Mematung di Galnas Melepaskan Diri dari Belenggu Rutinitas
Membuat patung tidak sekadar berkesenian. Bagi sebagian orang, mematung menjadi “pelarian” untuk lepas dari rutinitas.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Terik menyengat Jakarta, Sabtu (27/7/2024). Matahari tepat di atas kepala. Ratusan orang menembus cuaca panas demi menghabiskan akhir pekan di Galeri Nasional (Galnas). Sebagian dari mereka larut berkotor-kotor ria untuk melepaskan diri dari belenggu rutinitas.
Noda putih sisa-sisa tanah liat yang mengering masih menempel di jari-jari Amandanu Bramantya (23). Matanya menatap tajam patung berupa putri duyung di atas meja. Sebilah bambu digoreskan untuk membuat bentuk rambut. Dua jam sebelumnya, patung itu hanyalah sebongkah tanah liat.
Secara visual dan kelengkapan anatomi, patung setinggi sekitar 30 sentimeter itu mempunyai banyak kekurangan. Bentuk mata dan mulutnya tidak jelas. Perbandingan dimensi kepala dan tubuhnya juga kurang proporsional.
Maklum saja, Amandanu bukanlah seorang pematung. Patung putri duyung itu merupakan karya patung pertama sepanjang hidupnya. Pengalaman perdana ini diperoleh dalam lokakarya patung, lukis, dan cukil dalam pameran “Patung dan Aktivisme: Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso”. Pameran berlangsung hingga 19 Agustus 2024.
Bahkan, sudah sekitar 10 tahun mahasiswa Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia itu tidak pernah memegang tanah liat. Beberapa bulan terakhir ia disibukkan mengikuti koasistensi atau koas di rumah sakit di Jakarta.
“Selain menyalurkan kreativitas, mengikuti lokakarya mematung ini juga sebagai cara melepaskan diri dari rutinitas. Meskipun hanya sejenak, tapi sangat berguna untuk menyegarkan pikiran,” ujarnya.
Dalam membuat patung, Amandanu tidak terikat oleh pakem berkesenian. Idenya mengalir begitu saja. Lalu ide itu diwujudkan dalam bentuk yang menjadi obyek patung.
Rancangan dalam mematung pun tidak selalu berjalan mulus. “Ide awalnya justru bukan mau membuat patung putri duyung. Namun, karena saya kesulitan membuat bagian kakinya, bagian bawahnya dibuat seperti ekor ikan. Maka jadinya seperti putri duyung,” ujarnya disertai tawa.
Membuat patung cukup menyenangkan. Sebab, ia bebas menuangkan gagasan-gagasan di kepalanya menjadi sebuah karya.
Bagi Amandanu, membuat patung lebih dari sekadar berkreativitas. Selama dua jam ia berlatih untuk bersabar dan mengelola emosi. Sebab, jika terburu-buru, beberapa bagian patung, seperti tangan, rawan patah karena tidak cukup kuat merekat pada bagian tubuh yang lebih besar.
“Dan selama dua jam itu juga bisa lepas dari gawai. Jadi, lokakarya ini sekaligus melatih fokus. Setelah selesai baru pegang handphone untuk memotret hasilnya (patung),” ucapnya.
Mengikuti lokakarya membuat patung juga menjadi “pelarian” bagi Mildah (24) untuk lepas dari rutinitasnya. Setiap pagi, dari Senin-Jumat, ia harus berdesak-desakan di gerbong kereta rel listrik (KRL) dari rumahnya di Bogor menuju kantornya di Kalibata, Jakarta.
“Hampir selalu enggak kebagian tempat duduk. Begitu juga pulangnya (dari kantor menuju rumah) selalu berdiri di KRL. Jadi, rutinitas kerja sangat melelahkan. Itulah pentingnya refreshing di akhir pekan,” katanya.
Siang itu, pegawai negeri sipil di salah satu kementerian tersebut membuat patung dengan tema unjuk rasa. Obyek utama patungnya berupa figur yang sedang berorasi.
Figur tersebut mengangkat tangan kiri. Sementara tangan kanannya memegang buku. Di sekelilingnya terdapat enam figur lain berupa kepala manusia.
Mildah menuturkan, ide patung tersebut muncul begitu saja. Ia hanya teringat dengan teman-temannya di masa kuliah saat berunjuk rasa.
“Dulu teman-teman saya kalau berdemonstrasi selalu mengangkat dan mengepalkan tangan kiri. Ingatan itu melintas begitu saja. Saya mencoba membuat patungnya,” ucapnya.
Menurut Mildah, membuat patung cukup menyenangkan. Sebab, ia bebas menuangkan gagasan-gagasan di kepalanya menjadi sebuah karya. Waktu dua jam yang dihabiskan pun terasa sangat sebentar.
“Mungkin lokakarya seperti ini bisa menjadi cara untuk mencegah stres. Kita berkarya sambil bersenang-senang. Bagus tidaknya karya yang dihasilkan bukan yang utama,” jelasnya.
Memperbanyak ruang kreativitas
Selama lokakarya, Budi Santoso mondar-mandir menghampiri peserta mematung berbahan tanah liat. Beberapa kali ia mengajak peserta berdialog. Apalagi banyak peserta yang merenung terlalu lama sebelum memulai berkarya.
Budi menekankan, inspirasi membuat patung bisa datang dari mana saja. Yang paling mudah adalah membentuk tubuh sendiri. Sebab, hampir setiap hari manusia bercermin dan memperhatikan bentuk tubuhnya masing-masing.
Di meja lainnya, Dolorosa Sinaga berpindah-pindah tempat duduk mendampingi peserta lokakarya patung berbahan aluminium foil. Ia meminta peserta untuk tidak ragu dan takut dalam membentuk aluminium foil tersebut.
“Jangan ragu-ragu. Jangan takut aluminium foilnya robek. Kalau belum sesuai, coba lagi. Kalau sudah bisa, ulangi terus,” katanya.
Menurut Budi, banyak anak muda tertarik untuk belajar mematung. Namun, ruang kreativitas mematung, seperti dengan menggelar lokakarya, perlu diperbanyak.
“Ruang-ruang seperti ini perlu terus ditumbuhkan. Mematung seperti membawa kita kembali ke masa kecil untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan. Berkesenian juga menyegarkan pikiran,” ucapnya.