Siswa Pintar Tidak Perlu Sekolah Unggulan untuk Berkembang
Anak-anak pintar tidak harus berada di sekolah unggulan atau khusus untuk berkembang. Pendidian inklusif dibutuhkan.
Siswa yang pintar tidak perlu bersekolah di sekolah yang unggulan secara akademis untuk berkembang. Sebab, siswa yang bersekolah di sekolah unggulan dan non-unggulan mempunyai kemungkinan yang sama untuk melanjutkan studi ke universitas atau mendapatkan pekerjaan berkualitas.
Sekolah unggulan merupakan sekolah yang didanai pemerintah yang hanya menerima siswa berprestasi. Siswa mengikuti ujian masuk standar, di mana siswa dengan nilai terbaik akan didaftarkan.
Di Indonesia, sejumlah pemerintah daerah mendirikan sekolah unggulan bagi anak-anak berprestasi yang diseleksi secara ketat. Salah satunya, SMA Negeri MH Thamrin di Jakarta yang siswanya sering jadi langganan juara olimpiade sains tingkat nasional dan internasional.
Baca juga: Apa Dosa Sekolah Favorit?
Sementara itu, Kementerian Agama mendirikan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia, setidaknya ada di 24 lokasi di berbagai provinsi. Sekolah ini menyeleksi ketat calon siswanya dengan mengadakan tes seleksi di seluruh Indonesia. Sekolah ini menerapkan prinsip pencapaian tertinggi dan mendalam bagi siswa untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan iman dan takwa.
Pada 2010, awalnya hanya ada 3 MAN Insan Cendekia di seluruh Indonesia, yakni di Serpong, Gorontalo, dan Jambi. Semua siswa yang bersekolah di MAN Insan Cendekia mendapatkan beasiswa penuh dan parsial di setiap kampus MAN Insan Cendekia yang ada. Beasiswa penuh ini berlaku hingga tahun 2016. Namun, sejak mulai MAN Insan Cendekia lain bermunculan di seluruh Indonesia, beasiswanya tidak lagi penuh.
Tidak perlu sekolah khusus
Hasil riset yang diterbitkan di British Journal of Educational Studies secara daring pada 4 Juli 2024 justru menentang gagasan bahwa sekolah yang unggulan secara akademis diperlukan agar siswa yang cerdas dapat mencapai hasil yang baik.
”Penelitian menunjukkan bahwa orangtua ingin mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah unggulan karena mereka percaya hal ini akan meningkatkan peluang anak-anak mereka masuk ke universitas bergengsi dan mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi dan berstatus tinggi,” kata penulis hasil riset itu, Melissa Tham, peneliti di Mitchell Institute di Victoria University, Melbourne, Australia.
Baca juga: Sekolah Inklusi, Niat untuk Merangkul Perbedaan
Terkait sekolah unggulan bagi anak-anak berprestasi, Tham mengakui, ada berbagai pendapat.
Beberapa orang berpendapat bahwa sekolah unggulan diperlukan agar siswa cerdas dapat mencapai potensi akademik mereka sepenuhnya. Sekolah unggulan dapat mengungguli atau berprestasi sama baiknya dengan sekolah elite dalam ujian akhir tahun, tetapi tanpa biaya tinggi yang dibebankan kepada orangtua. Karena itu, sekolah unggulan dianggap dapat menawarkan sarana bagi anak-anak dari latar belakang sosial ekonomi rendah untuk menerima pendidikan kelas satu.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa sekolah unggulan memberikan manfaat yang tidak proporsional kepada anak-anak dengan tingkat sosial ekonomi tinggi yang orangtuanya mampu. Sebab, orangtua dari kelompok mampu ini dapat membayar les privat untuk mempersiapkan anak-anak mereka menghadapi ujian masuk.
Untuk mengetahui apakah ada manfaat yang terkait dengan sekolah unggulan, Tham dan rekan-rekannya, Shuyan Huo dan Andrew Wade, melacak hampir 3.000 siswa melalui Survei Longitudinal Pemuda Australia (Longitudinal Surveys of Australian Youth/LSAY). Survei ini mewakili generasi muda Australia selama periode 11 tahun. Survei dimulai ketika responden berusia 15 tahun pada tahun 2009.
Sekolah-sekolah unggulan yang ditampilkan dalam penelitian ini memiliki proporsi siswa yang berprestasi tinggi secara akademis, yang diukur dengan nilai matematika dan membaca. Namun, pada usia 19 tahun dan 25 tahun terdapat sedikit perbedaan antara hasil pendidikan dan pekerjaan anak-anak yang mengikuti sekolah unggulan dibandingkan sekolah non-unggulan.
Perbedaan tidak signifikan
Penelitian menemukan bahwa meskipun 81 persen siswa sekolah unggulan melanjutkan untuk bekerja atau kuliah pada usia 19 tahun dibandingkan dengan 77,6 persen siswa dari sekolah non-unggulan, perbedaan ini hilang ketika siswa dicocokkan berdasarkan karakteristik utama, termasuk latar belakang sosial ekonomi, jender, dan lokasi geografis.
Pada usia 25 tahun, semua indikator penilaian siswa sekolah unggulan dan non-unggulan tidak signifikan, kecuali kepuasan hidup secara umum. Menghadiri sekolah unggulan meningkatkan skor kepuasan hidup siswa secara umum hanya sebesar 0,19 poin. Sementara itu, siswa yang bersekolah di sekolah non-unggulan mempunyai kemungkinan yang sama untuk melanjutkan studi ke universitas atau mendapatkan pekerjaan dibandingkan rekan-rekan mereka yang bersekolah di sekolah unggulan.
”Temuan yang sangat sederhana ini menunjukkan bahwa bersekolah di sekolah yang unggulan secara akademis tampaknya tidak memberikan manfaat yang besar bagi individu,” kata Andrew Wade.
Wade berpendapat, sekolah-sekolah negeri yang unggulan secara akademis bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan inklusif dan adil yang mendasari sistem sekolah Australia. Temuan ini menunjukkan bahwa diperlukan lebih banyak penelitian untuk menentukan apakah sekolah unggulan menawarkan manfaat bagi siswa yang mampu secara akademis.
Orangtua dari kelompok mampu ini dapat membayar les privat untuk mempersiapkan anak-anak mereka menghadapi ujian masuk.
”Daripada mengubah beberapa aspek proses pendaftaran, kami melihat manfaat yang lebih besar dalam melakukan pemeriksaan menyeluruh dan kritis terhadap sekolah-sekolah yang unggulan dan mengurangi selektivitas jika manfaat yang diharapkan tidak ditemukan,” kata Shuyan Huo.
Sementara itu, Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Chatarina Muliana Girsang menjelaskan, sekolah merupakan lembaga pendidikan tidak hanya bagi anak yang sudah dianggap pintar. Tes akademik sering kali fokus pada mata pelajaran tertentu tanpa memperhitungkan berbagai bakat, minat, dan prestasi anak.
”Setiap anak dengan berbagai kepintaran dan bakat memiliki hak yang sama untuk dididik,” kata Chatarina.
Pendidikan inklusif, khususnya di sekolah pemerintah, didorong lewat kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB), seperti diatur dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Terdapat empat jalur seleksi untuk sekolah negeri, yaitu jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur perpindahan orangtua, dan jalur prestasi. Pelaksanaan PPDB yang obyektif, transparan, akuntabel, serta melibatkan sejumlah pihak bertujuan memberikan kesempatan yang adil dan merata bagi setiap peserta didik mendapatkan layanan pendidikan berkualitas.