Keberpihakan untuk memastikan hak atas pendidikan bagi anak-anak kelompok marjinal butuh komitmen bersama.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Layanan pendidikan formal ataupun nonformal harus dapat dirasakan masyarakat bagaimanapun kondisinya. Kolaborasi pemerintah pusat dan daerah hingga masyarakat dibutuhkan untuk menjangkau semua anak, terutama dari keluarga marjinal, agar mereka dapat mengakses pendidikan untuk meningkatkan kesejahteraan di masa depan.
Pelaksana Tugas Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Aswin Wihdiyanto di Jakarta, Rabu (24/7/2024), mengatakan, pemerintah serius untuk memastikan anak-anak bangsa mendapatkan layanan pendidikan. Pendataan anak tidak sekolah, baik yang putus sekolah atau drop out di jenjangnya maupun lulus tidak melanjutkan ke jenjang di atasnya, dilakukan berikut dengan skema penuntasannya. Skema penuntasan ini dilakukan melalui berbagai jalur, baik pendidikan formal maupun nonformal.
”Pemerintah juga menyediakan pendidikan layanan khusus yang secara umum memastikan pendidikan dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh masyarakat bagaimanapun kondisinya,” ucapnya.
Aswin mengingatkan, penanganan pendidikan tentu merupakan kerja kolaborasi antara Kemendikbudristek, pemerintah daerah, kementerian/lembaga lain, dan masyarakat. Anak-anak yang tidak terlayani pendidikan formal dapat dilayani lewat pendidikan nonformal yang juga nantinya dapat disetarakan dengan pendidikan formal.
Pemerintah juga menyediakan bantuan operasional satuan pendidikan untuk lembaga pendidikan bagi anak-anak usia sekolah yang terkendala ke sekolah formal. Selain belajar, para siswa diberi beragam keterampilan untuk bekal mandiri.
Bantuan sosial pendidikan
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti mengatakan, negara menjamin bantuan sosial bagi anak usia sekolah untuk keberlangsungan pendidikan mereka. Program Indonesia Pintar (PIP) menjadi bukti keberpihakan negara dalam menjamin bantuan pendidikan yang berkeadilan bagi seluruh anak-anak Indonesia.
”Kami meminta seluruh elemen pendidikan dapat bergotong royong mendukung pembelajaran yang inklusif, berkeadilan, dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik,” ujar Suharti dalam acara puncak perayaan Hari Anak Nasional 2024 di Jayapura.
Pada akhir tahun 2023, ada lebih dari 18 juta anak menerima PIP. Memasuki tahun 2024, pemerintah memberikan bantuan PIP untuk jenjang sekolah dasar (SD) senilai Rp 450.000 per tahun dan SMP Rp 750.000 per tahun. Khusus pelajar sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK), setiap anak akan menerima Rp 1,8 juta per tahun.
Beti Cicilia Tokoro, siswa kelas 8 di SMPN 6, Sentani, Jayapura, bersyukur karena menerima PIP sehingga dapat meringankan beban perekonomian keluarga. ”Di antara kami sekeluarga, hanya tiga anak yang bersekolah. Saat mendapat kabar bahwa saya mendapat PIP, saya merasa bersyukur. Uangnya akan saya belikan peralatan sekolah,” kata anak ke-8 dari 9 bersaudara ini.
Wakil Kepala SMPN 2 Kota Jayapura Polin berharap PIP bisa berlanjut dan lebih banyak lagi siswa kurang mampu yang merasakan manfaatnya. Dengan begitu, makin banyak siswa yang termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya.
Anak-anak usia ini banyak yang terpaksa bekerja serabutan. Motivasi belajar mereka pun sangat rendah. Banyak di antara mereka yang menikah bahkan bercerai di usia anak dan punya anak di usia anak.
Secara terpisah, Yanti Sri Yulianti, Ketua Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan, mengatakan, negara seharusnya memastikan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, relevansi, keterjaminan, dan kepastian dalam pemenuhan hak anak atas pendidikan. Salah satunya melalui penerapan Permendikbud No 72/2013 tentang Pendidikan Layanan Khusus.
”Pemerintah menyediakan sekolah satu atap/sekolah terintegrasi, sekolah terbuka, atau sekolah kecil untuk menjangkau anak-anak dari kelompok marjinal atau yang terkendala mengakses sekolah formal. Tingginya jumlah anak drop out dan lulusan tidak melanjutkan dari kelompok marjinal di usia 15 tahun ke atas perlu menjadi perhatian khusus,” kata Yanti.
Yanti mengungkapkan, dalam penanganan anak putus sekolah di Kabupaten Kampar, Riau, misalnya, anak-anak usia ini banyak yang terpaksa bekerja serabutan. Motivasi belajar mereka pun sangat rendah. Banyak di antara mereka yang menikah bahkan bercerai di usia anak dan punya anak di usia anak.
”Keterjaminan pendidikan bagi anak-anak marjinal ini dapat dilakukan dengan pendidikan kontekstual. Selain itu, butuh dukungan untuk menyediakan alokasi anggaran bagi fasilitator,” ujar Yanti.
Ada pula masalah yang dihadapi anak-anak marjinal yang tidak memiliki akta kelahiran dan kartu keluarga. Semestinya mereka difasilitasi pemerintah desa serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Yanti mengatakan, sejak merintis PKBM (pendidikan nonformal) Rumah KerLiP Beriman di 9 desa dan 1 kelurahan di Kampar sejak tahun 2022 hingga sekarang, pihaknya masih belum berhasil mendaftarkan anak-anak ke Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
”Hambatan-hambatan administrasi dan keuangan harus dapat diatasi dengan serius. Anak-anak dari kelompok marjinal di perdesaan dan perkotaan ini butuh pendekatan yang sungguh-sungguh agar termotivasi belajar. Sebab, kendala pada pendidikan juga sering kali dibarengi dengan masalah pola pengasuhan yang membuat mereka bermasalah sehingga susah mengakses pendidikan,” kata Yanti.