Kepala Sekolah Menolak Disalahkan dalam Polemik ”Cleansing” Guru Honorer
Kepala Sekolah tidak pernah berniat untuk memberhentikan ratusan guru honorer karena sekolah juga kekurangan guru.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Sekolah se-DKI Jakarta menolak disalahkan dalam polemik pemecatan atau cleansing ratusan guru honorer. Sebab, selama ini mereka terpaksa merekrut guru honorer tanpa sepengetahuan Dinas Pendidikan setempat karena kekurangan guru di sekolah.
Hal itu diungkapkan Mutia, Kepala SMA Negeri 112 Jakarta Barat yang mewakili kepala sekolah se-DKI Jakarta dalam rapat bersama dengan Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta di Gedung DPRD, Jakarta, Selasa (23/7/2024). Mereka tidak pernah berniat memberhentikan ratusan guru honorer karena tenaga mereka masih dibutuhkan di sekolah.
Mutia menjelaskan, pemecatan ratusan guru honorer secara sepihak adalah keputusan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, bukan kemauan kepala sekolah. Sementara sekolah sangat membutuhkan guru untuk mengatasi kurangnya pengajar karena banyak guru yang pensiun, tetapi tak kunjung digantikan oleh guru baru.
Upaya kepala sekolah meminta guru baru untuk menggantikan yang pensiun ke Dinas Pendidikan DKI Jakarta sudah dilakukan. Namun, permintaan tersebut tidak selalu bisa dipenuhi karena perekrutan guru aparatur sipil negara yang dilakukan belum bisa memenuhi kebutuhan guru di DKI Jakarta.
”Kami setiap bulan meminta ke dinas, tetapi, kan, tidak serta-merta saat ada guru pensiun, saat itu juga ada penggantinya. Untuk sekolah saya saja tahun 2023 ada tiga orang pensiun. Tahun 2024, empat orang pensiun. Nanti, 2025 lima orang pensiun. Sementara kegiatan belajar-mengajar jalan terus. Apa yang harus kami lakukan?” kata Mutia.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan DKI Jakarta, jumlah total guru di Jakarta saat ini 42.018 orang. Status mereka dibagi jadi 18.885 guru pegawai negeri sipil, 16.414 guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), 4.065 guru kontrak kerja individu (KKI), dan 2.654 guru honorer, serta 1.473 tenaga kependidikan honorer. Jumlah ini tak sebanding untuk mengajar 505.549 siswa se-Jakarta.
Para kepala sekolah, kata Mutia, mengakui kesalahannya karena telah merekrut guru honorer tanpa izin dari Dinas Pendidikan. Namun, tindakan tersebut mereka lakukan demi memberikan pelayanan pendidikan terbaik bagi para siswa agar tidak ada jam kosong di sekolah.
”Kami tahu persis ini melanggar aturan, ini biarlah menjadi kesalahan kami. Sekarang kami dibina kami terima, dimarah-marahin kami terima, karena memang salah. Tetapi, kami hanya meminimalkan risiko pada anak,” ujarnya.
Mutia juga tidak mau kepala sekolah dicap telah merekrut guru honorer atas dasar nepotisme. Sebab, mereka merekrut tetap mengutamakan kompetensi dari guru honorer yang dibutuhkan sekolah. ”Mungkin ada segelintir (yang nepotisme), tetapi jangan digeneralisasi dengan niat baik kami,” tuturnya.
Oleh karena itu, para kepala sekolah memohon agar guru-guru honorer terdampak cleansing untuk diberikan afirmasi dengan diutamakan dalam seleksi guru KKI yang akan dilakukan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan pengabdian yang selama ini sudah dilakukan guru honorer.
Kembali mengajar
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Budi Awaludin mengatakan, 141 guru honorer yang dipecat telah diminta kembali ke sekolah untuk mengajar dan dibayar dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Nantinya mereka akan diarahkan untuk mengikuti seleksi guru KKI pada Agustus 2024 dengan kuota 1.700 guru dan 2.300 kuota guru KKI pada 2025.
Selain itu, DKI akan membantu sebanyak 2.654 guru honorer untuk mendapat Data Pokok Pendidikan atau Dapodik dan membuka kuota 1.900 guru dalam seleksi PPPK yang berlangsung bertahap hingga akhir 2024. Seleksi PPPK ini bisa diikuti semua guru honorer ataupun guru lulusan baru.
Sekarang kami dibina kami terima, dimarah-marahin kami terima, karena memang salah. Tetapi, kami hanya meminimalisasi risiko pada anak.
”Kami jamin mereka hari ini sudah kembali masuk di sekolah. Di sekolah yang semula tempat mereka diputuskan hubungan kerja,” kata Budi.
Saifur Rohman, pemerhati pendidikan dan Dosen Filsafat di Program Doktor Universitas Negeri Jakarta dalam opininya di Kompas, 22 Juli 2024, menilai sistem perekrutan guru yang dibagi jadi tiga kelas tak selalu berjalan mulus. Sebab, mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN sebagai dasar mengangkat PPPK, standar kompetensi belum tentu terpenuhi guru honorer.
Hal yang dites secara umum mencakup kecakapan profesi dan kompetensi. Alhasil, guru-guru yang baru kuliah akan dengan mudah melewati ambang batas kelulusan, sedangkan guru senior akan tertinggal. Di sisi lain, para guru honorer yang sudah senior ini justru memiliki kelebihan di bidang pengalaman, pengabdian, dan dedikasi.
”Contoh kemampuan menonjol dari guru honorer senior adalah dalam mengelola kelas karena kematangan dan keterlibatan emosional. Pendekatan-pendekatan terbaru yang diperkenalkan guru muda menemui kesulitan dalam praktik di lapangan,” kata Saifur.
Kepala Bidang Advokasi Guru dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menambahkan, seleksi PPPK guru tidak menyelesaikan permasalahan guru. Bahkan, dalam UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen ditegaskan bahwa tidak ada klasifikasi guru swasta, guru negeri, guru honorer, atau guru PPPK, yang ada hanya guru.
”Kami tetap meminta seleksi PNS dibuka, bukan PPPK. Kebijakan terhadap guru yang berubah-ubah dan tersegmentasi secara vertikal dan horizontal, terbukti dengan banyaknya kelompok guru ad-hoc, akan menyebabkan peta konflik guru,” kata Iman.