Apa pun dilakukan Wagi demi anaknya, termasuk menyerahkan ginjalnya. Masalah biaya ia pikirkan belakangan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
Wagi Wahyono melangkah tergesa-gesa saat memasuki rumah sakit. Tanpa keraguan, ia langsung berjalan mengambil nomor antrean di lobi, lalu menuju ke lantai dua lokasi poli kardiovaskular untuk konsultasi kesehatan jantung. Pria 40 tahun ini tidak sakit, tetapi sedang dalam masa persiapan sebelum mendonorkan ginjalnya untuk sang buah hati.
Saat anaknya, Hadiid Fathir Ramadhan (15), disarankan untuk transplantasi ginjal, Wagi tidak berpikir panjang. Wagi dan istri langsung mengajukan diri untuk memberikan ginjalnya kepada sang anak. Namun, setelah diperiksa, istri dinyatakan tidak bisa karena alasan kesehatan, sementara Wagi bisa.
Hadiid divonis mengalami gangguan ginjal sindrom nefrotik glomerulonefritis (peradangan pada bagian ginjal) sejak usia 2 tahun hingga akhirnya gagal ginjal. Sejak Desember 2023, dia menjalani tindakan cuci darah dengan metode hemodialisis. Setiap dua kali seminggu, darahnya dikeluarkan dari tubuh melalui mesin dialyzer yang bertindak sebagai ginjal buatan untuk membersihkan dan mengembalikan darah kembali ke tubuh.
Saya mau melihat anak saya seperti anak-anak lain saja, bisa beraktivitas di sekolah dan main, itu saja.
Sementara Hadiid berjuang dengan cuci darah, dalam dua bulan terakhir Wagi sibuk mempersiapkan kesehatan fisik dan mental untuk operasi transplantasi ginjal. Setidaknya ada enam poin persyaratan dan prosedur yang harus dilalui Wagi sebelum mendonorkan ginjalnya.
Mulai dari konsultasi dengan dokter penanggung jawab pelayanan donor ginjal dan konsultasi kesehatan jantung. Kemudian menjalani pemeriksaan ultrasonografi (USG) ginjal dan saluran kemih, CT scan angiografi koroner, cek darah di laboratorium, serta menyinkronkan dengan pemeriksaan kesehatan sang anak.
”Sejauh ini alhamdulillah sudah beberapa dilalui dan aman, dokter bilang tetap jaga kesehatan, pola makan, dan olahraga seimbang sebelum operasi nanti Agustus akhir atau awal September,” kata Wagi di ruang tunggu sebuah rumah sakit di Jakarta, Kamis (25/7/2024).
Beban di pundak Wagi tak hanya itu, dia masih harus memikirkan biaya operasi yang diperkirakan mencapai hampir Rp 1 miliar dan tidak bisa ditanggung BPJS Kesehatan karena ia peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sementara pekerjaan hanya karyawan kontrak yang penghasilannya sekitar 4 juta per bulan dan istri tidak bekerja. Membayangkan memiliki uang sebanyak itu pun ia merasa tak mampu.
Untuk mengatasi itu, Wagi langsung mengubah status kepesertaan BPJS empat anggota keluarganya menjadi Non-PBI atau mandiri. Dengan begitu, mereka harus membayar Rp 600.000 setiap bulan yang menambah beban ekonomi rumah tangga selain harus membayar rumah kontrakan di Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara; biaya listrik, transportasi, dan kebutuhan dapur.
Namun, masalah ini dikesampingkannya atas kecintaannya kepada Hadiid, Berbagai upaya, seperti mencari pekerjaan tambahan hingga berutang, dilakukannya. Uluran tangan dari kelompok atau individu pun tak kuasa mereka tolak.
”Ya sudah, mau bagaimana lagi, sekarang apa pun untuk anak, itu yang terpenting. Saya mau melihat anak saya seperti anak-anak lain saja, bisa beraktivitas di sekolah dan main, itu saja. Walau transplantasi itu bukan menyembuhkan, tetapi menstabilkan kondisi anak,” ucap Wagi sambil memegang foto Hadiid dalam berkas pemeriksaan kesehatan.
Wagi mengakui, pola hidup tidak sehat anaknya juga turut membuat kondisi anak pertamanya ini memburuk. Kesibukan Wagi dan istrinya dalam pekerjaan membuat pola makan anaknya tidak terawasi. Saat balita, Hadiid sangat sering mengonsumsi susu dalam kemasan yang banyak mengandung gula.
”Namanya anak kecil, kalau pas main sama teman-temannya sering bawa makanan gitu, otomatis kan pada ikut-ikutan. Kadang juga dibeliin sama saudara, kami tidak menyalahkan dan sudah menerima jalannya seperti ini. Kami terima apa adanya,” tuturnya.
Rutinitas cuci darah mengganggu aktivitas Hadiid. Ia tidak bisa lagi berlarian dengan teman-temannya karena mudah lelah, apalagi ada selang kateter yang selalu terpasang di dadanya. Bocah yang baru lulus SMP ini pun terpaksa menunda ke jenjang SMA karena harus fokus pada penyembuhan.
Kondisi Hadiid menjadi pelajaran besar bagi mereka. Kesalahan yang sama tidak akan diulangi pada pengasuhan anak keduanya yang masih berusia 3 tahun. Sekarang, setiap suap makanan yang akan masuk ke mulut anaknya harus dengan sepengetahuan Wagi dan istri.
Transplantasi ginjal anak bukan hal baru di Indonesia. Sudah sejak 2013, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, bisa melakukannya. Proses operasinya tidak jauh berbeda dengan operasi transplantasi ginjal dewasa yang sudah dilakukan rumah sakit rujukan nasional ini sejak 2010.
Kepala Divisi Nefrologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Eka Laksmi Hidayati mengatakan, hal ini merupakan upaya pemerintah untuk menjamin pelayanan kesehatan dengan menyediakan fasilitas terbaik sehingga masyarakat tidak perlu lagi transplantasi ginjal ke luar negeri. Sejauh ini sudah ada 37 pasien anak yang menjalani operasi transplantasi ginjal di RSCM.
”Untuk transplantasi itu lebih rumit. Dia terkait dengan teknik operasinya, persiapannya, dan memang terutama dengan pelaksanaan operasinya karena pada anak kecil ginjalnya juga kecil, pembuluh darahnya kecil, sehingga perlu dokter bedah yang jam terbangnya sudah lebih tinggi untuk mengerjakan ini,” kata Eka.
Setelah operasi, pendonor dan penerima donor akan dipantau proses pemulihannya. Sebab, tubuh akan beradaptasi terhadap organ barunya sehingga memengaruhi fisiknya. Kondisi ini bisa dilihat dari warna air seni yang bagus atau tidak lagi mengandung darah, serta tekanan darahnya juga mendekati normal.
Eka menegaskan, tidak ada lonjakan kasus gangguan ginjal kronis pada anak di RSCM. Kasus yang ditangani saat ini merupakan kasus kumulatif dari tahun-tahun sebelumnya. Di RSCM setidaknya ada 60 anak yang menjalani terapi dialisis secara rutin. Sebanyak 30 kasus di antaranya mendapatkan terapi hemodialisis. Adapun usia yang paling banyak membutuhkan dialisis ditemukan pada usia di atas 12 tahun.
Sementara ini belum ada data nasional dari Kementerian Kesehatan tentang kejadian gangguan ginjal kronis pada anak. Namun, mengutip data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 2017, setidaknya ada 212 anak di 14 rumah sakit pendidikan dengan konsultan nefrologi anak yang mengalami gagal ginjal dan menjalani terapi pengganti ginjal.
Angka kematian anak-anak dengan gagal ginjal tersebut mencapai 23,6 persen. Risiko kematian pada anak dengan gangguan ginjal kronis stadium akhir (gagal ginjal) 30 kali kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak pada populasi umum.