Ramai Anak Cuci Darah di RSCM, Alarm Serius bagi Para Orangtua
Penyebab anak cuci darah banyak disebabkan bawaan lahir dan diperparah peredaran pangan tak sehat yang tak terkontrol.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus gangguan ginjal pada anak hingga harus menjalani tindakan cuci darah banyak ditemukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebelum divonis gangguan ginjal, kebanyakan dari anak-anak yang dirawat di rumah sakit rujukan nasional ini banyak mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan.
Suasana di Ruang Dialisis, Lantai 5, Gedung Kiara, RSCM, pada Kamis (25/7/2024) cukup ramai. Orangtua satu per satu datang sejak pagi hari membawa anaknya di atas kereta balita hingga kursi roda untuk menemani anaknya cuci darah.
Dokter spesialis anak RSCM, Eka Laksmi Hidayati, mengungkapkan, saat ini ada 60 anak yang harus menjalani tindakan cuci darah secara rutin di RSCM. Ini terbagi atas 30 anak menjalani hemodialisis dan 30 anak lainnya menjalani dialisis. Namun, Eka menegaskan, jumlah ini bukan suatu lonjakan kasus.
”Mengenai jumlahnya banyak itu adalah karena RSCM ini memang rumah sakit rujukan dan pengampu pelayanan uronefrologi. Jadi, memang banyak kami mendapat rujukan, bahkan dari luar Jakarta, dan bahkan dari luar Pulau Jawa yang datang ke sini,” kata Eka di RSCM, Jakarta, Kamis (25/7/2024).
Adapun pengertian hemodialisis adalah metode cuci darah dengan mengeluarkan seluruh darah ke luar tubuh melalui mesin dialyzer yang bertindak sebagai ginjal buatan untuk membersihkan dan mengembalikan darah kembali ke tubuh. Sementara dialisis adalah metode cuci darah di dalam tubuh dengan memberikan cairan pembersih yang bertugas menyaring darah melalui selang kateter.
Eka mengungkapkan, penyebab gangguan ginjal pada anak di RSCM paling banyak disebabkan oleh kelainan fungsi ginjal sejak lahir. Selain itu, ada pula anak-anak penyintas dari kasus cemaran obat pada 2022 lalu, dan tak sedikit pula yang mengalami gangguan ginjal karena gaya hidup buruk.
”Memang gaya hidup itu berpengaruhnya ke obesitas yang merupakan risiko untuk terjadi penurunan fungsi ginjal. Tentu tidak secara langsung, ya. Sekarang banyak makanan yang gulanya tinggi dan garamnya tinggi. Kalau garamnya tinggi, itu juga berhubungan dengan hipertensi,” ucapnya.
Ini alarm bagi setiap orangtua untuk menjaga anaknya dari peredaran makanan dan minuman tidak sehat serta tugas pemerintah dan industri agar lebih ketat mengontrol peredaran produk di pasar.
Salah satu pasiennya adalah Faris (8). Selang kateter untuk hemodialisis sudah dipasang di dadanya selama empat bulan terakhir. Dalam kurun waktu itu pula, bocah kelas 2 SD ini terpaksa berhenti dari sekolah karena harus menjalani cuci darah dua kali seminggu.
Pertumbuhan fisiknya pun semakin menurun, dia tak mampu lagi berlari-lari selayaknya anak lainnya karena mudah kelelahan. Hari-harinya kini dilalui di atas kursi roda.
Ibu Faris, Dewi Ningrum (29), bercerita, anak semata wayangnya itu sudah didiagnosis mengalami kebocoran ginjal pada usia 1,5 tahun saat berobat ke RSUD Johar Baru, Jakarta Pusat. Kemudian ia dirujuk ke RS Islam Jakarta, Cempaka Putih.
Namun, karena keterbatasan alat dan obat-obatan, Faris dirujuk lagi ke RSCM pada 2019 dan divonis mengalami gangguan ginjal. Dewi mengakui, gangguan ginjal anaknya turut diperparah oleh pola makan yang kurang baik.
”Memang, sih, kalau pas sekolah suka jajan mi instan yang gelas gitu. Namanya di sekolah, kan, kita enggak tahu pas main sama teman jajannya apa. Saya sudah bawain bekal, tapi pulang tetep utuh, masih jajan saja terus,” kata Dewi.
Kini, Faris harus hidup dengan selang di dadanya. Pola makannya pun diatur ketat, tidak boleh terlalu banyak mengandung gula dan garam. Selain itu, dia harus mengonsumsi sekitar 10 jenis obat yang terdiri dari 20 tablet per harinya.
Walau semua biaya perawatan ditanggung oleh BPJS Kesehatan, Dewi seorang ibu rumah tangga dan suaminya yang hanya pekerja harian lepas merasa sangat terpukul dengan kondisi anaknya. ”Memang cuma keluar ongkos saja, tetapi tetap saja bela-belain pinjam sana-sini. Jadi, ada enggak ada, ya, diada-adain saja buat anak,” ucapnya.
Hal serupa dialami oleh Hadiid Fathir Ramadhan (15), anak dari Wagi Wahyono (40), warga Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara. Dia divonis mengalami gangguan ginjal pada usia 2 tahun oleh dokter di RSUD Cengkareng, lalu dirujuk ke RS Sumber Waras pada 2010, Jakarta Barat, dan dirujuk lagi di RSCM sejak 2023.
Wagi juga mengakui, pola makan yang tidak dijaga dengan baik semasa anak balita membuat anaknya harus menanggung risiko gangguan ginjal seperti sekarang harus cuci darah dua kali seminggu. Proses ini sudah berjalan delapan bulan terakhir. Hadiid pun kini hanya bisa sekolah secara daring karena jadwalnya bersamaan dengan jadwal perawatan.
”Dulu saya dan istri sama-sama kerja, kami titipkan kepada neneknya, tetapi ini juga bukan salah neneknya. Cuma kemungkinan dari pola makan atau minum-minuman manis kayak susu formula, ada juga susu dalam kemasan itu,” kata Wagi.
Hadiid kini tengah dalam masa observasi sebelum nantinya menjalani operasi transplantasi ginjal yang diperkirakan akan dilakukan pada September 2024 di RSCM. Wagi sebagai ayah pun akan mendonorkan ginjalnya kepada anak pertamanya tersebut dan akan menjaga pola makan anak keduanya.
Secara terpisah, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menyatakan, kondisi ini adalah alarm bagi setiap orangtua untuk menjaga anaknya dari peredaran makanan dan minuman tidak sehat. Ini juga menjadi tugas pemerintah dan industri agar lebih ketat mengontrol peredaran produk di pasar.
”Harganya di pasar itu sangat murah dari industri dan mudah dijangkau anak dengan kemasan yang kekinian. Ini meninggalkan persoalan untuk anak anak yang belum memahami komposisi gizi seimbang,” kata Jasra.