Jejak Budaya Manusia Sungai Batanghari
Peradaban manusia di tepi Sungai Batanghari terekam dalam laku dan produk budaya. Kebudayaan itu digali dan dihidupkan.
Kebudayaan seakan menemukan daya hidupnya kembali dengan revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Nasional atau KCBN Muarajambi. Kebudayaan yang mati suri digali, sementara yang masih hidup dirawat agar tak hilang. Dengan merawat kebudayaan, warga desa merawat pula peradaban manusia di tepi Sungai Batanghari.
Belasan ibu-ibu Desa Danau Lamo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, duduk santai di lantai beralas tikar rumbia pada Selasa (9/7/2024). Di pangkuan mereka ada belasan helai daun pandan kering yang dianyam menjadi bermacam-macam bentuk, mulai dari tudung saji, tikar, lapik bayi, hingga wadah bumbu dapur.
Menganyam daun pandan dan rumbia sudah jadi kebudayaan lama di Desa Danau Lamo. Proses penganyaman butuh waktu lama. Daun pandan berduri yang tumbuh liar di perkebunan desa mesti dilayukan terlebih dulu dengan api.
Proses berlanjut dengan menyerut daun untuk membuang duri, lantas dipotong-potong memanjang, dan direndam air semalam untuk membuang asam pada daun. Setelah direndam, daun dijemur hingga kering. Jika cuaca cerah, penjemuran cukup butuh waktu dua hari.
Ada berbagai motif yang bisa mereka anyam, antara lain siamang bajawat yang menggambarkan monyet bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain. ”Motif ini tidak putus-putus. Artinya, ini ibarat rezeki yang mengalir tanpa putus,” ucap Nuraini (48), warga Desa Danau Lamo.
Ada lagi motif sepat mudik yang ibarat ikan berenang, motif tampuk manggis, hingga motif pohon pinang. Nyaris semua motif anyaman di desa ini berkisah tentang alam. Mungkin itu pula cara leluhur mendokumentasikan kehidupan masa lampau, berkisah, sekaligus berkesenian.
Namun, tradisi menganyam ini mulai ditinggalkan generasi muda. Perempuan paling muda yang bisa menganyam di desa ini berusia 30-an tahun. Jarang ada perempuan di bawah usia 20 tahun di desa ini yang bisa menganyam. ”Mereka tidak mau belajar,” kata Nuraini.
Baca juga: Melestarikan Tradisi di Tepi Sungai Batanghari
Keterampilan menganyam umumnya dimiliki perempuan sejak anak-anak. Perempuan dipandang rajin, tekun, dan terampil apabila bisa menganyam. Dulu, bisa menganyam sama ”krusialnya” dengan bisa memasak, apalagi untuk perempuan yang hendak menikah.
Kebudayaan kini digiatkan lagi oleh delapan desa penyangga KCBN Muarajambi. Corak budaya warga desa diharapkan menguat seiring dengan berjalannya revitalisasi KCBN Muarajambi.
Pesan kebajikan gambang
Selain anyaman, Desa Danau Lamo juga dikenal akan kesenian gambang, alat musik dari bilah kayu mahang dan marelang. Dahulu, gambang sering ditampilkan di acara pernikahan dan hiburan. Namun, sekarang, tidak banyak yang bisa memainkannya, apalagi membuatnya.
”Anak-anak muda sekarang lebih tertarik dengan alat musik modern. Mereka juga lebih suka mendengarkan musik dari handphone,” ujar Nurisa (45), pelantun syair kelompok musik gambang di Danau Lamo.
Ia resah karena ketidakpedulian anak-anak muda membuat tradisi itu terancam punah. Padahal, gambang bukan sebatas alat musik, tetapi juga medium menyampaikan pesan-pesan kebajikan.
Kata orangtua kami dulu, merawat padi itu seperti merawat anak. Harus dirawat baik-baik supaya hasilnya bagus. Begitu juga dengan merawat anak agar semakin banyak ilmunya semakin tinggi pula adabnya
Tidak kurang dari tiga lagu yang dilantunkan Nurisa malam itu. Selain gambang, terdapat beberapa alat musik lain yang dimainkan secara bersamaan, yaitu gendang dan gong. Selain harmonisasi, kekuatan musik ini terletak pada lirik atau syairnya.
Salah satu penggalan syairnya berbunyi, ”Kayu kecubung di tepi kali /Tempatlah budak duduk mandi /Elok-elok merawat padi /Semakin tunduk semakin berisi”. Setiap syairnya memiliki rima seperti pantun. Kebanyakan syair berkaitan dengan aktivitas pertanian.
”Kata orangtua kami dulu, merawat padi itu seperti merawat anak. Harus dirawat baik-baik supaya hasilnya bagus. Begitu juga dengan merawat anak agar semakin banyak ilmunya semakin tinggi pula adabnya,” jelasnya.
Keresahan Nurisa dirasakan pula oleh M Abu Hasan F (27), warga Desa Kemingking Dalam. Ia beberapa kawannya lantas membentuk komunitas budaya. Misi mereka saat ini adalah menggali budaya lama yang hilang, seperti tonil atau drama teater.
Kesenian ini dulu hidup di antara warga desa, tapi perlahan hilang. Tonil terakhir dipentaskan di desa ini pada tahun 1950-an. Para pemainnya kini sudah meninggal atau sakit.
”Kami gali lagi kesenian ini dan akhirnya bisa dipentaskan kembali di desa pada 2021. Tonil ini kita mainkan dengan bersyair. Ada iringan gambang, rebana, dan biola. Kisah di pertunjukan lalu soal tiga raja yang berperang dan 40 pemuda,” kata Hasan.
Baca juga: Yang Hilang dan Kembali di Muarajambi
Pembuatan perahu
Sementara itu, di Desa Dusun Mudo, Ependi (42) menjadi “penjaga” pengetahuan tradisional dalam pembuatan perahu. Pengetahuan itu didapatkan secara autodidak sejak muda dan dilatih selama bertahun-tahun. Kini, ia dikenal sebagai salah satu perajin perahu paling lihai di Muaro Jambi.
Tak banyak perajin perahu di desa itu sekarang, begitu pula di delapan desa penyangga KCBN Muarajambi. Itu sebabnya 40 orang perwakilan delapan desa dilibatkan dalam lokakarya pembuatan kapal tradisional. Kapal ini hasil rekonstruksi kapal kuno pada relief Candi Kedaton dan Candi Teluk.
Kepala Desa Tebat Patah Taufik berharap, revitalisasi KCBN Muarajambi berjalan beriringan dengan pelestarian budaya di desa penyangga. Setiap desa akan menggali kekhasan budayanya masing-masing, baik berupa makanan tradisional, seni, permainan rakyat, adat istiadat, dan tradisi lainnya.
Masyarakat Desa Tebat Patah masih melestarikan tradisi lubuk larangan. Lubuk larangan merupakan kawasan di sepanjang aliran sungai atau kolam yang telah disepakati secara adat untuk tidak diambil ikannya selama setahun. Setelah itu, warga akan menjalani tradisi Bekarang (menangkap ikan) secara bersama-sama menggunakan tangan atau alat tangkap tradisional.