Dalam praktiknya, untuk mendapatkan cuti melahirkan, perempuan buruh harus melakukan negosiasi dengan pihak perusahaan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Pengaturan cuti melahirkan enam bulan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan atau UU KIA dikhawatirkan akan merugikan perempuan pekerja. Undang-undang ini berpotensi menjadikan pihak perusahaan meminggirkan perempuan dengan tidak lagi mempekerjakan perempuan buruh yang menikah dan berpotensi hamil, atau bahkan memberhentikan perempuan buruh yang mengambil cuti melahirkan.
”UU KIA berpotensi menyebabkan diskriminasi tidak langsung kepada perempuan buruh ketika pemberi kerja lebih memilih buruh laki-laki dengan alasan mengurangi beban pelaksanaan undang-undang,” ujar Jumisih, Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Perempuan Indonesia (FSBPI) beberapa waktu lalu.
UU KIA resmi diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2024 pada tanggal 2 Juli 2024. Berbagai kalangan, terutama perempuan pekerja, berharap implementasi undang-undang tersebut dikawal pemerintah.
Kurang dari sebulan, Presiden Joko Widodo menandatangani UU tersebut. Sebelumnya, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui disahkannya RUU KIA pada 4 Juni lalu.
Belum inklusif
Kehadiran UU KIA mendapat apresiasi dari sejumlah kalangan. Namun, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender, yang terdiri atas sejumlah organisasi perempuan, tetap memberikan sejumlah catatan kritis atas lahirnya UU KIA.
Salah satunya adalah UU KIA dinilai belum inklusif karena belum menjangkau para ibu yang bekerja di sektor informal. Aturan dalam UU KIA belum melindungi ibu rumah tangga, perempuan adat, perempuan petani, perempuan nelayan, buruh migran, pekerja di sektor informal, termasuk pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan.
Tak hanya itu, sejumlah substansi yang diatur dalam UU KIA dinilai masih lemah dan berpotensi terjadi kerancuan ketika diimplementasikan. Walaupun UU KIA membuat terobosan dengan menambah cuti melahirkan bagi ibu bekerja menjadi paling lama enam bulan, dalam praktik di lapangan aturan tersebut tidak mudah diterapkan.
Belajar dari pengalaman UU Cipta Kerja, meski UU tersebut mengatur hak cuti melahirkan selama tiga bulan, pada kenyataannya, bagi perempuan buruh, aturan tersebut sulit diimplementasikan dan belum maksimal karena lemahnya pengawasan.
”Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak melaksanakannya atau hanya melakukannya di atas kertas agar tidak berdampak pada perizinan perusahaan tersebut. Dalam praktiknya, untuk mendapatkan cuti melahirkan, perempuan buruh harus melakukan negosiasi dengan pihak perusahaan melalui serikat buruh,” ujar Dian Septi Trisnanti dari Perempuan Mahardhika.
Ketika harus bernegosiasi, posisi perempuan buruh sangat lemah karena banyak dari mereka yang belum berserikat dan tidak semua perusahaan memiliki serikat buruh/serikat pekerja.
Harapannya, kehadiran UU KIA diharapkan bisa menyelesaikan masalah ibu dan anak pada fase 1.000 hari pertama kehidupan, terutama masalah yang dihadapi para ibu yang bekerja di sektor formal di luar lembaga pemerintah.
”Secara substansial, UU KIA menjamin hak-hak anak pada fase 1.000 hari pertama kehidupan, sekaligus menetapkan kewajiban ayah, ibu, dan keluarga,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati, pekan lalu.
Setelah diundangkannya UU KIA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mesti segera menyiapkan peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut, yakni 3 peraturan pemerintah dan 1 peraturan presiden.
Aturan turunan tersebut diharapkan bisa memastikan implementasi UU ini berjalan. Adapun, penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak merupakan tanggung jawab pemerintah pusat (kementerian/lembaga) dan pemerintah daerah, yang diberikan semenjak ibu mempersiapkan kehamilan, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan. Untuk anak, pemerintah bertanggung jawab memperhatikan anak sejak dalam kandungan sampai dengan berusia dua tahun.
”Dukungan diberikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan pendataan serta kebutuhan ibu dan anak sejak sebelum kehamilan, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan,” ujar Lenny N Rosalin, ketua panitia kerja dari unsur pemerintah.
Tahapan penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak meliputi perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pengawasan, dan evaluasi koordinasi. Dalam pelaksanaan kesejahteraan ibu dan anak, pemerintah pusat dan pemda bertanggung jawab untuk menyediakan sumber daya manusia pemberi layanan disertai dengan pengaturan jumlah, kualitas, dan persebarannya.
Selain itu, pemerintah pusat dan pemda wajib melibatkan keluarga dan masyarakat untuk mendukung pemenuhan hak dan kebutuhan dasar ibu dan anak.
Karena itulah, demi memastikan implementasi UU KIA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus segera berkoordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk melakukan fungsi pengawasan ke perusahaan-perusahaan agar patuh menjalankan kewajiban yang diatur dalam UU KIA.
Selain mengawasi agar perusahaan tidak memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan, pemerintah juga perlu memastikan tersedianya fasilitas layanan ramah ibu dan anak di tempat kerja dan fasilitas publik. Hal tersebut meliputi penyediaan ruang, tempat penitipan anak (daycare) dengan fasilitas yang memadai dan tenaga yang kompeten dan berpengalaman, serta penyediaan ruang bermain ramah anak yang layak.
Di samping itu, pemerintah perlu melakukan harmonisasi UU KIA dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan kesejahteraan ibu dan anak, seperti UU Kesehatan, UU Perkawinan, UU Administrasi Kependudukan, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
UU KIA akan benar-benar meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak jika implementasinya berjalan. Maka, selain komitmen dan dukungan fasilitas yang menjamin penyelenggaraan UU KIA, pengawasan berbagai pihak, terutama pemerintah, menjadi kunci dari implementasi UU ini.