Apa yang Perlu Kita Waspadai dari Penyakit Gagal Ginjal?
Penyakit ginjal sering kadang tanpa gejala. Namun, insidensi dan beban yang ditimbulkan sangat tinggi.
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
- Kasus gagal ginjal di Indonesia terdeteksi meningkat, dari manakah datanya?
- Mengapa penyakit gagal ginjal sulit terdeteksi?
- Apa saja penyebab dari gagal ginjal?
- Anak-anak pun kini mengalami gangguan ginjal, mengapa bisa demikian?
- Bagaimana caranya meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal?
Kasus gagal ginjal di Indonesia terdeteksi meningkat, dari manakah datanya?
Kementerian Kesehatan mencatat pembiayaan untuk penyakit gagal ginjal pada 2018 mencapai Rp 1,9 triliun. Jumlah itu meningkat menjadi Rp 2,7 triliun pada 2019. Sementara pada 2020 tercatat sebesar Rp 2,2 triliun. Penurunan pada 2020 dinilai terjadi karena menurunnya kunjungan pasien ke rumah sakit akibat pandemi Covid-19.
Selain itu, data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga menunjukkan adanya tren peningkatan pada pelayanan gagal ginjal dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Setidaknya itu tampak dari biaya pelayanan CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis) dan hemodialisis (HD).
Baca juga: Pembiayaan untuk Penyakit Gagal Ginjal Terus Meningkat
Pada 2018, biaya untuk CAPD sebesar Rp 143,3 miliar dan meningkat menjadi Rp 164,6 miliar pada 2019 dan Rp 179 miliar pada 2020. Sementara pada pelayanan HD meningkat dari Rp 4,7 triliun pada 2018 menjadi Rp 4,8 triliun pada 2019 dan Rp 5,2 triliun pada 2020.
”Penyakit gagal ginjal masuk di dalam 10 penyakit yang menyebabkan biaya katastropik. Upaya pelayanan kesehatan ginjal pun harus terus ditingkatkan, baik dalam aspek promotif, preventif, hingga kuratif,” tutur Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam acara peringatan Hari Ginjal Sedunia di Jakarta, Rabu (9/3/2022). Hari Ginjal Sedunia diperingati setiap 10 Maret.
Mengapa penyakit gagal ginjal sulit terdeteksi?
Penyakit ginjal sering kali tidak menimbulkan gejala hingga mencapai tahap akhir. Padahal, pada kondisi penyakit ginjal tahap akhir, berbagai komplikasi sudah terjadi. Karena itu, pencegahan dan deteksi dini harus dilakukan, terutama pada kelompok dengan risiko tinggi.
Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) Pringgodigdo Nugroho mengatakan, penyakit ginjal sering ditemukan tanpa gejala. Namun, insidensi dan beban yang ditimbulkan dari penyakit tersebut sangat tinggi. Itu sebabnya, penapisan atau skrining menjadi sangat penting.
Baca juga: Penyakit Ginjal Sering Kali Tak Bergejala, Deteksi Dini Sebelum Komplikasi
Apa saja penyebab dari gagal ginjal?
Gaya hidup tidak sehat, seperti kebiasaan minum minuman manis dalam kemasan, turut meningkatkan risiko terjadinya gangguan ginjal pada anak.
Kepala Divisi Nefrologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Eka Laksmi Hidayati di Jakarta, Kamis (25/7/2024), mengatakan, gangguan ginjal kronis pada anak bisa disebabkan berbagai macam kondisi.
Baca juga: Kebiasaan Minum Minuman Manis Memicu Risiko Cuci Darah pada Anak
Pada anak balita umumnya disebabkan adanya kelainan bawaan, sementara pada anak di atas usia tersebut lebih banyak disebabkan oleh penyakit, seperti sindrom nefrotik resisten steroid (tidak respons pada obat-obatan) dan glomerulonefritis (peradangan pada bagian ginjal).
Tidak semua pasien gangguan ginjal kronis pada anak ini membutuhkan dialisis atau cuci darah. Kalau fungsi ginjalnya masih di atas 15 persen, itu akan diupayakan dengan terapi lainnya. Kalau sudah di bawah 15 persen, itu baru membutuhkan terapi pengganti ginjal atau dialisis.
Selain karena kelainan bawaan dan kebiasaan minum minuman manis dalam kemasan, gangguan ginjal juga bisa disebabkan karena kebiasaan mengonsumsi obat yang tidak tepat, penggunaan obat yang tidak sesuai dosis dan tidak dikonsumsi sesuai dengan resep dokter bisa berdampak pada kerusakan ginjal.
Baca juga: Konsumsi Obat Sembarangan Picu Penyakit Ginjal Kronis
Mengonsumsi obat antinyeri dan obat asam urat dalam jangka panjang dan dosis yang tidak tepat bisa menyebabkan terjadinya penyakit ginjal kronis. Selain itu, obat-obatan pereda mual dan muntah, seperti omeprazole, ranitidine, dan antasida, juga bisa berdampak pada kerusakan ginjal jika dikonsumsi sembarangan.
Kebiasaan lain yang juga perlu dihindari ialah mengonsumsi minuman berenergi. Apabila minuman berenergi dikonsumsi secara terus-menerus, hal itu bisa mengganggu fungsi ginjal.
Anak-anak pun kini mengalami gangguan ginjal, mengapa bisa demikian?
Kasus gangguan ginjal pada anak hingga harus menjalani tindakan cuci darah banyak ditemukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Sebelum divonis gangguan ginjal, kebanyakan dari anak-anak yang dirawat di rumah sakit rujukan nasional ini banyak mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan.
Dokter spesialis anak RSCM, Eka Laksmi Hidayati, mengungkapkan, penyebab gangguan ginjal pada anak di RSCM paling banyak disebabkan oleh kelainan fungsi ginjal sejak lahir. Selain itu, ada pula anak-anak penyintas dari kasus cemaran obat pada 2022 lalu, dan tak sedikit pula yang mengalami gangguan ginjal karena gaya hidup buruk.
Baca juga: Ramai Anak Cuci Darah di RSCM, Alarm Serius bagi Para Orangtua
Bagaimana caranya meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal?
Transplantasi ginjal dapat membantu penderita gagal ginjal untuk meningkatkan kualitas hidup, mengurangi risiko kematian, hingga pembatasan pola makan yang lebih longgar. Jika memenuhi persyaratan, transplantasi ginjal adalah pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan terapi cuci darah.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Endang Susalit, yang juga Ketua Tim Transplantasi Ginjal RS Siloam Asri, menuturkan, seseorang yang sudah mengalami gangguan fungsi ginjal, terutama jika fungsi ginjalnya kurang dari 15 persen, gejala gagal ginjal akan muncul. Pada kondisi tersebut, terapi pengganti ginjal pun harus diberikan.
Baca juga: Transplantasi Ginjal Meningkatkan Kualitas Hidup
Umumnya ada tiga terapi yang bisa diberikan, yakni hemodialisis atau yang dikenal dengan cuci darah, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal atau cangkok ginjal. Akan tetapi, sebagian besar pasien gagal ginjal kronis mendapatkan terapi hemodialisis sebagai terapi pengganti ginjal.
Pasien hemodialisis yang disebabkan oleh diabetes melitus dinyatakan memiliki harapan hidup sekitar delapan tahun. Namun, jika pasien tersebut melakukan transplantasi ginjal, harapan hidupnya bisa meningkat menjadi 25 tahun.
Baca juga: Sebuah Ginjal untuk Sang Buah Hati