Kecurangan Akademik dan Gengsi Gelar Profesor
Sorotan tak henti pada kecurangan akademik meraih jabatan profesor mencederai integritas akademik.
Sorotan pada jabatan akademik guru besar atau profesor di Indonesia tidak kunjung reda. Integritas akademik untuk meraih jabatan akademik dari para dosen di perguruan tinggi untuk menjadi profesor kerap kali ternoda karena ada dugaan kecurangan akademik, salah satunya plagiasi karya ilmiah ataupun bentuk kecurangan lainnya.
Kuasa Hukum Forum Dosen Peduli Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Pattimura Ambon Woro Wahyuningtyas, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (22/7/2024), mengatakan, pihaknya masih menunggu kabar hasil invesitigasi tim Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tentang laporan para dosen.
Forum Dosen Peduli FEB Universitas Pattimura meminta Kemendikbusristek menilai ulang Surat Keputusan Guru Besar yang diberikan kepada Teddy Christianto Leasiwal yang kini menjabat Dekan FEB Universitas Pattimura karena diduga melakukan plagiasi. Salah satunya ada kemiripan 90 persen karya yang diterbitkan dengan karya seorang akademisi dari universitas lain yang sudah almarhum.
Baca juga: Guru Besar Hanya Nama
Cara-cara curang untuk naik jabatan akademik, terutama untuk meraih profesor, terus mencuat dan mencederai integritas akademik yang semestinya dijunjung tinggi sivitas akademika di perguruan tinggi mana pun.
Di hadapan pimpinan perguruan tinggi negeri (PTN) akademik pada Rapat Koordinasi Evaluasi Pelaksanaan Program, Kegiatan, dan Anggaran Semester I Tahun 2024, di Jakarta Kamis (18/7), Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Abdul Haris menekankan pentingnya menjaga integritas.
Kebijakan terkait dengan integritas akademik ini telah diatur dalam Permendikbud Nomor 39 Tahun 2021. Pada regulasi tersebut telah diuraikan secara jelas kewajiban perguruan tinggi dalam menjaga integritas akademik.
”Perguruan tinggi wajib menjaga dan mempertahankan integritas akademik. Ini perlu saya tekankan betul karena akhir-akhir ini banyak fenomena yang berkaitan dengan integritas akademik, khususnya soal kenaikan jabatan akademik,” kata Haris.
Tidak ada kompromi
Haris menegaskan tidak ada kompromi terkait dengan integritas akademik. Ia akan menindak tegas jika ada pelanggaran, kelalaian, dan penyimpangan yang mencederai integritas akademik. ”Apabila terjadi pelanggaran, kelalaian, dan penyimpangan, kami tidak segan-segan melakukan tindakan tegas,” kata Haris.
Kritik tajam terhadap pengangkatan profesor ”abal-abal” yang dipertanyakan kapasitas dan kredibilitasnya juga dilontarkan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang mengeluarkan seruan integritas AIPI.
Proses yang tidak transparan dan penuh kejanggalan ini mengundang banyak pertanyaan dan dinilai mencederai keluhuran dunia akademik yang mengutamakan kejujuran, kebenaran, dan ketulusan.
Perguruan tinggi wajib menjaga dan mempertahankan integritas akademik. Ini perlu saya tekankan betul karena akhir-akhir ini banyak fenomena terkait dengan integritas akademik, khususnya kenaikan jabatan akademik.
Sangat disayangkan bahwa peristiwa ini juga melibatkan individu-individu di lembaga tinggi negara, yang seharusnya dihormati dan menjadi teladan masyarakat. Akibatnya, martabat insan akademik telah direndahkan dan memerlukan restorasi yang sistematis dan menyeluruh.
Bukan gelar akademik
Mencuatnya perolehan gelar profesor yang diburu, bahkan dengan cara curang, dinilai karena ada anggapan profesor adalah gelar akademik, padahal profesor adalah jabatan akademik. Selain itu, atribut profesor dianggap bisa meningkatkan status sosial tanpa mempertimbangkan atribut itu mengandung implikasi dan tanggung jawab akademik.
Sejumlah lembaga pendidikan tinggi berada di bawah pengaruh tokoh-tokoh non-akademik yang tak memiliki integritas kuat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Apalagi ada celah regulasi yang memberi peluang penyalahgunaan wewenang untuk berkompromi.
Lebih jauh lagi, AIPI melihat bahwa fasilitasi yang diberikan kepada tokoh-tokoh non-akademik yang mencari jabatan profesor adalah konspirasi yang mengabaikan proses dan nilai akademik demi gengsi sesaat dan berpotensi disalahgunakan. Daya rusak proses ilegal yang tidak disertai bukti perjalanan ilmiah ini sangat nyata.
”Karena itu, fenomena puncak gunung es ini harus diberantas sampai pada dasar penyebabnya,” kata Ketua AIPI Daniel Murdiyarso. AIPI menyerukan agar integritas akademik dalam pemberian jabatan profesor segera ditegakkan.
Pengakuan akademik berbasis merit dan harus diberikan berdasarkan prestasi ilmiah, mendorong budaya ilmiah yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, dan menghormati keahlian untuk kemaslahatan masyarakat daripada sekedar gelar untuk kepentingan pribadi yang sempit.
Dengan tegas AIPI merekomendasikan sejumlah cara untuk memperbaiki citra dan nama baik pendidikan tinggi Indonesia. Caranya, pencabutan atau pembatalan gelar profesor yang prosesnya terbukti melanggar peraturan serta pemberian sanksi kepada perguruan tinggi yang terbukti melanggar peraturan yang berlaku.
Selain itu, prosedur dan sistem penilaian calon profesor dari tingkat perguruan tinggi sampai dengan Kemendikbudristek mesti diperbaiki. Hal itu bertujuan agar tidak membuka celah terjadi kecurangan dan memperkuat kapasitas perguruan tinggi sebagai penapis pertama dan utama dalam proses pengangkatan jabatan profesor.
Persoalan serius
Beberapa waktu lalu, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dalam pernyataannya mendorong komunitas ilmiah di Indonesia, mulai dari dosen, peneliti, pengkaji, mahasiswa, hingga siswa, untuk bergerak menguatkan penerapan etika dan integritas ilmiah bagi praktik akademia sebagaimana disepakati komunitas akademik global.
Praktik kecurangan dan pelanggaran akademik oleh akademisi yang muncul di publik dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan adanya persoalan serius dalam komunitas akademik Indonesia.
”Bangsa Indonesia menghadapi pertanyaan besar. Apakah praktik kecurangan akademik karena dorongan atau tekanan dari sistem merit berbasis kuantitas luaran, ataukah persoalan moralitas akademik yang berakar pada lemahnya budaya dan perangai ilmiah komunitas akademik di Indonesia,” ujar Ketua ALMI Gunadi.
Baca juga: Sengkarut Akademik
Praktik kecurangan ini meliputi publikasi di jurnal tak bereputasi, pelanggaran etika kepengarangan, termasuk memakai nama sesama akademisi dalam kepengarangan tanpa izin, plagiarisme, mengabaikan konflik kepentingan, dan penyalahgunaan kekuasaan pada sesama penulis yang memiliki daya tawar lebih rendah.
Berbagai kasus tersebut menjelaskan bahwa akar masalah tidak semata karena tuntutan kinerja dengan menitikberatkan pada jumlah publikasi ilmiah internasional sebagai syarat pemenuhan kinerja. Di dalamnya termaktub persoalan moralitas dan integritas akademik yang lemah.
Namun, perilaku individu tidak akan muncul apabila sistem dibuat dengan baik. Sistem yang ada saat ini menciptakan perverse incentives untuk akademisi mengejar jumlah, tetapi menempatkan kualitas menjadi penumpang.
Obsesi pada kuantitas publikasi, sitasi, dan metrifikasi dinilai mengaburkan proses penilaian karya ilmiah yang seharusnya berorientasi pada kualitas karya ilmiah itu sendiri. Metriks dan indeks menjadi ukuran mutlak kualitas karya ilmiah dan berdampak pada penilaian kinerja dosen yang naif dan simplistik.
Secara umum, sistem penilaian kinerja akademik masih berbasis pada kuantifikasi luaran (output) berupa publikasi, bukan pada proses riset atau kualitas proses dan publikasi ini. Sistem menciptakan perverse incentives akibat kebijakan menilai kinerja dan kepakaran akademia hanya semata dari kuantifikasi luaran publikasi ilmiah.
Sejauh ini Indonesia belum memiliki sistem insentif komprehensif, yang mengatur insentif moneter ataupun jenjang karier akademik untuk mendorong produktivitas.
Praktik kecurangan, pelanggaran, bahkan kejahatan akademik tidak dapat diisolasi menjadi persoalan integritas individu, melainkan kritik pada kebijakan pemeringkatan, kebijakan penilaian kinerja akademisi, manajemen lembaga akademik, universitas, dan lembaga riset di Indonesia.
Semua bentuk kecurangan atau pelanggaran akademik harus diberi sanksi secara sistemik ataupun oleh komunitas epistemik, alih-alih dinormalisasi, sehingga menciptakan deterrent effect (efek gentar) dan memberikan ruang introspeksi bagi komunitas epistemik lainnya.
Untuk itu, universitas, lembaga riset, dan kementerian terkait perlu sesegera mungkin memberikan panduan integritas akademik, menciptakan skema sanksi tegas, dan mengubah pandangan yang mengedepankan kuantitas keluaran akademik sebagai basis penilaian.