Berperan Penting dalam Aksi Iklim, Media Hadapi Ancaman dan Keterbatasan Informasi
Media memiliki peran penting dalam mengatasi dampak perubahan iklim, namun berbagai tantangan masih dihadapi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Media punya peran yang besar untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Namun, berbagai tantangan masih dihadapi oleh media, terutama terkait ancaman dan intimidasi dalam proses pemberitaan.
Direktur Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) di Jakarta Maki Katsuno Hayashikawa mengatakan, jurnalisme yang dilakukan oleh media memiliki peran yang penting dalam aksi iklim. Melalui media, kesadaran masyarakat bisa ditingkatkan. Media juga bisa membantu memberikan solusi serta mendukung pengambilan keputusan dalam mengatasi perubahan iklim.
Akan tetapi, tekanan yang besar dihadapi oleh media ketika tengah menyusun peliputan terkait perubahan iklim yang komprehensif, terutama ketika media melakukan peliputan investigasi mengenai dampak perubahan iklim. Berbagai tantangan yang dihadapi, antara lain, adanya ketidakpercayaan masyarakat, intervensi dari pemilik media, serta risiko keamanan jurnalis.
Ancaman pada jurnalis iklim setidaknya tampak dari hasil laporan terbaru dari UNESCO tentang situasi kebebasan pers global. Dalam laporan itu, disebutkan sebanyak 749 jurnalis terkait lingkungan hidup menjadi sasaran kekerasan fisik, pelecehan daring, serangan hukum, hingga pembunuhan.
”Untuk mengatasi tantangan ini perlu upaya bersama dari organisasi media, jurnalis, kelompok masyarakat sipil, dan pemerintah. Dengan begitu, jurnalisme iklim bisa lebih baik,” tutur Maki dalam acara bertajuk ”A Press for the Planet: Journalism in the Face of the Environmental Crisis” di Jakarta, Rabu (10/7/2024).
Direktur Program Kemitraan Rifqi Sjarief Assegaf menyampaikan, tantangan lain yang juga dihadapi oleh jurnalis yakni keterbatasan akses data dan informasi serta tingginya ancaman dan serangan dalam pemberitaan lingkungan hidup. Ancaman dan serangan paling banyak ditemui pada jurnalis yang memberitakan isu pertambangan, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), dan pembalakan liar.
Tantangan lain yang juga dihadapi oleh jurnalis yakni keterbatasan akses data dan informasi serta tingginya ancaman dan serangan dalam pemberitaan lingkungan hidup.
Jenis ancaman dan serangan yang dihadapi juga beragam, mulai dari intimidasi, kriminalisasi, sampai ancaman nyawa. Mengutip data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pelaku serangan pada jurnalis lingkungan hidup paling banyak berasal dari kelompok massa, aparat penegak hukum, dan perusahaan.
”Ada juga ancaman legislasi. Masih ada pasal-pasal karet dalam regulasi yang dimanfaatkan untuk mengancam jurnalis. Bahkan, dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran disebutkan ada larangan melakukan investigasi eksklusif,” kata Rifqi.
Menurut dia, ancaman tersebut dapat menghambat kerja jurnalis di bidang lingkungan hidup dalam memberitakan informasi yang mendukung upaya mengatasi dampak perubahan iklim. Selain itu, jurnalis masih terbatas dalam mendapatkan informasi dan data terkait lingkungan hidup.
Pembatasan informasi
Pembatasan akses pada informasi dan data terkait lingkungan hidup membuat kondisi jurnalisme menjadi tidak sehat. Padahal, informasi dan data amat penting untuk bahan pemberitaan bagi media. Lewat informasi dan data yang lengkap, pemberitaan media bisa lebih akurat.
”Isu perubahan iklim itu complicated (rumit). Kerja jurnalis lingkungan hidup tidak mudah karena tidak hanya membahas isu yang kompleks, tetapi juga harus mengemas isu tersebut menjadi tulisan yang mudah diterima masyarakat,” tutur Rifqi.
Pendiri Indonesian Journalists for Climate (IJ4C) yang juga jurnalis di CNN Indonesia, Dewi Safitri mengatakan, isu terkait iklim termasuk isu yang sulit untuk dipelajari. Banyak istilah terkait iklim yang tidak biasa digunakan. Selain itu, isu iklim relatif masih baru menjadi perbincangan masyarakat luas.
”Isu tentang perubahan iklim atau jurnalisme iklim mungkin baru 5-10 tahun terakhir menjadi perbincangan. Itu membuat banyak hal yang belum kita ketahui. Itu pula yang membuat belum banyak adanya jurnalis iklim serta pemberitaan terkait iklim,” ujarnya.
Hal lain yang menjadi tantangan dalam pemberitaan iklim, antara lain, tingkat keterbacaan yang rendah di masyarakat. Sejumlah berita mengenai iklim bersifat prediktif mengenai ancaman masa depan.
Itu sering kali membuat masyarakat enggan membaca karena terkesan menakut-nakuti. Akibatnya, berita terkait iklim menjadi semakin sulit digaungkan di masyarakat luas.
Untuk itu, Dewi mengatakan, berbagai dukungan sangat dibutuhkan untuk mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas liputan terkait iklim. Harapannya kualitas jurnalis lingkungan hidup atau iklim pun bisa menjadi lebih baik.