Perbaikan Sistem PPDB Belum Dibarengi Pemerataan Kualitas Sekolah
Selama tujuh tahun PPDB, masalah daya tampung terus berulang. Pemerataan kualitas dan kuantitas sekolah perlu dikebut.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem penerimaan peserta didik baru atau PPDB dinilai membaik. Namun hal itu belum dibarengi dengan pemerataan mutu dan kuantitas sekolah sehingga soal daya tampung terus berulang. Pemerintah diminta mengatasi masalah ini agar tujuan utama sistem tersebut tercapai.
Juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan Jakarta dan Indonesia Berkeadilan Ubaid Matraji menegaskan, negara wajib menyediakan fasilitas pendidikan dan menjamin pendidikan gratis. Hal ini sesuai amanat Pasal 34 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun, kewajiban itu belum terpenuhi karena data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 76 persen keluarga mengakui anaknya putus sekolah karena alasan ekonomi. Dari angka itu, 67 persen di antaranya tak mampu membayar biaya sekolah, sisanya (8,7 persen) harus mencari nafkah.
”Di sekolah negeri ada banyak pungutan liar. Sementara di sekolah swasta, tagihan bulanannya terus meneror orangtua murid,” kata Ubaid saat dihubungi di Jakarta, Kamis (11/7/2024).
Sementara itu, anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, Ledia Hanifa Amaliah, mengutarakan, sejak sistem PPDB jalur zonasi dimulai pada 2017, dirinya mendapat keluhan dari warganya di Kota Bandung, yang tak bisa mendaftar sekolah karena daya tampungnya penuh.
Ada kebutuhan yang cukup besar untuk pembangunan unit sekolah baru secara masif. Ini butuh perhatian dari pemerintah daerah.
Kondisi tersebut mengubur hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan layak. Padahal, hal itu dijamin dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945.
”Jangankan sekolah favorit, sekolahnya juga tidak ada, di 11 kecamatan di Kota Bandung tidak ada SMA negeri, kami sebagai wakilnya selalu ditanya berulang-ulang,” kata Ledia dalam rapat dengar pendapat antara Komisi X DPR dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), di Jakarta, Rabu (10/7/2024).
Dokumen Kota Bandung dalam Angka 2023 dari Badan Pusat Statistik Bandung menunjukkan 11 kecamatan nihil SMA negeri. Kecamatan-kecamatan itu antara lain Bandung Kulon, Bojongloa Kidul, Astanaanyar, Bandung Kidul, Panyileukan, Cinambo, Arcamanik, Sukajadi, dan Cidadap.
Leida menyadari pendirian bangunan sekolah di perkotaan cukup rumit karena keterbatasan lahan. Karena itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) diminta makin gencar menggandeng sekolah swasta terlibat dalam skema PPDB dengan berbagai penyesuaian.
”Pola seperti ini seharusnya lebih banyak lagi diadopsi, terutama di perkotaan yang sudah tidak mungkin lagi menambah jumlah sekolah,” ucapnya.
Anggota Komisi X DPR lainnya, Bramantyo Suwondo, menambahkan, upaya menghapus pandangan sekolah favorit melalui PPDB yang dilakukan pemerintah tidak diperkuat dengan pemerataan mutu sekolah.
Selama tujuh tahun PPDB digelar, Kemendikbudristek dinilai berfokus pada perbaikan teknis PPDB, belum pada pemerataan kuantitas dan kualitas sekolah.
”Persoalan PPDB harus diselesaikan dalam jangka panjang, pemerintah harus berkomitmen untuk pembiayaan peningkatan mutu yang merata di setiap daerah. Secara anggaran sudah sangat besar, tetapi penggunaannya belum terasa,” kata Bramantyo.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Praptono mengakui permasalahan daya tampung sekolah, terutama pada sekolah menengah pertama dan atas, memicu kecurangan.
Sejumlah kecurangan tersebut mulai dari praktik jual beli kursi, mengubah nilai rapor, hingga memanipulasi kartu keluarga agar dekat dengan sekolah yang dianggap favorit.
Persoalan PPDB harus diselesaikan dalam jangka panjang, pemerintah harus berkomitmen untuk pembiayaan peningkatan mutu yang merata di setiap daerah.
”PPDB yang kita lakukan sejak tahun 2017 tidak saja mengubah metode penerimaan siswa baru, tapi juga mengubah paradigma berbasis capaian akademik atau merit-based system menuju pembukaan akses berbasis pada hak warga negara,” kata Praptono.
Padahal, tujuan utama PPDB adalah menghapuskan persepsi sekolah favorit dengan menciptakan pendidikan yang merata. Salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan sekolah negeri adalah menggandeng sekolah swasta dalam PPDB, tapi gagasan ini belum bisa diterapkan sepenuhnya di seluruh Indonesia.
Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti mengungkapkan, saat ini ada 1.841 kecamatan yang tidak memiliki SMA/SMK dan 44 kabupaten/kota tidak memiliki sekolah luar biasa. Membangun sekolah negeri baru demi mencukupi daya tampung peserta didik baru butuh dana Rp 5,12 triliun.
Sementara Kemendikbudristek hanya mengelola 15 persen (Rp 96,99 triliun) dari keseluruhan anggaran pendidikan di APBN (Rp 665 triliun). Suharti berharap tugas ini tidak hanya dibebankan kepada Kemendikbudristek, tetapi juga jadi kewajiban pemerintah daerah yang mengelola 52 persen anggaran pendidikan.
”Ada kebutuhan besar untuk pembangunan unit sekolah baru secara masif demi mencapai wajib belajar. Ini membutuhkan perhatian dari pemerintah daerah untuk memastikan kualitas pendidikan yang merata,” ucap Suharti.