Konsumsi Kafein dalam Batas Tertentu Bisa Menghambat Munculnya Parkinson
Konsumsi kafein dalam batas tertentu bisa mencegah munculnya gejala parkinson. Namun, cara ini tak mengobati parkinson.
Konsumsi kafein secara teratur diyakini bisa menghambat munculnya gejala parkinson, penyakit neurodegeneratif yang muncul seiring penuaan. Namun, kafein belum terbukti kuat bisa memperlambat perkembangan parkinson. Karena itu, konsumsi kafein perlu berhati-hati karena kafein juga bisa meningkatkan risiko gangguan jantung.
Seiring menuanya populasi, termasuk di Indonesia, jumlah penduduk yang menderita parkinson terus meningkat. Seperti dikutip dari Psychology Today, 19 Juli 2024, lebih 10 juta orang di dunia menderita parkinson. Prevalensi parkinson pada penduduk berumur lebih dari 60 tahun hanya 1 persen, tetapi untuk penduduk di atas 80 tahun mencapai 3 persen.
Di Indonesia, dikutip dari Kompas.id, 13 April 2023, diperkirakan ada 200.000 penderita parkinson pada 2016. Namun, data profil risiko penderita ataupun sebaran geografisnya belum tersedia. Jumlah itu dipastikan terus naik seiring lonjakan jumlah penduduk lanjut usia Indonesia dan pendapatan domestik bruto (PDB) karena kenaikan PDB berkorelasi dengan peningkatan prevalensi parkinson.
Parkinson adalah kelainan neurologis yang memengaruhi sistem saraf dan bagian tubuh yang dikendalikan saraf. Gejala awal yang paling umum adalah tremor atau gemetar pada bagian tubuh tertentu. Namun, kondisi ini biasanya juga memicu kekakuan otot dan perlambatan gerak. Gejala awal ini mungkin ringan, tidak disadari, dan berbeda antar orang.
Pada tahap awal penyakit parkinson, seperti dikutip dari situs Mayo Clinic, lembaga kedokteran terkemuka di Amerika Serikat, 5 April 2024, wajah penderita hanya menunjukkan sedikit ekspresi, bahkan tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Saat berjalan, lengan penderita tidak akan berayun. Ucapan penderita menjadi lirih, bahkan tidak jelas sama sekali.
Sebagai penyakit yang dipicu oleh penurunan fungsi otak, parkinson umumnya ditemui pada orang berumur lebih dari 60 tahun, jarang ditemukan pada remaja atau dewasa muda. Semakin tua, risikonya makin meningkat. Jumlah laki-laki yang mengalami parkinson lebih banyak dibandingkan perempuan.
Pemicu terjadinya parkinson ini adalah kerusakan atau matinya sel saraf atau neuron di otak secara bertahap. Banyak gejala parkinson disebabkan oleh hilangnya neuron yang menghasilkan dopamin, yaitu zat kimia otak yang bisa memengaruhi emosi penderitanya baik rasa senang maupun sakit.
Saat kadar dopamin di otak menurun, aktivitas otak menjadi tidak teratur hingga mengganggu pergerakan sejumlah anggota tubuh maupun gejala lainnya. Selain itu, parkinson juga disebabkan kerusakan atau matinya sel saraf di ganglia basalis, area otak yang mengontrol pergerakan.
Kerusakan neuron penghasil dopamin ataupun neuron di ganglia basalis itu diduga dipicu masalah genetik ataupun paparan lingkungan, terutama dari zat beracun yang ada di sekitar.
Masalahnya, gejala penyakit ini bersifat progresif alias makin memburuk seiring waktu. Gejala ini sering kali dimulai pada satu sisi tubuh dan umumnya akan terus memburuk di bagian itu meski gejala yang sama muncul di anggota sisi tubuh yang lain. Parkinson juga tidak bisa disembuhkan. Pengobatan yang dilakukan selama ini hanya untuk memperbaiki gejalanya.
Mereka yang memiliki gejala parkinson itu umumnya juga memiliki sejumlah penyakit komplikasi yang biasanya dapat diobati, mulai dari kesulitan berpikir, kesulitan menelan, sehingga mulutnya terus mengeluarkan air liur dan susah mengunyah makanan sehingga bisa memicu terjadinya gizi buruk.
Komplikasi lain yang dialami penderita parkinson adalah masalah kandung kemih yang membuat sulit mengontrol buang air kecil dan sembelit karena saluran pencernaannya menjadi lebih lambat. Mereka juga kesulitan tidur serta lebih rentan mengalami depresi dan perubahan emosional lain, seperti ketakutan, kecemasan, ataupun kehilangan motivasi.
Baca juga: Waspadai Peningkatan Jumlah Penderita Parkinson
Pencegahan
Selain tak bisa disembuhkan, penurunan fungsi otak yang memicu parkinson ini juga tidak bisa dicegah. Sejak awal tahun 2000-an, berkembang studi yang menunjukkan bahwa minum kopi yang mengandung kafein secara teratur bisa menghambat munculnya parkinson. Manfaat ini tidak berlaku pada orang yang meminum kopi tanpa kafein.
Salah satu studi awal tentang manfaat kopi terhadap parkinson itu dipublikasikan di Annals of Neurology, 2 Mei 2001, yang dipimpin Alberto Ascherio dan meneliti 100.000 responden selama 10 tahun. Hasilnya selama studi ditemukan 288 orang menderita parkinson. Laki-laki yang minum kopi paling banyak, hingga lima cangkir per hari, lebih kecil kemungkinannya menderita parkinson dibanding yang minum kopi lebih sedikit.
Sementara pada perempuan, hubungan antara konsumsi kopi dan parkinson berbentuk mirip huruf U. Artinya, mereka yang mengonsumsi kopi dalam jumlah sedang, satu hingga tiga cangkir per hari, yang paling sedikit menderita parkinson.
Adapun studi lebih awal yang dipimpin G Webster Ross dan dipublikasikan di JAMA (Journal of the American Medical Association), Mei 2000, yang mengamati lebih dari 8.000 pria Jepang-Amerika selama 30 tahun menemukan 102 responden menderita parkinson. Hasilnya, mereka yang tidak minum kopi berisiko dua hingga tiga kali lebih besar terkena parkinson dibandingkan responden yang rajin minum kopi.
Dari berbagai studi itu, manfaat kafein pada pencegahan parkinson sangat bergantung pada dosis. Kafein lebih bermanfaat pada laki-laki dibanding perempuan. Bahkan, pada perempuan yang sedang menjalani terapi penggantian hormon (HRT), kafein tersebut tidak memberi manfaat sama sekali.
Lantas, bagaimana kafein bekerja sehingga mampu meminimalkan risiko parkinson?
Kafein adalah stimulan yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Studi Tsz Ki Ko dari Sekolah Kedokteran Leicester, Inggris, di Cureus, 27 Januari 2023, menunjukkan bahwa konsumsi kafein membantu mencegah peradangan yang berhubungan dengan penyakit parkinson. Kafein bersifat neuroprotektif dan berguna menunda munculnya gejala penyakit parkinson meski manfaat kafein itu sangat bergantung pada dosisnya. Namun, kafein kurang efektif dalam melemahkan perkembangan penyakit parkinson.
Kafein terbukti mampu menunda munculnya gejala parkinson, khususnya bagi individu yang memiliki kecenderungan secara genetik untuk mengalami parkinson.
Daniel Truong, ahli saraf yang juga direktur medis Institut Neurosains Truong di California AS dan pemimpin redaksi Journal of Clinical Parkinsonism and Related Disorders kepada Medical News Today, 31 Mei 2024, mengatakan, kafein adalah antagonis reseptor adenosin, senyawa kimia yang menghambat pelepasan dopamin.
Artinya, kafein bekerja menghambat aksi adenosin. Dengan memblokade reseptor adenosin, kafein secara tidak langsung akan meningkatkan pelepasan dopamin yang melindungi seseorang dari penyakit parkinson. Ingat, penyebab terjadinya parkinson adalah berkurangnya dopamin pada otak.
Pada penderita parkinson juga terjadi agregasi protein alfa-sinuklein secara tidak normal. Agregasi ini memicu terjadinya peradangan. Akumulasi alfa-sinuklein itu menyebabkan pelepasan sitokin pro-inflamasi yang akhirnya memperburuk kerusakan saraf yang terjadi. Karena kafein memiliki sifat antiinflamasi atau antiperadangan, kafein bisa menghambat laju kerusakan saraf pemicu parkinson.
Meski demikian, manfaat kafein ini hanya berelasi kuat untuk menghambat munculnya gejala parkinson. Belum cukup bukti bahwa kafein bisa menghambat perkembangan penyakit atau mengurangi keparahan gejala pada orang yang sudah menderita parkinson. Sebagian penelitian menunjukkan penggunaan kafein bisa mengobati gejala parkinson, tetapi studi lain justru sedikit memperburuk kondisi.
Selain itu, konsumsi kafein berlebih nyatanya juga berisiko. Kafein memiliki efek akut pada tekanan darah sehingga bisa meningkatkan denyut jantung hingga 2-3 jam setelah konsumsi. Konsumsi kafein juga dikaitkan dengan penyakit jantung koroner.
Seperti ditulis Kompas, 2 April 2024, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) merekomendasikan konsumsi kafein untuk usia dewasa maksimal 400 miligram per hari atau setara empat hingga lima cangkir kopi. Konsumsi kafein berlebih, hingga 1.200 miligram atau 12 cangkir per hari, justru bisa memunculkan efek racun yang membuat diare dan muntah. Konsumsi kafein berlebih juga dapat mengganggu ritme jantung dan bisa membuat tubuh kekurangan mineral penting.
Dengan demikian, konsumsi kafein secara rutin juga memerlukan kehati-hatian. Kafein terbukti mampu menunda munculnya gejala parkinson, khususnya bagi individu yang memiliki kecenderungan secara genetik untuk mengalami parkinson. Namun, konsumsi kafein berlebih justru berisiko bagi jantung dan bisa memicu masalah kesehatan lain.
Selain pada kopi, kafein juga ditemukan pada teh, minuman kola, hingga minuman energi. Namun, sepertinya manfaat terbaik untuk menghambat munculnya gejala parkinson ada pada kopi. Diduga, ada zat lain selain kafein dalam kopi yang memberi perlindungan terhadap gejala parkinson.
Baca juga: Peneliti Temukan Penyebab Penyakit Parkinson
Tak hanya itu, konsumsi kafein yang ada pada minuman kola atau minuman energi umumnya juga disertai dengan kandungan gula tinggi. Situasi ini justru berisiko besar terhadap munculnya berbagai masalah kesehatan fisik maupun mental. Karena itu, untuk mendapat manfaat kafein dalam mencegah parkinson, konsumsilah kopi tanpa gula sesuai batas yang dianjurkan.