Usai Dipecat Serentak, Ratusan Guru Honorer Pertimbangkan Jalur Hukum
Guru honorer tengah berkonsolidasi usai mendadak dipecat karena kelalaian pemerintah menerapkan aturan dan ketahuan BPK.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ratusan guru honorer di Jakarta tengah mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum setelah mereka dipecat serentak tanpa pemberitahuan awal oleh Dinas Pendidikan Jakarta. Pemberhentian massal ini terjadi akibat kelalaian pemerintah dalam menjalankan peraturan yang ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK.
Kepala Bidang Advokasi Guru dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru Iman Zanatul Haeri mengatakan, pihaknya bersama Lembaga Bantuan Hukum Jakarta tengah menjaring solidaritas dengan membuka posko pengaduan sebelum menggugat pertanggungjawaban pemerintah. Saat ini, baru 107 guru honorer yang berani mengadu sudah dipecat atau dalam bahasa dinas pendidikan disebut kebijakan cleansing.
Iman meyakini, jumlahnya bisa lebih dari itu. Sebab, berdasarkan tautan Google Spreadsheet berisi daftar nama guru honorer yang terkena cleansing yang dibuat oleh masing-masing Suku Dinas Pendidikan di Jakarta, jumlah nama guru honorer yang diberhentikan mencapai ratusan. Di Suku Dinas Pendidikan Jakarta Utara, misalnya, sudah ada lebih 173 nama guru honorer yang terkena kebijakan cleansing ini.
Kata cleansing kalau kita buat terjemahan bebasnya berarti pembersihan. Itu hanya dikenal dalam istilah kejahatan hak asasi manusia yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Ini sangat tidak manusiawi.
”Jalur hukum sedang kami pertimbangkan sebagai jalan terakhir. Setelah mengumpulkan pengaduan ini, langkah selanjutnya kami akan diskusikan kembali baik mitigasi maupun non-mitigasi yang akan kami lakukan sampai kemudian teman-teman keluarga guru honorer mendapatkan haknya,” kata Iman saat jumpa pers di Kantor LBH Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Pengaduan bisa dilakukan guru honorer terdampak dengan mengisi formulir daring melalui tautan bit.lt/FormulirPengaduanCleansingGuruHonorer. Iman meminta upaya advokasi ini tidak direspons dengan intimidasi oleh pemangku kepentingan. Sebab, banyak guru takut mengadu walau ia telah dipecat tanpa penjelasan.
Dalam jumpa pers ini, salah seorang guru honorer perempuan yang tidak berkenan disebutkan nama dan asal sekolahnya mengaku ketakutan untuk bersuara karena menyangkut karier dan bisa mengancam masa depan anaknya. Sejak kebijakan cleansing itu, dia tidak diperbolehkan lagi mengajar.
Sementara upayanya untuk menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dalam seleksi calon aparatur sipil negara juga tidak didukung pembukaan formasi yang banyak oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Padahal, seleksi ini disebut-sebut pemerintah sebagai upaya menyelamatkan nasib guru honorer.
”Tahun 2022, saya sudah punya Data Pokok Pendidikan, tetapi tidak dibuka PPPK-nya untuk umum. Sampai dengan tahun kemarin, PPPK memang dibuka, tetapi pada saat saya lihat pengumuman di Jakarta, kuotanya hanya satu orang,” katanya.
Tidak manusiawi
Pengacara Publik LBH Jakarta Fadhil Alfathan menyoal istilah pembersihan atau cleansing yang digunakan Dinas Pendidikan Jakarta tidak ada dalam aturan mengenai pengelolaan sumber daya manusia. Istilah ini identik dengan pembersihan etnik atau penghapusan paksa secara sistematis terhadap kelompok etnik atau agama dari sebuah kawasan oleh sebuah kelompok etnik yang lebih berkuasa demi menciptakan masyarakat homogen.
”Ini genosida terhadap guru honorer karena istilahnya ambigu. Kata cleansing kalau kita buat terjemahan bebasnya berarti pembersihan. Itu hanya dikenal dalam istilah kejahatan hak asasi manusia yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Ini sangat tidak manusiawi,” ucap Fadhil.
Oleh karena itu, dia mendesak BPK untuk mengungkapkan isi tindak lanjut hasil temuan mereka terhadap proses rekrutmen guru honorer yang dilakukan Dinas Pendidikan Jakarta. Sampai saat ini, BPK masih belum bersuara terkait keputusan cleansing yang diambil Pemerintah Jakarta.
”Kami belum mendapat laporan akhir hasil pemeriksaan BPK dan tidak tahu ini laporan dalam model apa. Kami minta BPK bersuara,” tuturnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf pun menyesalkan kebijakan yang diambil Dinas Pendidikan Jakarta. ”Cleansing itu kata yang terlalu sadis, cleansing itu, kan, pembersihan atau seperti membasmi. Itu tidak boleh,” kata Dede.
Imbas temuan BPK
Dalam keterangan pers sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Jakarta Budi Awaludin mengakui, pemberhentian guru honorer merupakan tindak lanjut hasil temuan BPK. Temuan itu menyatakan bahwa proses rekrutmen guru honorer oleh sekolah-sekolah negeri di Jakarta tidak sesuai ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 63 Tahun 2022.
Pasal 40 Permendikbudristek tersebut menegaskan, guru yang dapat diberikan honor harus memenuhi persyaratan, yakni berstatus bukan ASN, tercatat dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), dan belum mendapat tunjangan profesi guru.
Budi mengungkapkan, jumlah honorer di lingkungan Dinas Pendidikan Jakarta sekarang mencapai 4.000 orang, terakumulasi sejak tahun 2016. Berdasarkan Persesjen Kemdikbud No 1 Tahun 2018 (Pasal 5), persyaratan NUPTK untuk guru honor adalah diangkat oleh kepala dinas. Sementara rekrutmen guru honor selama ini diangkat kepala sekolah atas alasan kebutuhan pendidikan tanpa melalui proses rekomendasi berjenjang ke tingkat dinas.
”Dari seluruh honorer yang ada saat ini dan tidak ada satu pun guru honor yang diangkat kepala dinas sehingga NUPTK-nya tidak dapat diproses sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Budi, Selasa (17/7/2024).