Pengasuhan digital terhadap anak masih minim, sementara regulasi di Indonesia belum berperspektif anak sebagai korban.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan anak dari efek negatif di dunia maya perlu diperkuat. Sebab, generasi muda yang kian akrab dengan perkembangan teknologi masih belum bisa memproteksi dirinya dari hal-hal yang tidak sesuai usianya.
Child Advisory Council & Youth Voice Now, Vidi Vanessa Dael, mengungkapkan, anak-anak amat rentan dengan ancaman negatif di internet. Anak-anak kini kerap mengalami perundungan di dunia maya atau cyber bullying, bahkan tidak sedikit yang terpapar konten dewasa hingga menjadi korban pelecehan seksual.
”Konten dewasa ini sebagian besar anak dipaksa turut ikut serta menontonnya. Keamanan di dunia online (dalam jaringan) ini hal mendesak yang saat ini perlu menjadi perhatian kita bersama,” kata Vidi, di Jakarta, Rabu (24/7/2024).
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), mayoritas konten negatif yang diadukan sepanjang tahun 2018-2023 bermuatan pornografi dan judi daring. Sementara itu, rata-rata anak mengakses internet selama 4-5 jam per hari.
Konten-konten tersebut rawan untuk diakses anak-anak karena minimnya pengawasan dari orangtua. Data menunjukkan, sekitar 74 persen anak yang menggunakan gawai tidak mempunyai pengaturan dengan orangtuanya.
Data lain dari Badan Pusat Statistik tahun 2021 menunjukkan, 89 persen anak berusia lima tahun ke atas mengakses internet hanya untuk media sosial. Hanya 33 persen di antaranya yang mengakses internet untuk mengerjakan tugas sekolah.
Isu perlindungan anak di internet ini juga mendapat perhatian besar dalam peringatan Hari Anak Nasional ke-40 tahun 2024.
Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Ciput Eka Purwianti mengutarakan, advokasi untuk perlindungan anak di internet sudah diakomodasi dalam aturan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang baru direvisi pada Desember 2023, Pasal 16A memastikan semua produk yang dikeluarkan penyelenggara sistem elektronik (PSE) wajib memberikan perlindungan terhadap anak dalam fitur-fiturnya.
”Anak-anak memang tidak bisa lepas dari gawai atau internet karena sebenarnya potensi baiknya jauh lebih besar. Jadi, jangan juga kita tidak memenuhi hak mereka untuk menikmati kemajuan teknologi, harus seimbang, mereka harus punya akses ke konten positif,” ucap Ciput.
Namun, dia mengakui, kebijakan yang dibuat hanya menyasar pada pencegahan dan penindakan yang ditujukan kepada PSE, belum berperspektif korban, yaitu pendampingan kepada anak-anak yang mengakses internet. Pemerintah tengah menyusun aturan turunan agar penerapan kebijakan tepat guna.
Ciput menambahkan, penyusunan aturan turunan ini memerlukan kolaborasi multipihak agar kebijakan yang dibuat bisa sesuai dengan tujuan perlindungan anak di dunia maya. Peran dan kesadaran orangtua untuk melindungi anaknya dari hal negatif di internet menjadi hal yang terpenting.
Selain itu, pemerintah di tingkat terendah, seperti desa, perlu mengalokasikan anggaran dana desanya untuk perlindungan anak di internet. Kemudian, peran masyarakat pun perlu ditingkatkan agar permasalahan ini menjadi tanggung jawab bersama.
Isu perlindungan anak di internet ini juga mendapat perhatian besar dalam peringatan Hari Anak Nasional ke-40 tahun 2024, 23 Juli ini. Pemerintah ingin anak Indonesia tumbuh dengan ekosistem digital yang sehat.
Anak Indonesia diharapkan paham dan mampu memilah mana yang baik dan tidak baik, yang boleh dicontoh atau tidak, serta mencegah dampak buruk lainnya dari lingkungan digital dan penyalahgunaan teknologi.
Sementara ChildFund sebagai komunitas global peduli anak selama ini turut berperan melindungi anak-anak dari efek negatif internet. Mereka masuk ke lingkungan terkecil dari anak, yakni orangtua dan sekolah, untuk menguatkan pengasuhan digital agar anak tak jadi korban kejahatan berbasis daring.
Child Protection & Advocacy Specialist ChildFund International in Indonesia, Reny Rebeka Haning, mengutarakan, pihaknya mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi agar memasukkan literasi digital dalam kurikulum belajar.
Sekolah sebagai ”rumah kedua” anak memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan anak di dunia maya. ”Ada banyak peluang dari anggaran pemerintah itu untuk dialokasikan pada masalah ini. Jadi, kolaborasi dari tingkat bawah sampai atas itu penting,” tutur Reny.