Setahun Target 100 Persen Pengelolaan Sampah Belum Signifikan
Belum ada peningkatan kinerja yang signifikan menjelang satu tahun target 100 persen pengelolaan sampah pada 2025.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Sampah masih menjadi persoalan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Belum optimalnya pengelolaan sampah disebabkan berbagai faktor, mulai dari tata kelola, minimnya penegakan hukum, hingga pola pikir dan kebiasaan masyarakat.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, timbulan sampah di Indonesia pada 2023 telah mencapai 69,9 juta ton. Dari jumlah tersebut, komposisi sampah terbanyak berasal dari sisa makanan (41,60 persen), disusul sampah plastik (18,71 persen), kayu atau ranting (11,31 persen), kertas (10,72 persen), dan logam (3,36 persen).
Sebagai negara yang masih menghadapi persoalan ini, sejak beberapa tahun terakhir Pemerintah Indonesia terus mengoptimalkan upaya pengelolaan sampah. Pemerintah juga menerapkan skenario pengelolaan sampah dengan target pada 2025 hingga 2060.
Tujuh tahun lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Perpres tentang kebijakan dan strategi nasional (jakstranas) tersebut menargetkan 100 persen sampah sudah dapat dikelola pada 2025 yang terdiri dari 30 persen pengurangan dan 70 persen penanganan sampah.
Meski demikian, satu tahun menuju target jakstranas tersebut, kinerja pengelolaan sampah nasional masih belum ada peningkatan yang signifikan. Tercatat pada 2023, upaya penanganan sampah baru mencapai 51,76 persen dari target sebesar 70 persen. Sementara upaya pengurangan sampah baru mencapai 15,36 persen dari target 30 persen pada 2025.
Selain itu, data Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN-PSL) menunjukkan, capaian pengurangan sampah plastik ke laut hingga 2023 telah tercatat sebanyak 41,68 persen atau setara dengan 359.061 ton. Namun, angka ini masih jauh dari target pengurangan sampah plastik ke laut tahun 2025 sebesar 70 persen.
Direktur Pengurangan Sampah KLHK Vinda Damayanti mengemukakan, tren untuk pengurangan sampah memang menunjukkan kenaikan setiap tahun. Akan tetapi, target pengurangan dan penanganan sampah pada 2025 masih perlu upaya yang lebih besar.
”Kondisi ini harus menjadi perhatian kita semua agar bisa mencapai target jakstranas ini,” ujarnya dalam kegiatan rapat koordinasi nasional (rakornas) Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK di Jakarta, Selasa (16/7/2024).
Vinda menjelaskan, Perpres No 97/2017 mengamanatkan gubernur dan bupati atau wali kota wajib menyusun dokumen kebijakan dan strategi daerah (jakstrada) pengelolaan sampah. Hingga Juli 2024, tinggal satu provinsi, yakni Papua Pegunungan, yang belum menyusun jakstrada, sedangkan 30 daerah belum menyusun jakstrada di tingkat kabupaten/kota.
Menurut Vinda, dokumen jakstrada sangat penting agar pemerintah daerah dapat mengukur capaian pengelolaan sampah di daerah masing-masing. Di sisi lain, dokumen ini juga penting untuk menyusun langkah-langkah evaluasi dan perencanaan yang sudah ditetapkan.
Pada tahun 2023, KLHK menetapkan target sebesar 27 persen untuk setiap daerah dalam upaya pengurangan sampah. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), hanya satu daerah, yakni DKI Jakarta, yang baru mencapai target pengurangan sampah tersebut sebesar 27,12 persen.
Isu prioritas
Vinda menekankan bahwa pengelolaan sampah harus menjadi isu prioritas di tingkat lokal hingga global. Sebab, pengelolaan sampah memiliki hubungan dengan tiga krisis planet, yakni perubahan iklim, polusi, dan ancaman kehilangan keanekaragaman hayati.
”Berdasarkan laporan Global Waste Management Outlook 2024 dari UNEP (Program Lingkungan PBB), sampah menjadi salah satu penyebab utama dari kehilangan keanekaragaman hayati. Kemudian, sampah yang dibuang ke daratan dapat menyebabkan pencemaran air hingga berdampak terhadap kesehatan manusia,” tuturnya.
Laporan dari UNEP tersebut juga memperkirakan timbulan sampah perkotaan akan terus meningkat dari 2,3 miliar ton pada 2023 menjadi 3,8 miliar ton pada 2050. Tanpa tindakan dan upaya yang lebih ambisius, biaya tahunan global pengelolaan sampah pada 2050 diperkirakan bisa mencapai dua kali lipat hingga 640,3 miliar dollar AS.
Tanpa adanya intervensi, jumlah sampah plastik yang masuk ke ekosistem perairan sebanyak 9-14 juta ton per tahun pada 2016 juga dapat meningkat menjadi 23-37 juta ton per tahun pada 2040. Ini membuat plastik menyumbang sekitar 85 persen dari total sampah laut.
Dalam pertemuan Majelis Lingkungan Hidup PBB (UNEA) di Nairobi, Kenya, pada 2022, plastik telah dikategorikan sebagai polutan atau bahan pencemar lingkungan. Oleh karena itu, setiap negara sepakat untuk mengakhiri polusi plastik dan merundingkan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum pada 2024.
”Saat ini, kurang lebih 175 negara sedang melakukan negosiasi untuk penyusunan instrumen yang mengikat secara hukum internasional untuk polusi plastik. Indonesia juga berpartisipasi aktif dalam penyusunan ini dan November mendatang akan dilakukan negosiasi tahap akhir di Busan, Korea Selatan,” ungkapnya.
Pengelolaan limbah B3
Selain kinerja pengelolaan sampah, dalam rakornas tersebut juga disampaikan mengenai pengelolaan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Sampai sekarang, masih terdapat daerah yang belum memiliki jasa pengumpulan limbah B3, yakni Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Tengah, Papua, dan Papua Pegunungan.
Direktur Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 KLHK Achmad Gunawan Widjaksono menyatakan, jasa pengumpulan limbah B3 sangat penting untuk mendukung efektivitas pengelolaan limbah. Saat ini, jasa pengumpulan limbah B3 di Indonesia mencapai 317 unit.
Gunawan mengakui bahwa pengelolaan limbah B3 dan non-B3 masih menemui sejumlah tantangan, salah satunya terkait dengan penyimpanan. Aspek penyimpanan limbah B3 ini masih memerlukan upaya yang lebih besar terutama di kawasan industri, pelabuhan, serta daerah yang masuk kategori tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Ia pun menegaskan, pengelolaan limbah B3 dan non-B3 perlu upaya optimal secara berkesinambungan dan kolaboratif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu yang perlu didorong ialah penerapan prinsip proximity agar pengelolaan dapat dilakukan sedekat mungkin dengan lokasi dihasilkannya limbah B3 tersebut.