Kebiasaan Minum Minuman Manis Memicu Risiko Cuci Darah pada Anak
Kebiasaan konsumsi minuman manis bisa meningkatkan risiko terjadinya gangguan ginjal anak.
JAKARTA, KOMPAS — Terapi cuci darah atau dialisis tidak hanya ditemukan pada usia dewasa, tetapi juga anak-anak. Adanya kelainan bawaan menjadi penyebab terbesar terjadinya gangguan ginjal kronis pada anak yang akhirnya membutuhkan terapi cuci darah.
Gaya hidup tidak sehat, seperti kebiasaan minum minuman manis dalam kemasan, turut meningkatkan risiko terjadinya gangguan ginjal pada anak.
Kepala Divisi Nefrologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Eka Laksmi Hidayati di Jakarta, Kamis (25/7/2024), mengatakan, gangguan ginjal kronis pada anak bisa disebabkan berbagai macam kondisi. Pada anak balita umumnya disebabkan adanya kelainan bawaan, sementara pada anak di atas usia tersebut lebih banyak disebabkan oleh penyakit, seperti sindrom nefrotik resisten steroid (tidak respons pada obat-obatan) dan glomerulonefritis (peradangan pada bagian ginjal).
Baca juga: Masa Depan Suram Anak-anak Penyintas Gangguan Ginjal Akut
”Tidak semua pasien gangguan ginjal kronis pada anak ini membutuhkan dialisis atau cuci darah. Kalau fungsi ginjalnya masih di atas 15 persen, itu akan diupayakan dengan terapi lainnya. Kalau sudah di bawah 15 persen, itu baru membutuhkan terapi pengganti ginjal atau dialisis. Dialis bisa diberikan dengan beberapa cara, seperti hemodialisis dengan mesin, SAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis) atau cuci darah lewat perut, dan transplantasi ginjal,” tuturnya.
Eka menuturkan, tidak ada lonjakan kasus gangguan ginjal kronis pada anak. Kasus yang ditangani saat ini merupakan kasus kumulatif dari tahun-tahun sebelumnya. Di RSCM setidaknya ada 60 anak yang menjalani terapi dialisis secara rutin. Sebanyak 30 kasus di antaranya mendapatkan terapi hemodialisis. Adapun usia yang paling banyak membutuhkan dialisis ditemukan pada usia di atas 12 tahun.
Sementara ini belum ada data nasional tentang kejadian gangguan ginjal kronis pada anak. Namun, mengutip data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 2017, setidaknya ada 212 anak di 14 rumah sakit pendidikan dengan konsultan nefrologi anak yang mengalami gagal ginjal dan menjalani terapi pengganti ginjal.
Angka kematian anak-anak dengan gagal ginjal tersebut mencapai 23,6 persen. Risiko kematian pada anak dengan gangguan ginjal kronis stadium akhir (gagal ginjal) 30 kali kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak pada populasi umum.
Gaya hidup
Secara terpisah, Ketua Umum IDAI Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, gaya hidup modern turut meningkatkan risiko gangguan ginjal kronis pada anak. Hal itu termasuk kebiasaan mengonsumsi minuman manis dalam kemasan.
Gaya hidup tidak sehat, seperti kebiasaan minum minuman manis dalam kemasan, turut meningkatkan risiko terjadinya gangguan ginjal pada anak.
”Kalau kita masuk ke minimarket itu ada lebih dari 100 macam minuman manis dan ini bisa berisiko menyebabkan obesitas dan diabetes pada anak yang bisa berpengaruh pada gangguan ginjal. Jadi, kita mesti aware (sadar) terhadap pemberian makanan pada anak,” ujar Piprim.
Ia menambahkan, gaya hidup modern lain juga perlu diperhatikan oleh orangtua. Anak-anak diharapkan bisa meningkatkan aktivitas fisik dan olahraga. Konsumsi air putih juga harus diperhatikan agar anak tetap terhidrasi. Asupan air putih yang kurang berpengaruh pula pada kondisi kesehatan ginjal.
Selain itu, usahakan juga untuk selalu menjaga berat badan anak. Batasi konsumsi gula, garam, dan lemak. Pemeriksaan rutin pun perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi kesehatan anak dan mendeteksi penyakit sejak dini.
Berdasarkan survei oleh pakar nefrologi IDAI diketahui bahwa 1 dari 5 remaja usia 12-18 tahun berisiko mengalami gangguan ginjal. Pada anak-anak tersebut ditemukan adanya darah dan protein dalam urine.
Baca juga: Pencegahan Dini pada Penyakit Kronis Akan Jadi Tumpuan
”Ini salah satu indikator awal kerusakan ginjal. Ini menunjukkan gaya hidup anak-anak kita usia 12-18 tahun ini sangat memprihatinkan. Pola makannya, pola geraknya, pola tidurnya sering begadang dan malas gerak olahraga,” ujar Piprim.
Terkait dengan gangguan ginjal pada anak, Eka menyampaikan, terdapat beberapa gejala yang bisa diperhatikan oleh orangtua. Gejala yang muncul, antara lain, gangguan pada tumbuh kembang, anemia, pucat, penurunan produksi urine, tubuh membengkak, dan demam yang berulang. Gangguan ginjal dapat diketahui dengan adanya peningkatan pengeluaran protein melalui urine, adanya darah dalam urine, dan peningkatan leukosit pada urine.
”Secara spesifik untuk gejala gangguan ginjal ini yang berhubungan dengan proses berkemih atau penampilan fisik berkemih. Artinya, dapat dilihat apakah air seninya menjadi keruh, warnanya berubah, jumlahnya berkurang, atau jadi sedikit (berkemih), itu bisa jadi tanda-tanda masalah ginjal,” tutur Eka.
Layanan kesehatan
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir menuturkan, meningkatnya pasien gangguan ginjal, termasuk pasien cuci darah, pada anak seharusnya disertai dengan peningkatan dan perluasan layanan ginjal di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini, dokter spesialis ginjal anak di Indonesia sangat terbatas, hanya tersedia di kota-kota besar.
Kini, setidaknya hanya ada 32 dokter spesialis ginjal anak yang tersebar di 14 rumah sakit di Indonesia. Kondisi ini tentu akan memberatkan masyarakat yang membutuhkan akses kesehatan, terutama layanan terapi ginjal.
Baca juga: Melawan Epidemi Obesitas
”Percepatan ketersediaan SDM ini juga harus diperhatikan. Risiko kesehatan masyarakat semakin besar. Jangan sampai banyak masyarakat yang tidak terlayani. Saat ini, intervensi yang dilakukan untuk penanganan gangguan ginjal oleh pemerintah masih lemah, baik dari sisi hulu di pencegahan maupun pada hilir untuk perawatan,” ujar Tony.