Seni Mengelola Takdir untuk Terus Mensyukuri Hidup
Takdir adalah kuasa Tuhan. Namun, manusia bisa mengelola dengan bijaksana melalui kedewasaan seiring pengalaman hidup.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
Takdir merupakan ketetapan Tuhan melalui kuasa-Nya dalam ragam peristiwa yang tidak bisa ditentukan oleh manusia sehingga bisa dirasa berwujud baik ataupun buruk oleh manusia. Akan tetapi, manusia bisa mengelola takdir dengan bijaksana agar hidup tetap berjalan dengan optimal untuk menjadi manusia bermanfaat.
Perjalanan hidup dan pengalaman spiritual Komaruddin Hidayat dalam memahami dan mengelola takdir dalam kehidupan bisa menginspirasi manusia lain yang tengah dalam persimpangan jalan saat bertemu dengan takdir. Kisah mantan Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia itu tertuang dalam buku otobiografinya yang berjudul Jalan Pulang: Seni Mengelola Takdir yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (2024).
Komaruddin memulai cerita dengan kisah pertama kali pergi mengadu nasib ke Jakarta tahun 1974. Saat hampir semua rekannya memilih ikut dalam program transmigrasi ke Sumatera dan Kalimantan, ia memilih ibu kota Jakarta karena, menurut dia, Jakarta adalah pusat perekonomian yang menjanjikan masa depan.
Hal termudah untuk mensyukuri takdir adalah dengan melihat sekitar lalu membandingkannya.
Bermodalkan nekat, pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953, ini memutuskan kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta). Dia kuliah sambil bekerja menjadi wartawan lepas. Tulisan-tulisannya menghidupinya sampai lulus. Singkat cerita, karier akademiknya melompat hingga menjadi Guru Besar UIN Jakarta.
Sederet pengalaman hidup ini, kata Komaruddin, adalah takdir. Takdirnya sebagai pemuda desa sederhana yang diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan hingga ke Ibu Kota tetapi tidak diberi modal banyak sehingga harus dikelola demi mencapai tujuan.
”Ibaratnya, kan, mati itu adalah takdir, pasti. Tetapi, jalan ke arah kematian itu pilihan Anda. Dalam bahasa lain ada prinsip sebab-akibat sehingga orang akan memanen apa yang dia tanam,” kata Komaruddin dalam acara bedah bukunya di Ruang Kompas Institute, Jakarta, Sabtu (6/7/2024).
Salah satu topik dalam buku ini adalah Mikul Dhuwur Mendhem Jero, sebuah konsep takdir berdasarkan kepercayaan Jawa dan demokrasi modern. Komaruddin memaparkan bahwa kekuasaan itu takdir dan anugerah dari langit.
Oleh karena itu, jika memang sudah ditakdirkan, jabatan akan mendekati. Tak usah dikejar-kejar. Ini berbeda dengan tradisi demokrasi modern, banyak orang memperjuangkan dan memperebutkan jabatan, lalu rakyat sebagai wasit akan menentukan pilihan. Di sini berlaku adagium ”suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Dia juga menyoroti hubungan antara takdir dan kebebasan manusia. Setiap orang punya kebebasan untuk membuat keputusan dalam mengelola takdir dalam hidupnya yang menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing.
Pengalaman terhadap takdir lainnya yang diungkapkan dalam buku ini adalah saat Komaruddin mengalami kehilangan dalam hidupnya, mulai dari kehilangan orang-orang yang dicintai, kesempatan berharga, hingga harapan yang diidamkan. Namun, dengan hati yang lapang dan tawakal kepada Allah, dia mampu mengelola takdir tersebut.
”Nah, di saat seperti itulah kemudian kita serahkan semuanya kepada Tuhan. Sebab, kalau kita tidak ke sana, bisa gila di dalam pikiran kita,” ucapnya.
Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno berpandangan, ketika seseorang mengeluhkan takdir yang diberikan Tuhan kepadanya, maka ia sudah meragukan kuasa Tuhan. Maka, ketika takdir itu datang, baik atau buruk, sebaiknya tetap disyukuri.
Hal termudah untuk mensyukuri takdir adalah dengan melihat sekitar lalu membandingkannya. ”Saya, kok, diberlakukan begitu baik dibandingkan dengan nasib banyak orang lain, ya, syukur kepada Tuhan. Itu tentu memberikan kepada kita juga suatu tanggung jawab khusus untuk belajar,” kata Franz Magnis-Suseno.
Oleh karena itu, buku otobiografi Komaruddin ini mengajak pembaca untuk merenungkan setiap perjalanan hidup dan pengalaman spiritual seseorang untuk menemukan kedamaian dalam menghadapi takdir. Dalam setiap halaman pada buku setebal 206 halaman ini, pembaca disajikan dengan pemikiran-pemikiran yang menggugah untuk merenungkan makna dan tujuan hidup mereka.