”Cleansing” Guru Honorer dan Gunung Es Pendidikan Nasional
Dipecat di awal tahun ajaran baru akibat kelalaian pemerintah jadi pukulan berat bagi ratusan guru honorer di Jakarta.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·5 menit baca
Pemecatan secara massal ratusan guru honorer secara mendadak di Jakarta mengungkit permasalahan pelik pendidikan yang tak kunjung usai. Seperti gunung es yang pelan-pelan muncul ke permukaan, perlahan tetapi pasti para guru honorer akan tersingkir karena sistem pengelolaan sumber daya manusia pendidikan yang buruk.
Andi, guru honorer di salah satu SMA Negeri di Jakarta Barat, kaget bukan kepalang saat menerima pesan berantai dari suku dinas pendidikan, sehari sebelum tahun ajaran 2024/2025 baru dimulai. Pesan itu memuat tautan Google Spreadsheet berisi daftar nama guru honorer yang akan dipecat. Bahkan, dalam pesan itu, pemerintah menggunakan diksi pembersihan atau cleansing.
Saya masih mau mengajar karena saya mencintai dunia pendidikan, mencintai anak-anak. Saya memberikan hati saya untuk mereka.
Guru ilmu sosial yang sudah mengantongi Data Pokok Pendidikan di sekolah swasta ini direkrut menjadi guru honorer di SMA negeri sejak tahun 2022 oleh kepala sekolah karena saat itu sekolah kekurangan guru. Honornya dibayar dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang besarannya bergantung dari kesepakatan dengan kepala sekolah, itu pun pemberiannya sering dirapel tiga bulan.
”Cleansing ini diksi yang sangat hina bagi kami guru honorer. Kami manusia, bukan barang yang bisa dibersihkan. Apakah negara tidak menjamin keberadaan kami, guru, ya, guru saja, tidak perlu ada kelas sosial di profesi guru,” kata Andi saat ditemui di Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Pikiran Andi sekarang karut-marut. Dia tidak bisa lagi mengajar di sekolah, sementara tahun ajaran baru sudah dimulai yang menutup kesempatan untuk melamar kerja di sekolah swasta lainnya. Bersama ratusan guru honorer lainnya, kini dia fokus memperjuangkan kembali haknya.
Begitu juga dengan Niki (bukan nama sebenarnya), guru honorer perempuan di SMA negeri di Jakarta Timur yang tak tahu lagi harus berbuat apa setelah kejadian ini. Anaknya masih berusia tiga tahun, usia yang memerlukan perhatian penuh dari orangtua, tetapi ibunya di-cleansing pemerintah.
Niki menjadi guru honorer sejak tahun 2021 saat direkrut kepala sekolah karena di sekolahnya hanya ada satu orang guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang mengampu 18 kelas di sekolah tersebut. Kemudian, masuklah Niki menjadi guru honorer mengurangi beban guru lainnya dengan mengajar PPKn di enam kelas.
”Guru itu katanya pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi apakah memang tidak ada tanda jasanya sama sekali seperti ini?” kata Niki.
Niki dan Andi sangat paham bahwa menjadi sarjana pendidikan di sistem pendidikan nasional Indonesia tidak akan mendatangkan kesejahteraan. Namun, mereka memilih jalan sunyi dengan tetap menjadi guru karena kecintaan mereka pada profesi yang seharusnya dimuliakan.
”Saya masih ingat ketika saya kontraksi mau melahirkan, saya masih mengajar karena saya mencintai dunia pendidikan, saya mencintai anak-anak, saya memberikan hati saya untuk mereka,” tutur Niki terbata-bata menahan tangis.
Mereka dan ratusan guru honorer lain yang di-cleansing merupakan korban dari kesemrawutan dunia pendidikan Indonesia. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Jakarta Budi Awaludin mengakui, mereka kecolongan dengan rekrutmen guru honor selama ini yang diangkat oleh kepala sekolah tanpa melalui proses rekomendasi berjenjang ke tingkat dinas.
Praktik ini berjalan sudah lama hingga kini terakumulasi ada 4.000 tenaga honorer sejak 2016 di lingkungan Dinas Pendidikan Jakarta. Padahal, pemerintah pusat sedang menata aparatur sipil negara di mana tidak boleh ada lagi perekrutan dan tenaga honorer aktif hingga Desember 2024.
Kelalaian ini kemudian ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melanggar ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 63 Tahun 2022. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menindaklanjutinya dengan cleansing secara massal guru honorer tanpa kompensasi apa pun.
”Hasil pemeriksaan BPK tahun 2024 ditemukan peta kebutuhan guru honor yang tidak sesuai dengan Permendikbud serta ketentuan sebagai penerima honor,” kata Budi.
Gunung es
Kepala Bidang Advokasi Guru dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menilai, peristiwa di Jakarta ini adalah puncak dari fenomena gunung es. Para guru honorer di berbagai daerah ”diusir” buntut dari amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Kesempatan bagi guru honorer untuk menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) melalui seleksi calon ASN dikerdilkan.
”Di Kabupaten Lampung Utara, Lampung, misalnya, pemerintah daerah setempat tidak pernah membuka formasi PPPK guru dalam lima tahun terakhir. Di Garut, Jawa Barat, guru honorer tergeser oleh guru PPPK, jam mengajarnya dikurangi, bahkan nol.
Sementara di Jawa Barat, jumlah guru P1 (guru prioritas tertinggi dalam seleksi PPPK) ada 1.529 orang dan jumlah guru non-ASN 8.974 orang. Namun, kuota PPPK pada 2024 hanya tersedia 1.529 formasi sehingga masih banyak guru honorer tidak mendapatkan kesempatan menjadi seleksi PPPK. Padahal, angka kebutuhan guru di Jawa Barat sebesar 11.583 orang.
Kondisi geser-menggeser antara guru honorer dan guru PPPK cukup memanas karena mereka dipaksa memperebutkan formasi yang sama. Padahal, menurut Iman, para guru honorer harus tetap diberikan kesempatan yang sama dengan guru PPPK.
”Keduanya (PPPK dan honorer) sama-sama memiliki hak, tetapi mereka seperti diadu domba,” kata Iman.
Lebih jauh, Iman menegaskan bahwa narasi pemerintah yang menyatakan seleksi PPPK solusi menyejahterakan guru adalah keliru. P2G mendesak pemerintah kembali membuka formasi pegawai negeri sipil, bukan PPPK.
P2G bersama Lembaga Bantuan Hukum Jakarta kini tengah menjaring solidaritas dengan membuka posko pengaduan sebelum menggugat pertanggungjawaban pemerintah. Saat ini, baru 107 guru honorer yang berani mengadu sudah dipecat atau dalam bahasa dinas pendidikan disebut kebijakan cleansing.
Jumlahnya diyakini lebih dari itu. Sebab, berdasarkan tautan Google Spreadsheet, jumlah nama guru honorer yang diberhentikan mencapai ratusan pada setiap kota di Jakarta. Di Suku Dinas Pendidikan Jakarta Utara, misalnya, sudah ada lebih dari 173 nama guru honorer yang terkena kebijakan cleansing ini.
Pengaduan bisa dilakukan guru honorer terdampak dengan mengisi formulir daring melalui tautan bit.ly/FormulirPengaduanCleansingGuruHonorer. Iman meminta upaya advokasi ini tidak direspons dengan intimidasi oleh pemangku kepentingan. Sebab, banyak guru takut mengadu walau ia telah dipecat tanpa penjelasan.