Kasus Anak Bunuh Ayah, Fenomena Disfungsi Keluarga dalam Masyarakat
Keluarga seharusnya menjadi tumpuan hidup anak. Namun, sejumlah anak meninggalkan keluarga dan berkonflik dengan hukum.
Kasus remaja perempuan KS (17) yang diduga membunuh ayahnya S (55) di sebuah ruko di Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur, pada akhir pekan lalu, Sabtu (22/6/2024), kembali menjadi pembelajaran berharga bagi setiap keluarga. Peristiwa tragis ini harus menjadi perhatian serius karena baik korban maupun terduga pelaku adalah orangtua dan anak.
Tak hanya memiliki relasi yang sangat dekat (ayah dan anak kandung), kasus ini mengundang keprihatinan mendalam karena terduga pelaku adalah perempuan yang masih dalam kategori usia anak-anak atau remaja putri. Maka, keluarga pun menjadi sorotan paling utama.
Seperti diberitakan, S yang berjualan perabot ditemukan meninggal oleh karyawannya pada Jumat (21/6/2024) malam di ruko yang ditempatinya. Hingga kini, tim Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya terus mendalami kasus tersebut.
Sejauh ini, KS membunuh ayahnya diduga karena ia kerap diperlakukan kasar oleh ayahnya, baik secara fisik maupun verbal. Selama ini, korban tinggal bersama kedua putrinya, KS dan P (16), di ruko tersebut. Adapun ibu kedua remaja tersebut tidak tinggal di tempat itu karena sudah bercerai dengan S. Sehari-hari KS mengamen.
Baca juga: Dua Remaja Putri Diduga Bunuh Ayahnya karena Sakit Hati Dimarahi
Sebelumnya, polisi sempat menduga pelakunya adalah KS dan P. Namun, dari penyelidikan, pada Senin (24/6/2024), Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi mengatakan, KS ditetapkan sebagai tersangka atau anak berhadapan dengan hukum.
Dari sisi kriminalitas, kasus anak (berusia dewasa) membunuh orangtua kandung bukanlah kasus pertama yang terjadi di Tanah Air. Namun, pelaku yang masih berusia anak-anak atau remaja perempuan hampir jarang terdengar. Karena itulah, kasus ini mengundang tanggapan sejumlah kalangan.
”Anak perempuan seperti KS, hidup di jalanan adalah hidup yang sangat berisiko mengalami kekerasan berlapis, sebagai anak dan perempuan. Hidup di jalanan berbahaya, tidak aman, rentan mengalami berbagai kekerasan dan sekaligus berjuang untuk survive,” ujar Mamik Sri Supatmi, pengajar kriminologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Rabu (26/6/2024).
Kasus ini sekali lagi menegaskan betapa pentingnya penguatan keluarga dari sejak pasangan sebelum melangsungkan pernikahan.
Mamik bahkan menduga KS menghadapi situasi kekerasan tidak hanya di jalanan, tetapi kemungkinan juga di dalam rumah. Umumnya, anak-anak perempuan terpaksa memilih hidup di jalanan karena mengalami kekerasan dalam rumah atau dari teman dekat/intim.
Oleh karena itu, ketika ada anak perempuan yang melakukan delinkuensi atau kenakalan remaja (juvenile delinquency), biasanya hal itu merupakan cara anak tersebut melawan ketidakadilan dan viktimisasi yang dialami. Bisa juga hal itu sebagai cara untuk bertahan dalam kehidupan yang sangat keras dan tidak aman untuk anak perempuan.
”Semoga publik dan media tidak merespons yang makin memperburuk stigma dan masa depan KS tanpa berupaya memperbaiki akar masalah,” kata Mamik.
Kelekatan yang tak aman
Kasus KS membunuh ayah kandungnya dinilai cukup pelik. Nur Hasyim, pengajar sosiologi keluarga Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, Jawa Tengah, menilai kasus pembunuhan ayah oleh putrinya menunjukkan adanya sebuah kondisi dalam rumah tangga, yakni disorganisasi dan disfungsi keluarga.
”Indikasinya adalah isu attachment atau kelekatan ayah dan anak. Tampak ada kelekatan yang tidak aman (insecure attachment). Hal ini juga bisa dilihat dari anak yang tumbuh di jalanan ketimbang di rumah,” papar Nur Hasyim.
Kelekatan yang tidak aman tersebut dipengaruhi sejumlah hal, antara lain ketidakmampuan sang ayah menjalankan perannya sebagai ayah sekaligus menjalankan fungsi pengasuhan sebagai orangtua.
Baca juga: Rentetan Kasus Pembunuhan, Rentannya Mengabaikan Sakit Hati
Selama ini, dalam kultur masyarakat, posisi dan peran ayah semata-mata dimaknai sebagai sosok yang bertanggung jawab untuk pemenuhan kebutuhan material dan pendisiplinan pada anak, yang manifestasinya dalam bentuk marah dan menghukum.
Kegagalan ayah menjalankan fungsinya sebagai ayah juga terkait dengan norma tentang laki-laki, suami, dan ayah yang memandang mengasuh anak bukan peran dan tanggung jawab laki-laki, suami, dan ayah.
Soal anak memilih jalan membunuh dalam menyelesaikan konflik dengan ayahnya tidak lepas dari proses sosialisasi dan pembelajaran yang dialami anak. Sebab, sejatinya anak tidak terlahir untuk menjadi pembunuh, tetapi anak belajar menjadi pembunuh.
”Kasus ini sekali lagi menegaskan betapa pentingnya penguatan keluarga dari sejak pasangan sebelum melangsungkan pernikahan,” kata Nur Hasyim.
Anisia Kumala, psikolog dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), menilai kasus remaja membunuh orangtuanya menunjukkan ada persoalan yang sangat kompleks dari tingkat individu sampai tingkat makro.
”Ini kelihatannya ada problem keutuhan keluarga juga, ya, dan ada problem kronis pada perilaku anaknya. Hanya saja, intervensi perilaku pada anak tersebut yang bisa saja tidak dilakukan, baik oleh orangtua maupun oleh lingkungan,” paparnya.
Baca juga: Anak yang Bunuh Ayahnya di Duren Sawit Hanya Satu Orang, Motif Didalami
Sementara, di sisi lain, orangtua kemungkinan kurang memiliki pengetahuan bagaimana menghadapi problem perilaku anak sampai akhirnya masalahnya membesar.
Karena itulah, dalam situasi anak dan keluarga seperti itu, perlu ada sistem deteksi dini perilaku anak dan remaja yang terlihat ”berbeda”. Siapa yang menjalankan fungsi deteksi? Menurut Anisia, idealnya ada sistem dukungan di lingkungan tempat tinggal masyarakat, seperti rukun tetangga/rukun warga.
Perlu penelitian lanjutan
Secara hukum pidana, membunuh adalah perbuatan tindak pidana yang harus dijerat oleh hukum. Namun, ketika perbuatan tersebut dilakukan anak-anak, dosen hukum pidana Universitas Bina Nusantara (Binus) Ahmad Sofian berpendapat, dugaan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan KS pada ayahnya tidak bisa dilihat sesederhana itu.
”Pembunuhan yang dilakukan anak pada orangtuanya merupakan perilaku deviant (penyimpangan terhadap norma hukum) yang tidak bisa dilihat dari satu dimensi. Perbuatan ini ada rangkaian sebab yang harus didalami dalam bentuk penelitian kemasyarakatan yang dilakukan oleh pekerja sosial profesional,” papar Sofian.
Maka, dalam kasus anak-anak yang berkonflik dengan hukum (baik sebagai pelaku, sebagai korban, maupun sebagai saksi), cara pandang kita terhadap peristiwa hukum tersebut harus berbeda. Sebab, masalahnya kompleks dan tidak bisa dipandang hitam putih.
Terdapat dimensi sebab-akibat yang harus ditemukan oleh petugas penelitian kemasyarakatan (litmas) yang kemudian disampaikan kepada penegak hukum. Selanjutnya, perlu ada intervensi psikososial pada anak yang diduga melakukan tindak pidana sehingga mentalnya pulih dan bisa menceritakan secara gamblang penyebab dia melakukan tindak pidana tersebut.
Setelah itu, proses pengadilan anak barulah dijalankan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. ”Mungkin saja proses diversi dan keadilan restoratif diterapkan dalam kasus ini jika keluarga anak menghendakinya untuk kepentingan terbaik anak,” ujar Sofian.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar menyampaikan, pihaknya terus memantau proses hukum KS dan mendorong kepolisian mendalami motif pembunuhan yang dilakukan anak KS.
Apa pun temuannya nanti, peristiwa pembunuhan ayah yang dilakukan anak kandungnya menjadi pembelajaran penting bagi setiap keluarga agar kasus-kasus yang sama tidak berulang.