Sinyal Perubahan Iklim dari Hujan Bulan Juli
Perubahan iklim bisa mengacaukan pola cuaca. Hujan lebat di Jawa selama bulan Juli bukan lagi anomali.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F06%2F20449b36-9378-41a4-8e14-6a4fd316eb46_jpg.jpg)
Seorang anak bertahan di dalam rumahnya yang terendam banjir di Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Sabtu (6/7/2024).
Hujan lebat dan banjir melanda pada awal Juli 2024, di banyak daerah Indonesia yang seharusnya memasuki puncak musim kemarau. Peristiwa ini bisa dijelaskan secara meteorologis sebagai akibat gangguan gelombang ekuatorial terhadap muson timur. Namun, hal ini juga bisa menjadi sinyal perubahan iklim yang telah mengacaukan pola cuaca di Bumi.
Pemutakhiran Prediksi Musim Kemarau 2024 di Indonesia, yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada Juni 2024 memasukkan Pulau Jawa mengalami puncak musim kemarau pada Juli hingga Agustus 2024. Sebagai daerah yang dipengaruhi pola monsun, musim kemarau di Jawa biasanya terjadi saat angin muson timur bertiup dari area Australia menuju Asia.
Angin ini bergerak ketika matahari sedang berada di belahan bumi utara dan menyebabkan kawasan Australia mengalami musim dingin, di mana tekanan udaranya maksimum, tetapi Benua Asia akan bersuhu lebih panas dengan tekanan minimum. Hal ini biasanya terjadi pada April-Oktober.
Saat menuju khatulistiwa, gaya Coriolis menyebabkan angin berbelok ke arah kanan. Angin muson timur yang bergerak dari Australia menyebabkan sebagian wilayah Indonesia, termasuk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, mengalami musim kemarau. Hal ini disebabkan angin yang bertiup banyak berasal dari area gurun pasir bersifat kering di bagian utara Australia dan melewati laut yang sempit.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F07%2Faf677e11-71e9-4c29-981a-3c73b8b5120c_jpg.jpg)
Material longsor dinding penahan jalan tol Jorr ruas Bintaro masih tertumpuk di pinggiran jalan, Minggu (7/7/2024). Longsor di area jalan ini kerap terjadi, terutama ketika hujan mengguyur.
Sebaliknya, musim hujan di Pulau Jawa dipengaruhi pergerakan angin muson barat yang bertiup dari Asia melewati Samudra Hindia menuju Australia. Muson barat ini biasanya terjadi pada bulan Oktober hingga April.
Namun, selain dipengaruhi oleh angin muson, pola hujan di Indonesia juga dipengaruhi dinamika atmosfer skala regional, seperti Madden Julian Oscillation (MJO), Gelombang Rossby Ekuatorial, dan Gelombang Kelvin.
Baca juga: Pemanasan Global Mengubah Suhu Samudra Hindia, Indonesia Lebih Basah
Fenomena MJO dikenal sebagai pergerakan sistem awan hujan yang bergerak di sepanjang khatulistiwa, dari Samudra Hindia sebelah timur Afrika ke Samudra Pasifik dan melewati wilayah Indonesia. Fenomena ini bersifat temporal dan akan terulang setiap 30 hingga 60 hari di sepanjang wilayah khatulistiwa.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam diskusi daring pada Senin (8/7/2024) menyebutkan, hujan lebat beberapa hari terakhir di beberapa Jawa bagian barat, termasuk Banten, Jakarta, dan Jawa Barat disebabkan oleh pergerakan MJO, Gelombang Rossby Ekuatorial, dan Gelombang Kelvin yang tengah melintas di atas wilayah ini.
”Dalam beberapa hari terakhir, terjadi fenomena cuaca MJO yang aktif di sekitar wilayah Samudra Hindia dan memengaruhi pembentukan awan hujan, terutama di wilayah Indonesia bagian barat,” katanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F06%2Fbb336a69-c2da-4e1f-ae63-8d4d514ca450_jpg.jpg)
Refleksi wisatawan dengan latar belakang gedung Museum Sejarah Jakarta di taman Fatahilah, Kota Tua, Jakarta, seusai hujan, Sabtu (6/7/2024). Mengutip data Badan Pusat Statistik, jumlah perjalanan wisatawan nasional pada Mei 2024 mencapai 626.670 perjalanan. Jumlah tersebut turun jika dibandingkan dengan April 2024, tetapi naik 5,63 persen secara tahunan.
Fenomena MJO ini telah terdeteksi sejak 28 Juni 2024 sehingga sejak tanggal itu BMKG mengeluarkan peringatan dini potensi hujan lebat untuk sebagian wilayah, termasuk Jawa bagian barat. Pada periode 3-6 Juli 2024, gelombang atmosfer MJO, Rossby Equatorial, dan Kelvin aktif di Indonesia bagian tengah dan selatan sehingga tambahan hujan mulai terjadi di wilayah tersebut.
Dengan menjelaskan faktor yang memengaruhi hujan di Indonesia ini, Dwikorita menyampaikan, musim kemarau juga bisa terjadi hujan. Apalagi, musim hujan di Indonesia berbeda-beda, ada beberapa wilayah yang tak mengikuti pola monsun, tetapi pola ekuatorial, selain pola lokal, seperti Kepulauan Maluku dan sebagian Sulawesi, sehingga nyaris hujan sepanjang tahun.
Namun, untuk Jawa, lazimnya tidak terjadi hujan lebat sebagaimana tertera dalam pranata mangsa atau kalender tanam, yang diformalkan pada 1855 saat Pakubuwono VII menjadi Raja Surakarta. Data BMKG menunjukkan, pada tanggal 1 Juli, sebaran hujan sangat lebat terjadi di Jabodetabek, bahkan di Bogor mencapai 130 milimeter (mm) per hari. Pada tanggal 6 Juli juga terjadi hujan lebat.
Baca juga: Sudah 13 Bulan Bumi Alami Rekor Suhu Terpanas
Tingginya intensitas hujan ini menyebabkan banjir melanda sejumlah wilayah. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, sebanyak 673 keluarga di Kota Tangerang Selatan, Banten, juga terdampak banjir dengan ketinggian hingga 80 sentimeter pada Sabtu (6/7).
Dalam beberapa hari terakhir, terjadi fenomena cuaca MJO yang aktif di sekitar wilayah Samudra Hindia dan memengaruhi pembentukan awan hujan, terutama di wilayah Indonesia bagian barat.
Banjir juga melanda Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, berdampak terhadap 16.310 jiwa atau 5.443 keluarga. Sebanyak 4.269 rumah tergenang air dengan tinggi mencapai 30 hingga 40 cm, dan sawah seluas 15 hektar juga turut terendam.
Titik kritis iklim
Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer-Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Albertus Sulaiman mengatakan, dari aspek meteorologi, hujan lebat di bagian barat Jawa kali ini dipengaruhi dinamika gelombang atmosfer yang menjalar di ekuator sehingga melemahkan sementara dampak pergerakan muson timur.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F06%2F206547a3-9b6e-4787-8dc1-bd1c551ef691_jpg.jpg)
Pengendara menembus banjir yang menggenangi Jalan Mabes Hankam, Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur, Sabtu (6/7/2024). Hujan deras di wilayah Jakarta dan sekitarnya menyebabkan banjir di sejumlah titik dan mengganggu mobilitas warga.
”Citra satelit Himawari juga menunjukkan pergerakan awan hujan dari Samudra Hindia itu. Pergerakan awan ekuatorial itu ditambah oleh banyaknya penguapan karena suhu lautan yang panas,” katanya.
Sekalipun demikian, menurut Albertus, fenomena ini juga bisa menjadi sinyal perubahan iklim yang bersifat jangka panjang. ”Pola cuaca saat ini makin sulit diprediksi karena sedang mencari keseimbangan baru akibat gangguan pada sistem iklim mendekati tipping point (titik kritis). Cuaca jadi tidak stabil. Misalnya, MJO yang dulu tidak sekuat ini di bulan Juli sekarang bisa terjadi,” tuturnya.
Sebagaimana dilaporkan Will Steffen dari Stockholm Resilience Centre, Stockholm University dan tim di jurnal Science pada 2015, tingkat gangguan antropogenik terhadap parameter iklim, biosfer, biogeokimia, dan sistem lahan hingga melebihi titik kritis akan memicu ground state atau keseimbangan baru di Bumi.
Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), titik kritis bumi bisa dimaknai sebagai ambang batas dalam suatu sistem yang, jika terlampaui, dapat menyebabkan perubahan signifikan dan permanen.
Baca juga: Cuaca Panas dan Jejak Pemanasan Global Satu Dekade Terakhir
Intinya, titik kritis iklim adalah elemen sistem bumi, di mana perubahan kecil bisa memicu putaran yang ’mengarahkan’ suatu sistem dari satu keadaan stabil ke keadaan amat berbeda. Contohnya, peningkatan suhu global akibat kenaikan emisi karbon memicu perubahan, seperti hutan hujan menjadi sabana kering secara permanen, sekalipun suhu kembali turun di bawah ambang batas.
Perubahan pola hujan
Peneliti iklim BMKG, Siswanto, mengatakan, hingga saat ini belum ada data bahwa pola MJO juga mengalami perubahan dalam jangka waktu panjang. ”Namun, riset kami menunjukkan perubahan pola hujan di Indonesia,” katanya.
Studi Siswanto yang dipublikasikan di Meteorological Society of Japan pada 2022 mengungkapkan, akumulasi hujan dalam setahun cenderung sama, bahkan menurun. Namun, terjadi peningkatan hujan lebat hingga sangat lebat dengan durasi pendek.

Dalam kajian tersebut, Siswanto menganalisis curah hujan per jam di Jakarta selama 150 tahun. Dia menemukan ada peningkatan dua kali lipat jumlah kejadian hujan dengan durasi pendek (1-3 jam) pada musim hujan.
Peningkatan frekuensi yang signifikan, sekitar 25 persen, dalam kejadian curah hujan durasi pendek ini, termasuk yang ekstrem atau di atas 10 mm per jam, terutama terjadi pada 2001-2010 dibandingkan dengan awal abad ke-20. Untuk intensitasnya, hujan-hujan durasi pendek meningkat 50 persen.
Peningkatan kejadian hujan lebat juga terjadi pada musim kemarau pada Juni, Juli, Agustus di Jakarta. ”Hari-hari terjadinya hujan sangat lebat di bulan Juni, Juli, Agustus cenderung meningkat dalam periode 1960-2010 dibandingkan dengan periode 1895-1945,” ungkapnya.
Studi dengan data jangka panjang ini bisa memberi perspektif untuk memahami tentang cuaca yang semakin bergejolak. Kini, kita perlu membiasakan diri bahwa hujan di Jawa pada bulan Juni yang mestinya kemarau bukan lagi anomali, bahkan Juli juga bisa terjadi hujan lebat dan banjir.