Indonesia-Malaysia Bersama Merajut Sejarah Jalur Rempah
Indonesia dan Malaysia berkomitmen merajut sejarah Jalur Rempah untuk diajukan menjadi warisan budaya dunia ke UNESCO.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
Pelayaran Muhibah Budaya Jalur Rempah memasuki hari ke-26, kapal layar KRI Dewaruci yang membawa para laskar rempah telah sampai di titik kelima, yakni Kota Melaka, Malaysia. Di kota ini, Pemerintah Indonesia dan Malaysia memperkuat komitmen untuk pengajuan bersama Jalur Rempah menjadi warisan budaya dunia ke UNESCO.
Kota Melaka menjadi titik pertama di luar negeri dalam pelayaran Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) yang sudah menyusuri jejak perdagangan rempah dari Timur ke Barat Indonesia sejak 2020. Perdagangan rempah melalui lautan telah membentuk jalur yang menghubungkan Nusantara dengan bangsa Arab, Persia, Eropa, India, China, dan sebagainya.
”Kita harus menelusuri kembali jejak peradaban, kita memiliki warisan budaya bersama atau share heritage, dan ini saatnya kita melihat bersama-sama,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid, di Kota Melaka, Malaysia, Minggu (30/6/2024).
Jalur Rempah sebagai warisan budaya dunia dapat menjadi media diplomasi budaya sekaligus menguatkan posisi Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Adrian Bernard Lapian, sejarawan maritim Indonesia, dalam bukunya Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17, mengungkapkan, pada masa abad ke-16, saat kekuasaan Majapahit telah surut, Malaka merupakan pusat perdagangan internasional di Asia Tenggara. Satu-satunya rival dengan kekuatan yang sama hebatnya adalah Kerajaan Siam.
Namun, Malaka mampu menguasai perairan barat kepulauan Nusantara lewat kerja samanya dengan orang-orang yang dahulu dikenal sebagai perompak di perairan itu. Mereka bertugas menarik pedagang rempah untuk menepi ke pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Malaya.
Beberapa sejarawan ahli Asia Tenggara menarasikan bahwa jatuhnya Malaka pada 1511 di tangan Portugis memicu hijrahnya para pedagang ke wilayah lainnya di Nusantara dan membuka pusat perdagangan baru. Mereka berpindah ke wilayah Pasai, Aceh, Kepulauan Riau, pantai barat Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa titik sepanjang pantai utara Jawa hingga ke Bali.
Kisah-kisah perdagangan rempah-rempah global Asia, India-Nusantara-Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik ini meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Jalur ini telah menjadi ruang silaturahmi antarmanusia lintas batas.
Jalur rempah tak hanya jalur niaga, rempah bersama komoditas perdagangan lainnya yang beredar di wilayah Nusantara telah memicu lahirnya bahasa pemersatu bangsa-bangsa; meninggalkan bangunan bersejarah; mewariskan teknologi dan pengetahuan, literasi dan seni, hingga perilaku kehidupan sehari-hari yang meliputi gaya busana, khazanah kesehatan ragawi, kuliner, dan gastronomi.
Oleh karena itu, pengajuan Jalur Rempah untuk menjadi warisan budaya dunia UNESCO perlu melibatkan berbagai negara, salah satunya Malaysia. Proses merajut sejarah ini memerlukan riset yang mendalam dan komitmen mendalam antarnegara.
”Kami telah membahas dengan pihak kerajaan yang pada dasarnya perbincangan ini akan kita tindak lanjuti. Kita akan bawa Jalur Rempah ini untuk dapat pengakuan dari UNESCO,” kata Exco Pelancongan, Warisan, Seni dan Budaya Negeri Melaka Datuk Abdul Razak Abdul Rahman.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia Dato’ Indera Hermono menilai, dipilihnya Melaka sebagai titik labuh pertama di luar negeri adalah pilihan yang tepat dan juga menandakan hubungan Indonesia dengan Malaysia. Kegiatan ini tidak hanya sebagai acara sekali lewat saja, tetapi menjadi langkah awal untuk mempromosikan budaya kedua negara.
”Saya berharap ini menjadi langkah pertama untuk langkah berikutnya sehingga dapat menjadi acara tahunan yang lebih meriah lagi dan dapat menjadi ikon kerja sama kebudayaan dan pariwisata antara Indonesia dan Malaysia,” tutur Hermono.
Ratusan orang laskar rempah dalam setiap pelayaran MBJR yang terdiri dari anak-anak muda, wartawan, penulis, peneliti, pemengaruh, pakar, dan pelaku budaya bertugas mencatat lalu menyebarkan narasi jalur rempah kepada masyarakat. Catatan perjalanan mereka turut membantu melengkapi dokumen pengajuan ke UNESCO.
Bersama kapal cagar budaya KRI Dewaruci, sejak 2020, para laskar rempah telah berlayar melintasi jalur rempah di Surabaya, Makassar, Baubau dan Buton, Ternate dan Tidore, Banda Naira, Kupang, hingga Kepulauan Selayar. Tahun ini, mereka menyusuri tujuh titik di Pulau Sumatera-Malaysia mulai Jakarta, ke Belitung Timur, Dumai, Sabang, Malaka, Tanjung Uban, Lampung, hingga kembali ke Jakarta.
Jika diakui sebagai warisan budaya dunia, Jalur Rempah diharapkan memperkuat keberagaman Indonesia. Jalur Rempah juga dapat menguatkan posisi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Selain itu, Jalur Rempah juga bisa menjadi media diplomasi budaya Indonesia.
”Muhibah budaya ini tidak berhenti tahun ini. Mudah-mudahan di suatu waktu nominasi dari jalur rempah ini ke UNESCO nantinya,” tutur Hilmar.
Sejauh ini, jalur budaya yang sudah diakui UNESCO hanya tiga. Pertama, jalur ziarah spiritual (pilgrimage) ke Santiago de Compostela di Spanyol; kedua, jalur Jalur Sutra (China, Kazakhstan, dan Kirgizstan); dan jalur atau rute Gereja Kelahiran Yesus dan ziarah spiritual di Bethlehem.