Meski terus disuarakan, pengungkapan kasus pelanggaran HAM tak kunjung tuntas. Namun, diam bukan pilihan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Tiga patung berwarna hitam berjejer di halaman Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Jumat (19/7/2024). Patung-patung karya maestro Dolorosa Sinaga itu memang tidak bergerak, tapi ”berteriak” menyuarakan kasus penghilangan paksa yang meninggalkan luka menganga dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Intensi patung berbahan fiberglass tersebut sangat kuat. Patung ”Monumen Penghilangan Paksa di Indonesia” yang diletakkan di sisi kiri menampilkan pigura kosong. Sosok perempuan memeluk salah satu sisi pigura. Sementara sosok laki-laki pasrah bersandar di sisi lainnya.
Patung ini mengekspresikan kepedihan orangtua saat meratapi penculikan anaknya. Hal ini menjadi gambaran umum unjuk rasa orangtua yang kerap membawa foto anaknya saat menuntut negara mengungkap kasus penghilangan paksa pada periode tahun 1997-1998.
Hingga kini, sedikitnya 13 aktivis masih hilang. Pemerintahan silih berganti, tetapi keberadaan mereka masih menjadi misteri.
Di sisi kanan, patung ”Monumen Tragedi Semanggi 1998” menampilkan enam sosok manusia sedang berlutut. Mereka menggendong jenazah. Tragedi Semanggi merupakan peristiwa berdarah. Sejumlah mahasiswa tewas ditembak saat berunjuk rasa.
Nuansa patung ketiga yang diletakkan di tengah tak kalah memilukan. Sosok manusia memeluk peti mati yang ditempatkan di atas buku tebal. Patung ini diberi nama ”Monumen Pembantaian Massal Indonesia 1965-1966”.
Karya seni rupa dalam pameran Patung dan Aktivisme: Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso tersebut mengundang beragam interpretasi. Pameran berlangsung pada 19 Juli sampai 19 Agustus 2024. Lebih dari 50 karya seni rupa dipamerkan. Selain patung, ada juga sketsa dan lukisan.
Kurator pameran Alexander Supartono mengatakan, obyek buku dalam ”Monumen Pembantaian Massal Indonesia 1965-1966” sebagai metafora untuk menyampaikan pesan tertentu.
”Menurut saya, Dolorosa memberikan tawaran untuk solusi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia) lewat pendidikan. Kita harus berani memperkenalkan bahwa kita punya sejarah kelam,” kata Alexander.
”Satu-satunya cara menyelesaikannya adalah menghadapinya dengan membicarakannya dalam dunia pendidikan,” ujarnya dalam pembukaan pameran, Jumat (19/7/2024) petang.
Karya-karya Dolorosa sangat kental dengan narasi hubungan orangtua dan anak. Nuansa kekerasan dan penderitaan berkepanjangan tidak terbantahkan.
Namun, ekspresi perlawanan juga tidak kalah kuat. Perlawanan yang tidak hanya menantang, tapi juga menjaga ingatan akan buramnya penyelesaian kasus penghilangan paksa di masa lalu.
Budi Santoso menghadirkan makna perlawanan dalam perspektif berbeda. Kekuatan karyanya terletak pada detail yang membawa pengunjung menyelami lebih jauh saat melihat patung-patungnya.
Satu-satunya cara menyelesaikannya adalah menghadapinya dengan membicarakannya dalam dunia pendidikan.
Patung ”Historical Moment” menjadi salah satu karya yang mencuri perhatian. Konsep utama patung ini adalah jendela besar dengan kedua daunnya yang terbuka. Seorang perempuan duduk di sudut kiri bawah jendela sambil membaca buku.
Jika diperhatikan lebih teliti, terdapat sosok anak kecil di pangkuan perempuan tersebut. Gambaran lampu petromaks yang digantungkan di jendela menambah kesan jadul pada patung tersebut.
”Sekitar 20 tahun lalu, membacakan buku kepada anak mungkin biasa. Namun, saat ini, hal itu bisa dianggap revolusioner karena sudah sangat jarang dilakukan. Budi menerjemahkan secara mikro bagaimana ide-ide progresif bisa diterapkan dalam kehidupan kita,” ucapnya.
Bukan sekadar guru dan murid
Pameran Patung dan Aktivisme: Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso merupakan pameran dua pematung dari dua generasi berbeda. Dolorosa lahir 72 tahun lalu di Sibolga, Sumatera Utara. Sementara Budi lahir di Cilacap, Jawa Tengah, pada tahun 1980.
Pertemuan pertama Dolorosa dan Budi terjadi 24 tahun lalu. Saat itu, Budi yang sedang kuliah di Jurusan Patung Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan aktif di kolektif Taring Padi menawarkan diri untuk magang di Studio Somalaing milik Dolorosa di Jakarta.
Menurut Alexander, interaksi keduanya lebih dari sekadar hubungan guru dan murid. Landasan hubungan keduanya adalah kerja bersama. Hal ini pula yang menciptakan proses adopsi dan adaptasi dalam keahlian teknis dan pencapaian artistik.
”Seandainya hubungan itu hanya sebagai guru dan murid, proses ini tidak akan berkelanjutan sampai puluhan tahun. Sebab, ada titik di mana murid meninggalkan gurunya dan memulai penjelajahan artistiknya sendiri,” ujarnya.
Dolorosa mengatakan, pameran tersebut merupakan suatu percakapan ekspresi patung lintas generasi. Sebagai pematung, ia dan Budi tergila-gila dengan tanah liat sebagai medium berkarya.
Tiga karya Dolorosa di halaman Galeri Nasional Indonesia merupakan hasil proses pembesaran dari karyanya yang selama ini menemaninya di studio.
Ketiganya menjadi kekuatan seni untuk menggalang kesadaran untuk tidak pernah melupakan sejarah kelam bangsa, yaitu pembantaian massal pada tahun 1965-1966, Tragedi Semanggi 1998, serta penghilangan paksa aktivis kemanusiaan dan HAM.
Sebelum pameran dibuka, ratusan pengunjung berkumpul di amfiteater Galeri Nasional Indonesia. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid menuturkan, pameran itu tak cuma memajang karya.
Pameran tersebut juga juga merefleksikan perjalanan bangsa yang menangkap suara kaum tergusur dan terpinggirkan, nyanyian sunyi para korban kekerasan, serta geliat kebangkitan menuntut keadilan.
”Dolorosa dan Budi mengartikan sejarah sebagai energi yang dialirkan menjadi karya-karya luar biasa. Mari kita membiarkan diri larut dalam karya-karya mereka,” ucapnya.