Pendidikan Anak-anak Masyarakat Adat Masih Tertinggal
Pendikan adalah jalan menuju masa depan. Anak-anak kelompok marjinal berhak mendapat pendidikan layak yang setara.
Kesulitan mengakses sekolah tidak hanya dialami anak-anak kelompok marjinal di perkotaan. Problem serupa juga dihadapi anak-anak masyarakat adat dan anak di daerah pesolok. Di daerah-daerah tersebut sekolah umumnya jauh dan fasilitasnya kurang memadai serta sarana transportasi untuk ke sana juga minim.
Minimnya fasilitas pendukung untuk mengakses pendidikan membuat sejumlah anak di beberapa wilayah masyarakat adat putus sekolah. Kalaupun mereka bersekolah, hanya sampai sekolah dasar karena tidak ada sekolah menengah yang dekat dengan permukiman mereka. Untuk mencapai sekolah menengah yang jauh mereka terhambat biaya karena orangtuanya miskin.
Perlu intervensi khusus dari pemerintah pusat dan daerah agar anak-anak masyarakat adat dapat mengakses pendidikan. Meskipun ada program bantuan pendidikan seperti Kartu Indonesia Pintar, tanpa adanya fasilitas sekolah yang bisa diakses dengan mudah, mereka akan tetap sulit mengakses pendidikan yang layak.
Kondisi seperti itulah yang selama ini dialami anak-anak masyarakat di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, dan Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Di Mentawai, banyak anak yang harus meninggalkan kampung halaman demi melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).
Baca juga : Anak yang Terpinggirkan Berhak Mendapat Pendidikan dan Kesehatan
Tinggal terpisah dengan orang tua membuat mereka rentan mengalami kekerasan. “Laporan yang diterima Kemitraan, ada anak mendapat kekerasan seksual, baik dari orang dewasa yang di rumah titipan, maupun dari orang di sekitar tempat mereka tinggal,” ujar Tracy Pasaribu, Project Officer Kemitraan, Rabu (24/7/2024).
Di Sumba Timur, pendidikan layak bagi anak dari masyarakat adat dan penghayat kepercayaan juga masih menjadi persoalan. Studi Kemitraan (Partnership for Governance Reform) menemukan, anak-anak penghayat kepercayaan Marapu di Sumba Timur kesulitan mengakses pendidikan. Di samping itu, mereka membutuhkan tutor mata pelajaran agama penghayat Marapu.
Sebenarnya, untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 2023 Bupati Sumba Timur mengeluarkan peraturan yang mengharuskan sekolah menyediakan tutor mata pengajaran agama penghayat Marapu.
“Walaupun sudah ada peraturan tersebut, kesediaan tutor tetap terbatas, karena anggaran yang disiapkan pemerintah daerah hanya cukup untuk sekitar sepuluh. Sedangkan jumlah sekolah dasar dan lanjutan mencapai ratusan,” papar Tracy.
Baca juga : Sekolah Formal Tak Terjangkau, Pendidikan Alternatif Jadi Pilihan Anak-anak Kelompok Marjinal
Masalah pendidikan yang dihadapi adnak-anak masyarakat adat juga berkelindan dengan problem administrasi kependudukan. Berdasarkan pendataan Kemitraan di 39 desa dari 12 kabupaten dan 7 provinsi dalam Program Estungkara pada 2022, ada 56 persen anak-anak masyarakat adat yang belum memiliki akta lahir.
Akibatnya, mereka kesulitan saat bersekolah dan mengakses layanan dasar lainnya. Tempat tinggal masyarakat adat yang umumnya berada di pelosok membuat warga adat terkendala saat mengurus mengurus akta lahir, kartu keluarga, atau identitas diri lainnya.
Daerah tertinggal
Rendahnya tingkat pendidikan juga ditemukan Wahana Visi Indonesia (WVI) di daerah tertinggal. Hingga kini masih banyak anak-anak yang harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter dan berbahaya untuk sampai ke sekolah. Infrastruktur dan fasilitas pendidikan juga masih belum memadai.
Daerah-daerah tersebut kekurangan guru yang berkualitas dan kompeten. Dampaknya, anak-anak di daerah tertinggal, meski pendidikannya sudah SMP, mereka belum lancar membaca bahkan tidak paham apa yang mereka baca.
Misalnya, di pedalaman Asmat, Papua, siswa kelas 3 SD hanya mampu membaca lima kata dalam satu menit. “Data rapor pendidikan terbaru juga menguatkan hal itu. Bahwa kemampuan literasi dan numerasi dasar anak dari daerah tertinggal masih di bawah rata-rata nasional,” ujar Marthen Sambo, Education Manager WVI.
Angka partisipasi anak untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi juga masih rendah. Selain itu, anak-anak dari daerah tertinggal kalah bersaing dan selalu tidak mendapatkan kesempatan yang setara dengan anak-anak dari luar daerah tertinggal.
WVI mendorong pemerintah untuk menaruh perhatian khusus terhadap pendidikan dasar bagi anak-anak di daerah tertinggal. Selain kolaborasi dengan banyak pihak untuk menyediakan infrastruktur pendidikan, juga penting memberi insentif bagi guru serta mengembangkan kurikulum yang relevan dengan kondisi lokal.
“Kurikulum yang memerdekakan anak untuk belajar dalam konteks mereka. Partisipasi aktif masyarakat, termasuk orangtua anak, juga sangat penting untuk menciptakan solusi berkelanjutan,” papar Marthen.
Kelompok marjinal
Kondisi yang diperoleh Kemitraan dan WVI sejalan dengan hasil penelitian Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia. Puskapa mendapati, masih terdapat kelompok anak, khususnya yang rentan dan terpinggirkan (marjinal) seperti anak dari keluarga miskin, anak di wilayah terpencil, anak terlantar, dan anak yang berhadapan dengan hukum, belum bisa mengakses layanan kesehatan dan pendidikan.
“Hambatan dalam memperoleh layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan dapat terjadi karena tiga faktor,” ujar Wenny Wandasari, Senior Research and Advocacy Associate Puskapa.
Pertama, keterbatasan akses akibat berbagai faktor seperti kemiskinan, keterpencilan, dan disabilitas. Misalnya, anak yang tinggal di wilayah terpencil sulit mengakses layanan pendidikan dan kesehatan karena jaraknya sangat jauh dari tempat tinggal mereka.
Hingga kini masih banyak anak-anak yang harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter dan berbahaya untuk sampai ke sekolah.
Kedua, layanan yang tidak responsif terhadap kebutuhan anak. Contohnya, anak yang berhadapan dengan hukum berisiko untuk putus sekolah karena sulit untuk mengakses layanan pendidikan saat anak menjalani proses penahanan, persidangan, atau ketika mereka ditempatkan di lembaga pemasyarakatan.
Ketiga, karena identitas sosial seperti status sosioekonomi, agama, dan jender. Misalnya, anak dari penghayat kepercayaan sulit mendapatkan dokumen kependudukan sehingga terhambat saat mengakses berbagai layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan penyedia layanan perlu memperhatikan aspek-aspek kerentanan tersebut dalam menyusun berbagai kebijakan dan program di bidang pendidikan dan kesehatan.
“Langkah awal yang dapat dilakukan ialah dengan mengidentifikasi kelompok-kelompok rentan dan marjinal yang selama ini tersisihkan dari layanan-layanan pendidikan dan kesehatan,” ujar Shaila Tieken, Senior Research and Advocacy Associate Puskapa.
Setelah itu, perlu disusun kebijakan dan program untuk menjangkau kelompok-kelompok tersebut sehingga mereka bisa mendapatkan akses yang setara dengan kelompok-kelompok anak lainnya.
Terakhir, libatkan mereka secara bermakna dalam penyusunan kebijakan dan program, sehingga kebijakan atau program yang disusun dapat menyasar permasalahan yang mereka hadapi dengan tepat.