Pelayaran Muhibah Budaya Jalur Rempah Berakhir di Jakarta
Berakhirnya pelayaran MBJR ini akan memperkuat narasi jalur rempah untuk diajukan sebagai warisan dunia ke UNESCO.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelayaran muhibah budaya jalur rempah para laskar rempah berakhir di Jakarta, kapal layar KRI Dewaruci yang membawa mereka bersandar di dermaga Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil) di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (15/7/2024). Upaya mengajukan jalur rempah sebagai warisan budaya dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO terus diperkuat.
Kapal cagar budaya ini telah mengarungi jalur rempah di lautan Sumatera selama 38 hari sejak 7 Juni lalu, membawa 149 laskar rempah yang terdiri dari anak-anak muda, para ahli, dan media. Mereka dibagi dalam tiga kelompok untuk singgah di tujuh titik, mulai dari Belitung Timur, Dumai, Sabang, Melaka, Tanjung Uban, Lampung, hingga Jakarta.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid mengatakan, program muhibah budaya yang sudah berjalan tiga tahun ini adalah upaya untuk melakukan pencatatan sejarah pada setiap titik jalur perdagangan rempah masa lampau dari timur sampai barat Nusantara. Para laskar rempah bersama sejarawan, guru sejarah, dan komunitas sejarah perlu bekerja sama membangun narasi yang kuat mengenai sejarah jalur rempah.
Jika diakui sebagai warisan budaya dunia, Jalur Rempah diharapkan memperkuat keterhubungan Indonesia dengan segala keberagaman yang ada.
Dia juga mendorong setiap pemerintah daerah di titik jalur rempah turut memelihara sejarah rempahnya. Sebab, salah satu syarat dalam pengajuan tersebut adalah sejarah tentang rempah-rempah yang memiliki nilai universal luar biasa (outstanding universal value). Untuk itu, pemahaman tentang sejarah jalur rempah ini harus hidup di tengah masyarakat.
”Karena, sekali kita mendaftarkan ke UNESCO, dengan sendirinya akan terkait tanggung jawab nanti untuk memelihara. Nah, kalau ini stakeholders-nya enggak semuanya masuk dalam barisan agak sulit gitu ya,” kata Hilmar di Kolinlamil, Jakarta Utara, Senin (15/7/2024).
Menurut Hilmar, pengajuan jalur rempah ke UNESCO bersama negara-negara lain masih akan melalui proses yang relatif panjang dan butuh riset mendalam. Menggali potensi jalur rempah bersama negara-negara lain perlu komitmen besar.
Jika diakui sebagai warisan budaya dunia, Jalur Rempah diharapkan memperkuat keterhubungan Indonesia dengan segala keberagaman yang ada. Selain itu, Jalur Rempah dinilai dapat menguatkan posisi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Jalur Rempah juga direncanakan menjadi media diplomasi budaya.
”Tetapi, ini untuk awal karena sifatnya daftar sementara, nanti bisa ditambahkan untuk pengajuan bersama. Jadi, nanti kalau ada negara lain ikut, ya, akan bisa masuk di dalam daftar sementara itu, sampai kemudian tiba saat pembahasan. Namun, saya kira itu memakan waktu. Mungkin tahun 2026 atau 2027,” ungkapnya.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek Irini Dewi Wanti menambahkan, rencana pengajuan jalur rempah sebagai warisan dunia ke UNESCO tidak hanya karena nilai sejarahnya semata, tetapi juga manfaat rempah-rempah bagi masyarakat pada masa sekarang. Misalnya, untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pengobatan, cita rasa makanan, hingga kosmetik.
Jalur rempah juga bukan sekadar jalur niaga. Lebih dari itu, rempah bersama komoditas perdagangan lainnya yang beredar di wilayah Nusantara telah memicu lahirnya bahasa pemersatu bangsa-bangsa; meninggalkan bangunan bersejarah; mewariskan teknologi dan pengetahuan, literasi dan seni, hingga perilaku kehidupan sehari-hari.
”Yang paling penting itu justru bukan ketika jalur rempah ditetapkan sebagai warisan dunia, tetapi setelahnya itu kita mau ngapain. Jadi, ini kan sudah tahun ketiga, kita pastinya akan mengevaluasi dulu kalaupun banyak usulan bahwa program ini harus dilanjutkan,” kata Irini.
Selama dua hari di Jakarta sebagai titik singgah terakhir, para laskar rempah akan menyusuri sejumlah tempat yang berkaitan dengan jalur rempah. Mulai dari Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari, Museum Sejarah, Museum Tekstil, Museum Sejarah, Museum Seni Rupa dan Keramik.
Komandan KRI Dewaruci Letkol Laut (P) Rhony Lutviadhani menyatakan, kapal cagar budaya nasional ini sangat berbangga bisa menjadi bagian bersama muhibah budaya jalur rempah. Sebab, pelayaran ini sejalan dengan misi TNI AL yang ingin mengembalikan lagi masa kejayaan bahari Nusantara yang dahulu disegani banyak negara.
Prajurit KRI Dewaruci pun ikut berkolaborasi dengan para laskar rempah untuk membawa misi diplomasi budaya ke setiap titik singgah. Mereka menampilkan sejumlah kebudayaan Indonesia, seperti tari saman, reog ponorogo, dan pencak silat.
”Muhibah ini tidak hanya dimaknai oleh negara kita saja, tetapi ada hubungan diplomasi antarnegara sehingga kita perlu juga melibatkan negara lain yang dilalui sejarah jalur rempah,” kata Rhony.
Rempah mendunia
Ahmad Najib Burhani dalam tulisan analisis berjudul ”Jalur Rempah” mengatakan, jalur rempah menghubungkan Nusantara dengan bangsa Arab, Persia, Eropa, India, China, dan sebagainya (Kompas.id, 6 Februari 2024). Nusantara menjadi ”rumah” tumbuhnya lada hitam (Piper nigrum), cengkih (Syzygium aromaticum), dan pala (Myristica fragrans).
Lewat laut, jalur ini menjadi saksi rempah Nusantara diangkut ke berbagai penjuru dunia. Jalur Rempah menjadi cikal bakal perdagangan komoditas global yang dilakukan nenek moyang bangsa Indonesia.
Mengutip buku The Overseas Chinese of South East Asia: History, Culture, Business (2008), Ian Rae dan Morgen Witzel menulis, rempah-rempah Nusantara itu sudah ditemukan di sejumlah dinasti di China dan Mesir Kuno. Rempah-rempah, misalnya, ditemukan di makam-makam Firaun.
Firaun Neko II (610-595 SM) bahkan telah memerintahkan ekspedisi untuk menemukan ”pulau-pulau rempah” atau spice islands (Maluku) dengan menyewa pelaut-pelaut Fenisia (Phoenicia) yang ketika itu dikenal paling andal di dunia.
Rae dan Witzel juga mencatat Herodotus telah menyebutkan perdagangan rempah ini dalam tulisannya. Demikian juga dengan ahli-ahli geografi dari Yunani dan Romawi. Pasar rempah besar juga ada di India pada masa Kerajaan Mauryan di bawah Raja Chandragupta dan penerusnya.
Keberadaan rempah-rempah jauh dari pulau asalnya terdapat dalam catatan sejarah yang diperkuat dengan penemuan jambangan berisi cengkeh di gudang dapur sebuah rumah di Situs Terqa, Eufrat Tengah, Suriah, salah satu wilayah peradaban Mesopotamia.