PPDB serta Ketimpangan Kualitas dan Daya Tampung Sekolah
Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru disorot karena dapat diakali. Padahal, sistem zonasi diyakini penting.
Setiap negara mesti betul-betul berinvestasi pada pendidikan berkualitas. Dalam laporannya, Price of Inaction: the global private, fiscal and social costs of children and youth not learning, UNESCO menyatakan, tanpa investasi serius pada pendidikan berkualitas, dampak ekonomi pasti terjadi dan sulit memutus lingkaran setan ketidakmajuan dan kemiskinan. Selain itu, menimbulkan dampak sosial, salah satunya, dalam memajukan kesetaraan jender.
Menariknya, salah satu dari 10 rekomendasi mewujudkan pendidikan berkualitas dalam laporan yang dirilis pada Juni 2024 itu ialah jarak yang pendek antara rumah anak-anak dan sekolah mereka, terutama di daerah tertinggal.
Rekomendasi lainnya ialah pemerintah juga harus menjamin sekolah gratis yang didanai pemerintah bagi setiap anak perempuan dan laki-laki selama minimal 12 tahun. Pemerintah harus menyediakan program ”kesempatan kedua” bagi generasi muda yang belum dapat memperoleh manfaat dari pendidikan berkualitas atau yang pendidikannya terhenti.
Baca juga: PPDB dengan Sistem Zonasi Mesti Lebih Inklusif
Lingkungan pembelajaran juga harus aman dan inklusif. Semua sekolah mempunyai akses terhadap air dan sanitasi. Ukuran kelas harus dijaga tetap kecil, dan pelajaran diajarkan oleh guru yang berkualifikasi dan mempunyai motivasi yang mendukung semua siswa dengan cara yang adil dengan memberikan perhatian khusus pada kesetaraan jender.
”Kerugian global akibat putus sekolah dan kurangnya pendidikan sangatlah mengejutkan, mencapai 10.000 miliar dollar AS per tahun. Pesan dalam laporan UNESCO ini jelas, pendidikan adalah investasi strategis, yakni salah satu investasi terbaik bagi individu, perekonomian, dan masyarakat secara keseluruhan,” kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay, yang dikutip dari laman resmi UNESCO, Kamis (4/7/2024).
Sengkarut PPDB
Akses pada pendidikan berkualitas menjadi hak setiap orang yang harus dijamin oleh pemerintah. Salah satu poin dalam menyediakan akses ini adalah soal jarak antara rumah anak-anak dan sekolah mereka. Di Indonesia, hal ini sebenarnya sudah diterapkan melalui penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi sejak tahun 2017.
Namun, sistem zonasi PPDB ini terus mendapat ujian karena pemerataan daya tampung dan kualitas sekolah yang belum sesuai harapan. Padahal, di banyak negara maju, sistem zonasi bersekolah menjadi kebijakan pemerintah dengan jaminan bersekolah di mana pun yang dekat rumah, kualitas pendidikan yang diberikan setara.
Sayangnya, kesenjangan mutu pendidikan yang belum tertangani dengan baik belum mampu menggeser paradigma anak harus di sekolah negeri favorit meski jauh dari rumah tinggal. Lebih parah lagi, bersekolah di sekolah negeri yang gratis membuat fenomena rebutan kursi terjadi. Kecurangan pun bermunculan, dari syarat administrasi hingga jual-beli kursi.
Akibatnya, praktik kecurangan dalam PPDB yang kerap terjadi pun kian dianggap biasa. Efektivitas sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru pun digugat. Bahkan, ada yang menyuarakan sistem zonasi dihapus dan beralih pada seleksi nilai, seperti di masa lalu.
Rebutan kursi atau seat war di sekolah negeri ini membuat akses bersekolah bagi anak usia wajib belajar tidak terjamin. Memang, ada pilihan sekolah swasta, tetapi menjadi beban bagi anak dari keluarga tidak mampu dan kelompok menengah karena harus membayar uang pangkal, sumbangan pembinaan pendidikan, dan biaya lainnya.
Jalur zonasi kalah jarak, jalur prestasi kalah nilai. Tak mendapat ’privilege’ dari negara karena bukan golongan miskin. Tapi, juga tak cukup kaya untuk ’masukin’ anak ke sekolah swasta.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, pada tahap akhir proses PPDB di DKI Jakarta, ada laporan 25 siswa penerima Kartu Jakarta Pintar/KJP (untuk siswa tidak mampu) yang gagal masuk sekolah negeri di jalur prestasi, zonasi, dan afirmasi. Hingga hari ini, mereka masih kebingungan mencari sekolah.
”Pengaduan ini menunjukkan masih lemahnya perlindungan terhadap kelompok yang rentan putus sekolah meski berbagai jalur sudah disedikan. Saya menduga kuat, jumlah riil di lapangan lebih dari 25 kasus sebab penerima KJP jumlahnya ratusan ribu,” kata Ubaid.
Gugatan terhadap sistem zonasi bermunculan dalam diskusi di grup percakapan hingga media sosial. ”Jalur zonasi kalah jarak, jalur prestasi kalah nilai. Tak mendapat privilege dari negara karena bukan golongan miskin. Tapi, juga tak cukup kaya untuk masukin anak ke sekolah swasta,” demikian cuitan salah satu warganet di Threads.
Pertahankan zonasi
Menanggapi aspirasi penghapusan jalur zonasi PPDB, Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang menjelaskan, penerapan empat jalur dalam PPDB, termasuk jalur zonasi, merupakan bagian penting dari upaya pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia.
Kebijakan PPDB, seperti diatur dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021, memberlakukan empat jalur seleksi untuk sekolah negeri, yaitu jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur perpindahan orangtua, dan jalur prestasi. Pelaksanaan PPDB yang obyektif, transparan, akuntabel, serta melibatkan sejumlah pihak bertujuan untuk memberikan kesempatan yang adil dan merata bagi setiap peserta didik.
Baca juga: PPDB Zonasi untuk Siapa?
Chatarina menjelaskan, jika hanya mengandalkan jalur akademik dalam PPDB, anak yang tidak lolos kemungkinan tidak bersekolah. ”Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar bahwa pendidikan adalah hak dasar yang dijamin oleh konstitusi,” ujar Chatarina.
Jika hanya menggunakan jalur akademik, pemerintah daerah juga mungkin tidak akan menambah daya tampung sekolah negeri dengan membangun sekolah baru yang sesuai dengan kebutuhan. Sebab, anak-anak yang tidak lolos tes dianggap tidak membutuhkan fasilitas pendidikan tambahan. ”Hal ini dapat menghambat upaya peningkatan jumlah dan pemerataan sekolah,” ujar Chatarina.
Menurut dia, sekolah merupakan lembaga pendidikan tidak hanya bagi anak yang sudah dianggap pintar. Tes akademik sering kali fokus pada mata pelajaran tertentu tanpa memperhitungkan berbagai bakat, minat, serta prestasi anak.
Setiap anak dengan berbagai kepintaran dan bakat memiliki hak yang sama untuk dididik. ”Ini juga yang kita lakukan dengan menghapus Ujian Nasional untuk memastikan bahwa setiap anak bisa mendapatkan layanan pendidikan sesuai hak dasar yang dijamin konstitusi,” tutur Chatarina.
Evaluasi jalur zonasi terus dilakukan pemerintah. Di jenjang SD, jalur zonasi ditetapkan 70 persen dari sebelumnya 50 persen. Selain itu, siswa disabilitas yang pada aturan sebelumnya masuk melalui zonasi saat ini mereka dapat masuk melalui jalur zonasi ataupun luar zonasi.
Pemerintah daerah bertugas menindaklanjuti kebijakan tersebut dengan menyesuaikan peraturan daerah berdasarkan kebutuhan dan kondisi geografis setempat, termasuk menetapkan persentase zonasi dan mengatur jarak atau sebaran wilayah untuk PPDB.
Baca juga: PPDB dalam Belenggu Kecurangan dan Diskriminasi Pendidikan
Sejak diberlakukan pada 2017, kebijakan PPDB terus dievaluasi dan diperbaiki. Perubahan penting dalam evaluasi kebijakan ini menyoroti perlunya pemerataan kualitas dan jumlah sekolah di Indonesia. Salah satu isu yang muncul adalah kebijakan zonasi yang hanya berlaku untuk SMP dan SMA, tetapi tidak untuk SD. Hal ini karena perbedaan jumlah dan kualitas pemerataan SMP dan SMA.
Terkait dengan kecurangan PPDB yang masih terjadi, Chatarina mengimbau para pemangku kepentingan dan masyarakat bergotong royong membantu mengawal proses PPDB agar berjalan obyektif, transparan, dan akuntabel. ”Kami membutuhkan dukungan masyarakat untuk bersama-sama mengawal pelaksanaan PPDB ini,” tutur Chatarina.
Berdasarkan kajian Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSPK), PPDB berhasil menurunkan kesenjangan hasil belajar, terutama dalam literasi dan numerasi antara sekolah dengan 20 persen status sosial ekonomi teratas dan sekolah median di jenjang SMP dan SMA. Sistem PPDB saat ini memberikan kesempatan sekolah menerima peserta didik dari latar belakang ekonomi yang lebih beragam dan capaian hasil belajar tingkat sekolah cenderung lebih merata.
”Kebijakan PPDB dengan empat jalur yang diterapkan saat ini sebenarnya mendorong menurunkan kesenjangan antarsekolah yang biasanya nilainya bagus-bagus dengan yang di tengah-tengah,” kata peneliti dan pengamat pendidikan dari PSPK, Stephen Pratama.