Menyelisik Pencetus Bunuh Diri pada Anak Muda
Bunuh diri pada anak muda menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.
Tulisan berikut tidak dimaksudkan untuk menginspirasi siapa pun melakukan tindakan serupa. Jika Anda merasa depresi dan mulai berpikir untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke tenaga profesional, seperti psikolog atau psikiater. Meminta pertolongan mereka bukan berarti Anda lemah.
Bunuh diri pada anak muda merupakan ancaman serius yang harus diperhatikan. Setiap nyawa yang hilang tidak hanya berdampak pada individu tersebut, melainkan juga pada keluarga yang ditinggalkan, lingkungan sekolah ataupun kerja, dan masyarakat luas. Bahkan, lebih jauh, kehilangan seseorang dengan usia produktif juga berarti kehilangan potensi yang seharusnya bisa berkontribusi terhadap pembangunan bangsa.
Fenomena bunuh diri pada usia muda tidak hanya menjadi persoalan di Indonesia. Fenomena ini menjadi masalah global. Bunuh diri telah menjadi penyebab kematian terbesar kedua penduduk usia 15-29 tahun. Sebesar 77 persen bunuh diri terjadi di negara berpendapatan rendah-menengah.
Data nasional dari Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan, prevalensi depresi paling tinggi ditemukan pada kelompok usia 15-24 tahun. Di antara anak muda yang ditemukan dengan depresi, sebanyak 61 persen di antaranya memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup.
Baca juga: Cegah Bunuh Diri dengan Kenali Tanda-tandanya
Hal ini patut menjadi perhatian bersama. Sebab, bunuh diri bisa dicegah. Bunuh diri tidak terjadi secara tiba-tiba. Biasanya, orang yang ingin melakukan bunuh diri akan menunjukkan tanda yang sebenarnya bisa diketahui dan dikenali oleh orang-orang di sekelilingnya. Dukungan berupa pertolongan dari ahli pun bisa membantu mengatasi persoalan pada seseorang yang bisa memicu terjadinya bunuh diri.
Peneliti Muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yurika Fauzia Wardhani dalam webinar bertajuk ”Fenomena Banyaknya Bunuh Diri di Usia Produktif di Masyarakat. Apa yang terjadi?” menuturkan, alasan paling banyak yang memicu seseorang melakukan bunuh diri terkait dengan masalah personal. Kerentanan untuk melakukan bunuh diri akan meningkat pada orang yang sering memendam masalahnya yang kemudian kesulitan untuk menyelesaikannya sendiri.
Alasan lainnya terkait dengan masalah kesehatan. “Masalah kesehatan bisa memicu terjadinya bunuh diri. Sering kali masalah kesehatan tidak terselesaikan atau merasa terbebani dengan penyakit itu. Jadi, seseorang pun akhirnya punya keinginan untuk mengakhiri hidup karena merasa penyakitnya tidak bisa diatasi,” tuturnya.
Masalah kesehatan bisa memicu terjadinya bunuh diri. Sering kali masalah kesehatan tidak terselesaikan atau merasa terbebani dengan penyakit itu. Jadi, seseorang pun akhirnya punya keinginan untuk mengakhiri hidup karena merasa penyakitnya tidak bisa diatasi.
Selain itu, alasan lain yang juga cukup banyak ditemukan, yakni terkait masalah percintaan. Masalah percintaan atau asrama cukup banyak ditemukan sebagai pemicu keputusan mengakhiri hidup pada remaja. Masalah ini sangat terkait dengan kebutuhan mencintai dan dicintai. Pengalaman hubungan dengan orangtua dapat turut memengaruhi.
Pada remaja, khususnya usia sekolah dan mahasiswa, tekanan akademik dapat memengaruhi keinginan untuk mengakhiri hidup. Tekanan tersebut akan semakin berat pada usia yang lebih besar, usia mahasiswa. Belum lagi dengan transisi kehidupan yang dialami saat anak merasa dituntut untuk lebih mandiri dan tidak bergantung pada orangtua.
Bagi mahasiswa yang tingal jauh dari orangtua, rasa terisolasi dan kesepian serta masalah keuangan dan tekanan sosial dapat memperburuk kerentanan terhadap keinginan untuk bunuh diri.
Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Marzoeki Mahdi Bogor Nova Riyanti Yusuf menambahkan, usia muda, terutama pada usia 15-24 tahun merupakan usia yang rentan. Pada usia tersebut, mereka cenderung memiliki sifat yang punya kuasa besar atas dirinya sendiri. Adrenalin dalam diri mereka juga sangat besar. Namun, di lain sisi, pada usia tersebut cenderung orang memiliki cara berpikir yang abstrak. Merasa kematian pun masih jauh sehingga lebih mudah terpicu untuk melakukan hal yang berbahaya.
”Sekarang ini makin banyak pula anak muda yang memiliki gangguan kepribadian yang borderline. Jadi, tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang bisa membahayakan dia mana yang tidak,” katanya.
Pada usia muda, kondisi lain yang perlu diperhatikan mengenai kesadaran akan kesehatan mental. Menurut American Psychological Association, generasi Z merupakan generasi yang paling sadar akan kesehatan mental. Akan tetapi, kesadaran yang tinggi ini belum disertai dengan kesadaran untuk mencari pertolongan yang tepat. Banyak dari anak muda yang justru melakukan swadiagnosis atau diagnosis sendiri.
Baca juga: Banyak Generasi Muda Depresi dan Ingin Mengakhiri Hidup
”Anak muda ini merasa sudah mendiagnosis dirinya sendiri kalau punya masalah kemudian tidak melakukan apa-apa. Bahkan, yang lebih parah, mereka ini menstigma diri sendiri, padahal belum tentu seperti itu. Ini sangat salah,” ujar Nova.
Stigma
Yurika menambahkan, stigma di masyarakat memperberat risiko bunuh diri pada seseorang. Hal ini terutama yang memicu bunuh diri pada laki-laki. Angka bunuh diri pada laki-laki lebih besar daripada perempuan. Stigma dan norma sosial pada laki-laki di Indonesia masih menuntut laki-laki untuk lebih tegar dan lebih kuat ketika menghadapi masalah.
Akibatnya, laki-laki menjadi enggan untuk meminta pertolongan ketika membutuhkan dan cenderung tidak mau berbagi cerita mengenai masalahnya. Masalah yang dialami akhirnya hanya dipendam yang pada kondisi yang sudah tidak tertahankan malah memicu untuk melakukan hal yang membahayakan, seperti dengan mengakhiri hidup.
”Stigma dan tekanan sosial yang dihadapi laki-laki juga cenderung mengharuskan laki-laki untuk kuat dan harus mampu menafkahi keluarganya. Ketika mereka tidak bisa mengatasinya dan punya pemikiran bahwa tidak ada dukungan di lingkungan, sementara tidak ada juga akses untuk mendapatkan pertolongan semakin mendorong untuk mengakhiri hidup,” tutur Yurika.
Perluasan akses pada layanan kesehatan mental menjadi mutlak untuk mengatasi fenomena bunuh diri pada usia muda. Kurangnya akses pada layanan kesehatan mental serta kesadaran akan pentingnya mencari pertolongan pada ahli menghambat pencegahan bunuh diri di masyarakat. Stigma yang menganggap orang yang datang ke psikolog atau psikiater memiliki masalah kejiwaan yang berat juga harus dihapuskan.
Perluasan akses layanan kesehatan bisa dilakukan dengan membuka layanan konseling daring yang ramah bagi remaja. Pastikan pula konselor yang bertugas memiliki kompetensi yang baik yang mampu memberikan solusi yang tepat. Layanan ini pun harus terbuka 24 jam karena tidak sedikit kasus percobaan bunuh diri yang ditemukan terjadi pada dini hari.
Baca juga: Jangan Buru-buru Bunuh Diri, Kamu Tak Sendiri
Bunuh diri merupakan masalah yang kompleks. Menjaga lingkungan bermasyarakat yang sehat secara mental menjadi sangat penting. Penguatan aspek agama dan budaya serta penguatan tingkat perekonomian dan kesejahteraan masyarakat menjadi upaya lain untuk mencegah risiko bunuh diri.
Setiap masyarakat pun diajak untuk bisa lebih menyadari akan masalah kesehatan jiwa. Orang-orang terdekat, seperti orangtua, guru, teman, dan keluarga punya peran yang besar untuk memahami setiap kepribadian dari orang di sekitar untuk lebih peka akan tanda dan perubahan perilaku yang ditunjukkan. Jangan pula ada stigma dan penghakiman terhadap orang yang mengalami gangguan atau persoalan kesehatan mental.