Anak Disabilitas Masih Terhambat dalam PPDB Jalur Afirmasi
Komnas Disabilitas mendapatkan sekitar 30 aduan yang menghambat anak berkebutuhan khusus dalam PPDB jalur afirmasi.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses Penerimaan Peserta Didik Baru pada jalur afirmasi, khususnya bagi anak disabilitas, menemui sejumlah hambatan. Sejumlah persyaratan masih memberatkan, baik di sekolah luar biasa maupun di sekolah inklusi, padahal seharusnya jalur afirmasi harus inklusif.
Anggota Komisi Nasional Disabilitas Eka Prastawa Widyanta mengungkapkan, sejauh ini pihaknya sudah menemukan sekitar 30 aduan masyarakat terkait PPDB jalur afirmasi. Salah satu kasusnya adalah sekolah luar biasa (SLB) di Semarang, Jawa Tengah, yang terlalu banyak mensyaratkan calon siswa berkebutuhan khusus harus melampirkan surat keterangan ahli yang menyatakan anak tersebut berkebutuhan khusus.
Sejumlah aduan ini tengah ditindaklanjuti Komnas Disabilitas bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Ombudsman RI. Jumlah kasus yang belum dilaporkan diperkirakan masih banyak.
Jika penyandang disabilitas harus bersekolah khusus yang lokasinya jauh dari rumahnya, pasti akan sangat berat dari sisi biaya transportasi.
”Kasus-kasus ini belum termasuk yang personal di lapangan yang belum masuk di aduan. Salah satu yang kami temukan dan sudah disampaikan ke Kemendikbudristek itu ada SLB yang mencantumkan syarat harus ada surat tes penglihatan, pendengaran, ortopedi, hingga tes IQ yang minimal tahun 2022,” ungkap Eka di Jakarta, Rabu (26/6/2024).
Dia meminta masyarakat dengan anak disabilitas yang mengalami ketidakjelasan informasi PPDB, adanya hambatan seperti dimintai asesmen, surat rekomendasi, ditolak saat melakukan pendaftaran, tidak masuk dalam jalur PPDB, diminta pindah sekolah karena alasan apa pun untuk melapor. Aduan masih akan terus diterima oleh posko pengaduan Komnas Disabilitas melalui surat elektronik [email protected].
Eka menegaskan, anak disabilitas dijamin mendapatkan perlakuan yang sama dalam jalur afirmasi. Hal ini dijamin dalam Peraturan Menteri Dikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB TK-SMA/SMK dan Keputusan Sekjen Kemendikbudristek Nomor 47 Tahun 2023 yang mengatur teknis PPDB TK-SMA/SMK.
Statistik Pendidikan 2023 menunjukkan, kesenjangan partisipasi pendidikan antara penyandang disabilitas dan bukan disabilitas tampak terlihat pada semua jenjang pendidikan. Setidaknya 60 persen anak disabilitas usia sekolah tidak atau belum bersekolah.
Kemudian, rata-rata lama sekolah anak disabilitas hanya sampai kelas V SD, sedangkan anak non-disabilitas sampai kelas 9 SMP. Ini disebabkan banyaknya hambatan yang dialami, baik karena minimnya dukungan dari orang terdekat mereka, seperti teman, orangtua, dan keluarga, serta karena infrastruktur maupun kebijakan yang kurang tersedia.
Menurut Eka, PPDB yang mengedepankan inklusivitas akan menghapus kesenjangan anak disabilitas untuk mengenyam pendidikan. Pemerintah didorong serius menangani masalah ini jika ingin mencapai target Indonesia Emas 2045.
”Kalau kita bicara Indonesia Emas 2045 saya kira tidak bisa tercapai sepenuhnya,” katanya.
Komisioner KPAI Aris Adi Leksono menambahkan, Kemendikbudristek perlu merevisi Permendikbud Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif pada peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa. Materi revisi terutama terkait peningkatan standar layanan penilaian dan tanggung jawab biaya sebagai syarat mendapatkan layanan pendidikan.
”Pemerintah daerah juga perlu menerbitkan regulasi yang memberikan perhatian khusus kepada pemenuhan hak penyandang disabilitas, khususnya akses informasi dan layanan pendidikan,” kata Aris, Rabu (26/6/2024).
Jarak dekat
Secara terpisah, Menteri Sosial Tri Rismaharini berpandangan, belajar adalah sesuatu yang mutlak bagi semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Dengan pendidikan yang layak dan inklusif, penyandang disabilitas bisa tumbuh mandiri.
Oleh karena itu, anak disabilitas harus bersekolah di sekolah inklusif seperti anak-anak lainnya. Sebab, SLB jumlah yang terbatas menyebabkan akses pada sekolah terkendala jarak. Ini akan menimbulkan masalah sosial lainnya.
”Jika penyandang disabilitas harus bersekolah khusus yang lokasinya jauh dari rumahnya pasti akan sangat berat dari sisi biaya transportasi sehingga mereka tidak bisa sekolah. Mereka harus masuk ke sekolah terdekat dengan rumahnya,” kata Risma saat pelatihan disabilitas di Jakarta, Selasa (25/6/2024).