Adakah ”Menopause” pada Laki-laki?
Seiring bertambahnya umur, pria dan wanita akan mengalami penurunan hormon seksual. Namun, ”menopause” pria-wanita beda.
Mitos yang berkembang dan diyakini masyarakat adalah kemampuan seksual laki-laki tidak akan menurun seiring bertambahnya usia. Padahal, sama seperti perempuan, daya seksual laki-laki pun berkurang. Bedanya, proses penurunan kemampuan seksual laki-laki itu berlangsung secara perlahan, tidak sedramatis yang dialami perempuan.
Menopause adalah proses alami penuaan yang ditandai dengan berhentinya siklus menstruasi pada perempuan. Proses ini umumnya berlangsung pada usia 45 tahun-55 tahun. Menopause ini ditandai dengan terhentinya fungsi ovarium yang menyebabkan penurunan produksi hormon estrogen sehingga mereka tidak menstruasi selama 12 bulan.
Pada laki-laki, saat memasuki usia 40-an tahun sampai 50-an tahun, produksi hormon testosteron pun mulai menurun. Kondisi ini ditandai dengan penurunan gairah seksual dan terjadinya disfungsi ereksi. Namun, perubahan hormon seksual yang terkait dengan proses penuaan pada laki-laki dan perempuan itu berbeda.
Karena itu, penurunan hormon testosteron pada laki-laki itu tidak otomatis disebut sebagai ”menopause” pada laki-laki atau dikenal dengan nama andropause. Namun, penurunan hormon testosteron ini juga bisa memengaruhi kualitas hidup laki-laki, sama seperti penurunan estrogen pada perempuan.
Direktur Klinik Pria UCLA (Universitas California Los Angeles) Health Amerika Serikat Jesse Mills, seperti ditulis livescience.com, 15 Juli 2024, mengatakan, meski pria paruh baya mengembangkan gejala mirip dengan wanita saat mengalami menopause, termasuk hot flashes atau sensasi rasa panas di tubuh bagian atas, menyebut pengalaman ini dengan ”menopause pria” tidaklah akurat.
Produksi hormon pada testis laki-laki dan ovarium perempuan memang sama-sama menurun saat usia seseorang bertambah. Namun, pada perempuan, proses ini terjadi secara tiba-tiba, dalam waktu beberapa tahun saja. Sementara pada laki-laki, proses ini berlangsung secara bertahap selama beberapa dekade.
”Andropause adalah istilah nonmedis yang sering digunakan untuk menggambarkan penurunan kadar testosteron pada pria lanjut usia. Akan tetapi, ini tidak sama dengan menopause karena laki-laki bisa mempertahankan kadar testosteronnya dalam kisaran ”normal” hingga usia 80-an tahun atau lebih,” katanya.
Sebagai perbandingan, kadar estradiol atau bentuk utama estrogen yang bisa dihasilkan perempuan pada puncak usia reproduksinya bisa mencapai 400 pikogram per mililiter darah. Namun, setelah menopause tiba, kadar estradiol turun hingga kurang dari 0,3 pikogram per mililiter darah.
Persoalan sosial, seperti kejenuhan dalam perkawinan atau komunikasi dengan pasangan yang buruk, juga bisa mengganggu kehidupan seksual seseorang.
Ketika produksi estradiol sudah menurun, tubuh akan membentuk jenis estrogen lain yang lebih lemah, yaitu estron. Namun, keberadaan estron ini tidak bisa menggantikan fungsi estradiol yang hilang. Kondisi inilah yang menyebabkan hilangnya menstruasi, perubahan jaringan vulva (bagian terluar alat kelamin wanita), munculnya hot flashes, hingga berkurangnya pelumasan vagina.
Sementara pada laki-laki, penurunan kadar testosteron itu tidak sedramatis yang terjadi pada perempuan. Dikutip dari situ Mayo Clinic, lembaga layanan medis terkemuka di AS, kadar testosteron umumnya mulai menurun saat usia 30 tahun dengan kadar rata-rata penurunan hanya 1 persen per tahun.
Kondisi inilah yang membuat pria lanjut usia, berumur lebih dari 60 tahun, masih memiliki kadar testosteron dalam kisaran normal dan masih memiliki libido cukup tinggi. Diperkirakan hanya 10 persen-25 persen pria lansia yang kadar testosteronnya dianggap rendah.
Testis baru akan benar-benar berhenti memproduksi testosteron jika laki-laki tersebut kehilangan fungsi testisnya, baik akibat penyakit, kecelakaan, atau pengebirian yang bisa saja dilakukan untuk mengobati kanker prostat.
Walau kadar testosteron pada laki-laki lansia masih dalam kisaran normal yang membuat kemampuan seksualnya tetap tinggi, banyak pria tidak menyadari bahwa kemampuan seksual mereka saat tua sangat bergantung pada gaya hidupnya saat masih muda dan ada tidaknya penyakit lain yang menyertainya.
Profesor Wimpie Pangkahila, pakar andrologi dan seksologi seperti dikutip Kompas, 23 Juli 2017, menyebut pria yang mengidap penyakit jantung atau diabetes melitus hampir dipastikan akan mengalami penurunan kemampuan ereksi. Meski penyakit itu bisa diobati atau dikendalikan, kondisi ini sering menimbulkan stres dan depresi yang ujungnya juga akan menurunkan kemampuan seksual.
Bahkan, persoalan sosial, seperti kejenuhan dalam perkawinan atau komunikasi dengan pasangan yang buruk, juga bisa mengganggu kehidupan seksual seseorang. Jadi, kemampuan seksual laki-laki itu persoalan kompleks yang tidak hanya ditentukan oleh kadar hormon testosteron semata.
Baca juga: Menyiapkan Menopause Tanpa Panik
Tidak disadari
Penyebab pasti yang memicu penurunan testosteron seiring bertambahnya usia itu belum sepenuhnya dipahami. Sejumlah studi menunjukkan, selama proses penuaan, sel-sel yang memproduksi testosteron tumbuh kurang responsif dan jumlahnya terus menurun. Sel-sel produsen testosteron itu bekerja berdasarkan persinyalan dari otak. Namun, seiring penuaan, sinyal otak itu ikut berubah.
Masalahnya, penurunan atau kadar testosteron yang rendah itu berkaitan dengan sejumlah hal yang bisa menurunkan kualitas hidup seseorang. Laki-laki dengan kadar testosteron kurang dari 200 nanogram per desiliter darah berisiko lebih tinggi mengalami kerapuhan tulang, penyakit jantung, penambahan berat badan, serta disfungsi ereksi dan libido rendah.
”Diabetes, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, kurang tidur, hingga berkurangnya aktivitas fisik adalah contoh umum (dikaitkan dengan rendahnya testosteron),” tambah Mills.
Namun, berbagai masalah kesehatan yang muncul tersebut apakah disebabkan oleh rendahnya kadar testosteron atau justru sebaliknya, belum diketahui pasti.
Rendahnya kadar testosteron pada laki-laki ini umumnya tidak disadari. Berbeda dengan perempuan yang lebih perhatian dengan kesehatan reproduksinya, laki-laki justru sering abai dengan perubahan atau kondisi tubuhnya. Namun, di sisi lain, banyak laki-laki yang memiliki testosteron rendah tidak mengalami gejala apa pun.
Tanda atau gejala testosteron yang rendah umumnya juga tidak spesifik. Gejala ini umumnya juga bisa disebabkan oleh pertambahan usia, penggunaan obat-obatan tertentu, atau kondisi lain seperti obesitas ekstrem.
Beberapa tanda atau gejala yang menunjukkan rendahnya kadar hormon testosteron pada laki-laki antara lain penurunan hasrat atau aktivitas seksual, penurunan ereksi spontan atau disfungsi ereksi, ketidaknyamanan atau pembengkakan pada payudara, mandul, kehilangan tinggi badan atau kepadatan mineral tulang rendah, hingga rasa panas tubuh bagian atas serta mudah berkeringat.
Bukan hanya gejala fisik, penurunan kadar testosteron juga bisa terlihat dari perilaku atau kesehatan mental, seperti berkurangnya energi, motivasi, dan kepercayaan diri; suasana hati yang tertekan, dan konsentrasi buruk. Pria dengan testosteron rendah juga cenderung mengalami gangguan tidur, mudah mengantuk, anemia ringan tanpa sebab yang jelas, berkurangnya massa dan kekuatan otot, hingga peningkatan lemak tubuh.
Baca juga: Jebakan Kuasa Laki-laki
Terapi
Meski penuaan menjadi proses yang tidak bisa dihindari, seiring kemajuan teknologi kedokteran membuat tahapan ini bisa ditahan dengan kedokteran antipenuaan atau anti-ageing. Menurut Wimpie, terapi hormon bisa menjaga orang lansia agar tetap bisa menikmati dan saling mendapat kepuasan dari hubungan seksual.
Namun, syaratnya, proses pengobatan ini harus dilakukan sedini mungkin, menjelang datangnya masa menopause atau andropause, dan tidak ada penyakit penyerta lain. Repotnya, masyarakat masih banyak memercayakan persoalan kesehatan seksualnya kepada obat-obatan atau ramuan yang tidak jelas dan belum terbukti kemanjurannya.
Untuk membantu menjaga kadar testosteron tetap baik di usia tua, Mills merekomendasikan agar menerapkan gaya hidup sehat. Sejumlah studi menunjukkan olahraga intensif selama 20 menit sehari, tidur malam nyenyak selama 7 jam, minum air putih yang cukup, serta konsumsi makanan tinggi protein, rendah lemak, dan kaya sayuran hijau bisa membantu memelihara kadar testosteron saat tua.
Selain itu, saat ini juga tersedia suplemen testosteron yang dijual bebas di pasaran. Namun, Mills menegaskan bahwa suplemen testosteron itu sebaiknya dikonsumsi saat membutuhkan saja. Saat ini, pedoman internasional menyarankan pria dengan kadar testosteron lebih rendah dari 350 nanogram per desiliter darah dan menunjukkan gejala kekurangan testosteron boleh mengonsumsi suplemen ini.
Banyak perusahaan obat menawarkan langsung suplemen testosteron ke konsumen yang sebenarnya memiliki kadar testosteron normal. Penggunaan suplemen testosteron pada pria dengan kadar testosteron normal memang belum tentu berbahaya, tetapi cara ini tidak akan memberikan manfaat sebaik pada mereka yang memang mengalami kekurangan testosteron.
Baca juga: Disfungsi Seksual Jangan Dianggap Tabu
Efek testosteron terhadap kesehatan dan masa hidup manusia belum sepenuhnya dipahami. Penelitian mengenai hal ini masih terbatas. Karena itu, perlunya kehati-hatian dalam mengonsumsi suplemen, obat-obatan kimia, ataupun herbal tertentu yang diklaim bisa mengembalikan kemampuan seksual pria. Jika ingin mendapatkan masa tua yang bahagia, termasuk dalam urusan seksual, menjaga gaya hidup sehat sejak dini adalah kuncinya.