui. Ini data yang harus kita garisbawahi,” kata Lianita dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (31/7/2024).
Angka gangguan penggunaan sufor yang meningkat ini selaras dengan nilai pasar sufor di Indonesia yang juga meningkat hingga 96 persen dari 2009 sampai 2014. Bahkan pada 2022 nilai pasar sufor mencapai 2,8 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 45,5 triliun. Nilai ini diperkirakan masih akan naik hingga 5,1 dollar AS pada tahun ini.
Oleh karena itu, AIMI mendorong pemerintah untuk mempertegas implementasi peraturan, terutama pada upaya penegakan kode internasional pemasaran pengganti ASI. Dalam permenkes telah ditegaskan bahwa sufor hanya bisa diberikan kepada bayi dengan indikasi medis, ibu tidak ada, atau ibu terpisah dari bayi.
Indikasi medis yang dimaksud meliputi kelainan metabolisme bawaan, antara lain, galaktosemia, penyakit kemih, dan fenilketonuria. Selain itu, sufor bisa diberikan kepada bayi prematur, lahir dengan berat badan di bawah 1,5 kilogram, dan berisiko hipoglikemia. Hal ini demi melindungi anak-anak dari pelambatan pertumbuhan dan bahaya beragam penyakit penyerta.
Penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menegaskan, sufor tidak berdampak terhadap pertumbuhan bayi yang dalam kondisi sehat. Di sisi lain, pemasaran susu formula makin masif mengganggu penanganan tengkes. WHO mencatat, produsen sufor bisa mengiklankan produknya 90 kali per hari dengan jumlah total pembaca 229 juta pengguna media sosial.
”Sekali lagi, edukasi dan pendampingan penting untuk memastikan agar semua ibu menyusui dengan benar. Kalaupun harus menggunakan sufor karena indikasi medis, hal tersebut juga harus diberikan secara tepat,” ucapnya.
Pekan Menyusui Sedunia
Pekan Menyusui Sedunia yang diperingati setiap tanggal 1 sampai 7 Agustus, tahun ini dimaknai sebagai momentum melawan gencarnya promosi sufor yang kian masif.
Dengan mengusung tema ”Closing the Gap” atau ”Memperkecil Kesenjangan”, peringatan ini juga menyoroti pentingnya memberikan kesempatan sama bagi setiap ibu untuk menyusui bayinya dan berfokus pada edukasi masyarakat tentang kesenjangan yang terjadi dalam praktik dukungan menyusui, terutama yang masih dialami kelompok rentan.
Ketua Umum AIMI Nia Umar mengatakan, upaya meningkatkan cakupan angka menyusui di Indonesia merupakan tugas semua pihak, bukan hanya ibu. Pembagian peran mengurus anak antara suami dan istri, termasuk juga kakek dan nenek, yang seimbang sangat penting dalam memastikan anak tumbuh dan berkembang dengan baik.
”Oma-oma, para suami, harus bisa lebih sadar tentang memberikan dukungan yang positif kepada ibu yang menyusui dan anak-anaknya,” kata Nia.
Tak hanya di lingkungan terkecil, menjaga kualitas menyusui seorang ibu juga menjadi tanggung jawab pemerintah dengan kebijakannya. Terbaru, pemerintah telah mengeluarkan aturan cuti enam bulan setelah melahirkan melalui Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA).
Dengan aturan tersebut, ibu dan ayah diharapkan bisa mendukung secara optimal tumbuh kembang anak pada fase seribu hari pertama kehidupan. Hal itu termasuk terkait dengan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, pemberian perawatan dan pendampingan selama masa awal kehidupan anak, dan kebutuhan lain untuk kesejahteraan ibu.
”Kami apresiasi sekali kebijakan ini, semoga bisa benar-benar dijalankan, ada monitoring secara berkala, dan kalau ada sanksinya benar ditegakkan sesuai amanat undang-undangnya,” tutur Nia.