Pemerintah Akan Tahan Buku Nikah kalau Pasutri Belum Bimbingan Perkawinan
Wacana ini masih dalam pertimbangan pemerintah sembari menguatkan implementasi bimbingan perkawinan yang berkualitas.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mewacanakan untuk tidak menerbitkan buku atau akta pernikahan kepada pasangan suami istri baru yang belum melakukan tes kesehatan reproduksi dan mengikuti bimbingan perkawinan di lembaga keagamaan. Ini dilakukan demi menjaga ketahanan keluarga, mengingat tren angka perceraian semakin meningkat dan menimbulkan masalah sosial.
Hal tersebut diungkapkan Deputi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Woro Srihastuti Sulistyaningrum dalam diskusi di Jakarta, Senin (15/7/2024). Wacana ini masih dalam pertimbangan pemerintah sembari menguatkan implementasi bimbingan perkawinan yang berkualitas dan wajib diikuti masyarakat.
”Kemarin dengan Kementerian Agama sempat ada wacana, bagaimana kalau misalnya buku nikah itu tidak diberikan, kalau mereka belum melakukan bimbingan perkawinan. Jadi, nikah enggak apa-apa, tetapi buku nikahnya belum dikasih sebelum mereka mengikuti bimbingan perkawinan,” kata Woro.
Wacana ini sangat baik sebagai intervensi negara mengatur demografi masyarakat dan dampak sosial yang menyertai.
Adapun alur bimbingan perkawinan yang harus dilakukan calon pasangan suami istri (pasutri) dimulai minimal tiga bulan sebelum hari pernikahan. Calon pengantin harus mengisi formulir N1, N2, dan N4 di kelurahan. Lalu, mereka melakukan tes dan konseling kesehatan reproduksi, kemudian mengikuti bimbingan perkawinan di kantor urusan agama (KUA) atau lembaga keagamaan.
Woro menjelaskan, tes kesehatan dan bimbingan perkawinan penting untuk diikuti demi mencegah timbulnya masalah sosial baru. Misalnya, meningkatnya angka kematian ibu dan anak, kasus perceraian yang mengorbankan masa depan anak, kasus kekerasan terhadap anak karena orangtua belum siap secara ekonomi ataupun mental, serta permasalahan anak stunting.
Survei Badan Pusat Statistik tahun 2024 menunjukkan, angka perceraian cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir, dari 406.202 kasus perceraian pada 2018 menjadi 516.344 kasus pada 2022. Faktor penyebab perceraian terbanyak adalah perselisihan atau pertengkaran terus-menerus, ekonomi, dan meninggalkan salah satu pihak.
Padahal, Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mengamanatkan keluarga berkualitas adalah keluargayang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
”Jadi (calon pasutri) harus melakukan pemeriksaan kesehatan, minimal itu dulu diwajibkan,” ucapnya.
Pengamat sosial budaya dari Universitas Pasundan, Idi Subandy Ibrahim, menilai, wacana ini sangat baik sebagai intervensi negara mengatur demografi masyarakat dan dampak sosial yang menyertai. Namun, dalam praktiknya, implementasi penyelenggaraan alur bimbingan perkawinan ini masih jauh dari kata ideal. Kebanyakan pemerintah daerah masih hanya bertugas sebagai pencatat pernikahan saja, belum mengintervensi sampai mewajibkan semua alur dilewati oleh calon pasutri.
”Maka, bimbingan perkawinan di KUA atau di lembaga-lembaga agama itu seharusnya diperkuat. Saya kira itu kita harus bahu-membahu. Termasuk juga orangtua dari kedua belah pihak juga menjadi faktor,” kata Idi.
Oleh karena itu, Kemenko PMK tengah menyiapkan perluasan kerja sama dari tiga kementerian dan lembaga, yakni Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Agama, lalu ditambah dengan Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pemerintah daerah juga didorong untuk menerbitkan aturan dan mengawal implementasinya di masyarakat.
”Kadang-kadang (implementasinya) hanya sekadar administratif ala kadarnya. Nah, dengan kita melakukan ini, kita mau coba memperkuat sebenarnya mekanisme yang sudah ada sekarang ini,” tutur Woro.
Salah satu contoh daerah yang sudah mewajibkan bimbingan perkawinan dan tes kesehatan sebelum menikah adalah DKI Jakarta. Melalui Peraturan Gubernur Nomor 182 Tahun 2017 tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin, Jakarta mewajibkan hasil pemeriksaan kesehatan sebagai persyaratan administrasi dalam proses pencatatan pernikahan di KUA kecamatan.
Sebagai konsekuensinya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan layanan kesehatan kesehatannya secara sukarela di puskesmas, laboratorium, ataupun rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta yang ditunjuk untuk melakukan layanan pemeriksaan kesehatan. Pelaksanaan pemeriksaan kesehatan dilakukan paling lambat satu bulan sebelum tanggal perkawinan ataupun pencatatan pernikahan.