Citra Satelit Mengungkap, 700.000 Hektar Hutan di Indonesia Telah Ditebang untuk Tambang
Lebih dari 700.000 hektar hutan di Indonesia ditebangi untuk pertambangan sejak 2001, sebagian merupakan hutan primer.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Analisis menggunakan data satelit menunjukkan, lebih dari 700.000 hektar hutan di Indonesia telah ditebangi untuk pertambangan sejak tahun 2001. Hutan yang ditebang ini sebagian merupakan hutan primer.
Analisis baru ini dikeluarkan TreeMap, sebuah perusahaan rintisan di bidang konservasi, menggunakan citra resolusi tinggi beberapa satelit resolusi tinggi dari Sentinel-2 dan Planet/NICFI serta data selama dua dekade dari program Landsat. Analisis ini dilakukan untuk memetakan tambang dan infrastruktur terkait serta melacak deforestasi.
Laporan yang diunggah di nusantara-atlas.org pada Rabu (3/7/2024) tersebut memperkirakan bahwa penambangan, termasuk lubang tambang, fasilitas pemrosesan, area tailing, dan jalan raya, telah mengakibatkan pembukaan hutan seluas 721.000 hektar atau 7.210 kilometer persegi antara tahun 2001 dan 2023.
Diperkirakan sebanyak 150.000 hektar kawasan yang dibuka untuk tambang itu merupakan hutan primer, yaitu kawasan dengan stok karbon tinggi dan pohon-pohon tinggi yang masih utuh.
Pemetaan yang diberi nama Altas Nusantara ini memberikan gambaran resolusi spasial 10 meter dari tapak lahan pertambangan di Indonesia per Desember 2023, yang menunjukkan lokasi tambang di seluruh Nusantara. Peta ini menunjukkan hilangnya tutupan hutan secara mencolok dalam rangkaian waktu seiring dengan berkembangnya pertambangan dan infrastruktur terkait.
David Gaveau, pendiri The TreeMap, kepada AFP mengatakan, tambang tersebut diidentifikasi menggunakan kombinasi interpretasi visual dan pembelajaran mesin.
”Tambang terbuka mudah dikenali dari garis-garis konsentris yang dibuat di sisi lubang untuk tambang batubara, atau dari kecenderungannya ditempatkan di sepanjang tepi sungai, untuk tambang emas,” ujarnya.
Lebih dari 700.000 hektar hutan di Indonesia telah ditebangi untuk pertambangan sejak tahun 2001.
Menurut Gaveau, semua jenis tambang juga memiliki ”tanda spektral” yang khas, sebuah pengukuran energi yang merupakan karakteristik wilayah lahan kosong dan mudah dideteksi.
Gaveau dan tim telah melakukan referensi silang atas temuan mereka dengan peta resmi konsesi pertambangan, artikel media lokal, dan laporan LSM. Penggunaan citra satelit historis juga memungkinkan mereka mendeteksi tambang-tambang yang kini terbengkalai.
Sementara itu, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dirilis Januari 2024 menunjukkan, luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia berdasarkan pemantauan tahun 2022 mencapai 96,0 juta ha atau 51,2 persen dari total daratan, dengan 92,0 persen dari total luas berhutan atau 88,3 juta ha berada di dalam kawasan hutan.
Menurut KLHK, deforestasi (neto) Indonesia tahun 2021-2022 adalah sebesar 104.000 ha. Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 119.400 ha dikurangi reforestasi sebesar 15.400 ha.
Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 105.200 ha, mencapai 71,3 persen atau 75.000 ha berada di dalam kawasan hutan dan sisanya seluas 30.200 ha atau 28,7 persen berada di luar kawasan hutan.
Dampak pertambangan
Laporan TreeMap menyebutkan, pembukaan hutan untuk pertambangan ini membawa konsekuensi bagi lingkungan. Deforestasi dan hilangnya habitat akibat pertambangan dan pembangunan terkait berkontribusi terhadap emisi karbon, mengganggu ekosistem, dan mengancam banyak spesies yang terancam punah.
Penambangan skala besar sering kali menggusur masyarakat lokal dan mengganggu cara hidup mereka. Salah satu contoh yang ditunjukkan adalah dampak buruk yang dialami suku Hongana Manyawa, salah satu suku nomaden pemburu-pengumpul terakhir di Indonesia yang terkena dampak perambahan operasi penambangan nikel ke tanah leluhur mereka di Pulau Halmahera.
Operasi penambangan juga mencemari sumber air penting bagi masyarakat lokal dan mengganggu perikanan sehingga berdampak pada mata pencarian. Penambangan nikel di Pulau Obi disebut telah mengubah perairan pesisir menjadi merah karena terkontaminasi logam berat tingkat tinggi.
Batubara terluas
Dengan menggunakan data konsesi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Gaveu dan tim menemukan bahwa batubara merupakan pertambangan dengan porsi terbesar berdasarkan wilayah.
Hutan yang dibuka untuk pertambangan batubara dalam kurun 2001 hingga 2023 mencakup sekitar 322.000 ha, diikuti oleh pertambangan emas seluas 149.000 ha, timah seluas 87.000 ha, pertambangan nikel seluas 56.000 ha, pertambangan bauksit 16.000 ha, dan pertambangan lainnya 91.000 ha, yang meliputi pertambangan pasir dan batu.
Meskipun data menunjukkan puncak deforestasi pada tahun 2013, masalah ini kembali meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Gaveau, pada tahun 2023, pertambangan dikaitkan dengan hilangnya hampir 10.000 ha hutan primer setiap tahunnya.
Sementara itu, berdasarkan studi yang diterbitkan dalam “Proceedings of the National Academy of Sciences”, banyak kawasan hutan di Indonesia yang dibiarkan menganggur setelah ditebangi.
Sejak tahun 1990, Indonesia telah kehilangan 25 persen hutan tropis tuanya dan lebih dari seperempat (7,8 juta hektar) lahan hasil deforestasi telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2020. Sedangkan 8,8 juta hektar lahan gundul masih dibiarkan tidak dikelola.
Studi yang berfokus pada tren deforestasi di Indonesia pada 1991 hingga 2020 ini juga menemukan bahwa lebih dari separuh lahan akibat deforestasi di Indonesia dibiarkan menganggur setidaknya selama satu tahun setelah pembukaan hutan. Dari luas lahan itu, 44 persen di antaranya dibiarkan menganggur setidaknya selama lima tahun.
“Kawasan hutan tropis merupakan sumber daya yang sangat sangat berharga baik di tingkat lokal maupun global,” kata Diana Parker, postdoctoral associate di Departemen Ilmu Geografi University of Maryland, Amerika serikat, penulis utama laporan riset tersebut.
Selain temuan lahan deforestasi yang menganggur itu, penelitian ini juga mengungkap adanya harapan bagi hutan yang masih tersisa. Pada 2017-2020, tingkat deforestasi Indonesia merupakan yang terendah.
“Indonesia adalah satu dari sedikit negara dengan hutan tropis yang berhasil menekan angka deforestasinya,”ujar Matthew Hansen, professor di University of Maryland yang juga penulis hasil studi itu.