Industri Pakaian Gelontorkan Jutaan Ton Limbah Plastik ke Lingkungan
Pakaian berbahan sintetis, seperti poliester, nilon, dan akrilik penyumbang terbesar kebocoran plastik ke lingkungan.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Limbah industri pakaian jadi global menghasilkan jutaan ton plastik ke lingkungan setiap tahunnya. Pakaian berbahan sintetis, seperti poliester, nilon, dan akrilik, menjadi penyumbang terbesar kebocoran plastik ke lingkungan.
Temuan ini dirinci dalam studi yang dilakukan para peneliti di North Carolina State University dan dipublikasikan di jurnal Nature Communication. Riset yang dirilis pada Selasa (16/7/2024) ini menemukan bahwa konsumsi pakaian global menghasilkan lebih dari 20 juta ton sampah plastik pada 2019. Sekitar 40 persen dari sampah tersebut dikelola secara tidak tepat dan menjadi pencemar lingkungan, proses yang dikenal sebagai ”kebocoran plastik”.
Limbah tekstil dalam kajian ini dibagi menjadi dua sumber, yaitu pakaian yang terbuat dari bahan sintetis, seperti poliester, nilon, dan akrilik; serta pakaian yang terbuat dari katun dan serat alami lainnya. Para peneliti mengamati limbah plastik yang dihasilkan di seluruh ”rantai nilai” suatu produk pakaian jadi, yang mengacu pada keseluruhan siklus hidup suatu produk, termasuk, misalnya, tidak hanya pakaian itu sendiri, tetapi plastik yang digunakan untuk membungkusnya.
”Kami menganalisis data impor, ekspor, dan produksi pakaian jadi di negara-negara di seluruh dunia, kemudian kami membandingkannya dengan informasi global yang ada mengenai berbagai tahapan rantai nilai pakaian jadi untuk memperkirakan berapa banyak plastik yang bocor ke lingkungan pada setiap tahapan tersebut,” kata Richard Venditti, Profesor Ilmu dan Teknik Kertas North Carolina State, yang menjadi salah satu penulis studi ini.
Menurut temuan Venditti dan tim, sebagian besar sampah plastik yang bocor ke lingkungan berasal dari pakaian yang dibuang, terutama pakaian sintetis. ”Ada juga limbah dari pabrik, pengemasan, bahkan dari abrasi ban selama pengangkutan, serta mikroplastik yang terbawa ke dalam air saat kita mencuci pakaian,” katanya.
Para peneliti menemukan bahwa pakaian sintetis sejauh ini merupakan sumber sampah plastik terbesar. Rantai nilai pakaian sintetis menyumbang 18 juta ton sampah pada 2019, yang merupakan 89 persen dari seluruh sampah plastik dari industri pakaian jadi global pada tahun itu. Dari jumlah tersebut, para peneliti memperkirakan sekitar 8,3 juta ton telah bocor ke lingkungan.
Sementara itu, pakaian berbahan katun menyumbang 1,9 juta ton sampah plastik, dengan 0,31 juta ton berasal dari serat selain tekstil sintetis atau kapas. Berbeda dengan sampah plastik yang sudah habis masa pakainya yang dihasilkan dari pakaian sintetis yang dibuang, sampah plastik dari kapas dan serat lainnya hampir seluruhnya berasal dari plastik yang digunakan dalam kemasan.
Para peneliti menemukan bahwa tempat penjualan pakaian belum tentu merupakan tempat terjadinya kebocoran sampah plastik ke lingkungan. Untuk pakaian yang awalnya dijual di negara-negara berpendapatan tinggi, seperti Amerika Serikat dan Jepang, sebagian besar polusi yang dihasilkan terjadi di negara-negara berpendapatan rendah tempat pakaian-pakaian tersebut mungkin dijual di pasar sekunder.
Studi ini menguatkan laporan sebelumnya oleh Jenna Gavigan dan tim dari University of California di jurnal PLOS ONE (2020) yang menunjukkan cemaran plastik oleh industri pakaian, terutama yang berbahan serat mikro sintetis, khususnya poliester dan nilon. Menurut kajian tersebut, serat mikro terlepas dari pakaian saat dicuci dan jumlahnya yang berakhir di darat kini melebihi jumlah yang masuk ke badan air.
Apa yang kami lihat adalah, di negara-negara seperti Amerika Serikat, kita mempunyai budaya fast fashion, di mana kita membeli banyak pakaian dan tidak menyimpannya dalam waktu lama.
Serat mikro, yang didefinisikan sebagai partikel dengan panjang kurang dari 5 milimeter, dihasilkan dalam jumlah besar pada setiap tahap siklus hidup serat, terutama selama pencucian, yang secara mekanis memecah serat sintetis. Ketika air cucian menjadi bagian dari aliran ke instalasi pengolahan air limbah, serat mikro yang dikandungnya dapat tertahan bersama dengan lumpur biosolid, yang dapat diaplikasikan ke lahan pertanian atau dikubur di tempat pembuangan sampah.
Menurut kajian Gavigan, setidaknya 176.500 metrik ton serat mikro sintetis, terutama poliester dan nilon, yang dilepaskan setiap tahun ke lingkungan terestrial di seluruh dunia. Data tersebut tidak mewakili total emisi yang dihasilkan dari pakaian sepanjang masa pakainya—misalnya, pakaian bekas belum diperhitungkan.
Namun, perhitungan penulis menunjukkan bahwa sekitar 5,6 juta metrik ton serat mikro sintetis dilepaskan dari pencucian pakaian antara tahun 1950, awal penggunaan serat sintetis secara luas, dan tahun 2016—setengahnya dalam 10 tahun terakhir. Hampir separuhnya berakhir di daratan, baik di permukaan (1,9 juta metrik ton) maupun di tempat pembuangan sampah (0,6 juta metrik ton). Emisi meningkat 12,9 persen per tahun, dan emisi tahunan saat ini ke daratan (176.500 metrik ton per tahun) melebihi emisi ke badan air (167.000 metrik ton per tahun).
Temuan terbaru Venditti dan tim menunjukkan kekhawatiran besar mengenai cara masyarakat di negara-negara berpendapatan tinggi dalam mengonsumsi pakaian. ”Apa yang kami lihat adalah, di negara-negara seperti Amerika Serikat, kita mempunyai budaya fast fashion, di mana kita membeli banyak pakaian dan tidak menyimpannya dalam waktu lama,” kata Venditti.
Menurut dia, saat kita membuang pakaian tersebut, pakaian itu akan dibuang ke tempat pembuangan sampah atau, lebih sering lagi, berakhir di toko barang bekas. Beberapa pakaian yang masuk ke toko ini dijual di AS, tapi sering kali berakhir di negara lain yang menjual pakaian tersebut.
Negara-negara penampung pakaian bekas ini pada umumnya tidak mempunyai sistem pengelolaan sampah yang cukup kuat untuk menangani volume sebesar itu. ”Hal inilah yang menyebabkan sejumlah besar plastik bocor ke lingkungan,” tulis Venditti dan tim.