Memberi dan menerima adalah baik dalam konteks budaya, tetapi tidak dalam konteks pelayanan publik seperti PPDB.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
Karut-marut penerimaan peserta didik baru atau PPDB yang berulang setiap menjelang tahun ajaran baru, salah satunya, disebabkan oleh integritas sebagian masyarakat Indonesia yang rendah. Selain karena mutu pendidikan yang belum merata, tindakan koruptif, seperti gratifikasi, demi mendapatkan sekolah pilihan masih dianggap lumrah.
Guru Besar Emeritus Universitas Gadjah Mada Mohtar Mas’oed dalam bukunya, Politik, Birokrasi dan Pembangunan (1999), menyebutkan, budaya di Indonesia turut mendorong timbulnya praktik korupsi. Budaya memberi hadiah ataupun oleh-oleh kepada pejabat pemerintahan sudah dianggap normal.
Selain itu, orang Indonesia lebih mementingkan ikatan keluarga. Menolak kehadiran saudara atau rekan yang meminta perlakuan khusus akan sulit dilakukan. Jika ditolak, hal itu akan diartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban tradisi.
Semua pihak yang terlibat dalam PPDB tidak boleh menggunakan wewenang atau jabatan mereka untuk kepentingan pribadi.
Hal ini tecermin dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) Sektor Pendidikan Tahun 2023 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasil survei menunjukkan bahwa 38,77 persen sekolah masih menerima siswa titipan pejabat sekolah dan pejabat pemerintah pusat atau daerah. Bahkan, lebih dari 44,86 persen sekolah melakukan praktik pungutan liar saat PPDB serta saat mengangkat atau menempatkan guru dan pimpinan satuan pendidikan.
Modusnya beragam, mulai dari menjual kursi sekolah yang masih dianggap favorit, memberikan promosi jabatan atau imbalan bagi oknum guru atau kepala sekolah yang dititipi anak oleh wali murid, hingga memuluskan penggantian identitas kependudukan untuk mengakali jalur zonasi.
”Secara konteks, budaya (memberi dan menerima) itu sudah lumrah di Indonesia. Kemudian yang menjadi masalah adalah ketika budaya ini ditunggangi dengan kepentingan tertentu,” kata analis pemberantasan tindak pidana korupsi Direktorat Gratifikasi KPK, Henny Kusumaningrum, dalam siniar Bincang di KPK, Selasa (25/6/2024).
Irrene Vara Lovani dari Direktorat Jejaring Pendidikan KPK menambahkan, pihaknya terus menggalakkan pendidikan antikorupsi sedari dini kepada anak-anak, baik di dalam keluarga maupun di sekolah. Ekosistem pendidikan yang berintegritas harus dibangun agar anak-anak tidak lagi melihat, lalu terbiasa dengan praktik korupsi.
Hingga akhir 2023, ada 433 dari 546 provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang telah menerbitkan peraturan setingkat kepala daerah tentang implementasi pendidikan antikorupsi. Setiap sekolah di daerah-daerah ini akan didampingi KPK untuk pendidikan antikorupsi dalam rentang waktu tiga bulan, mulai dari Agustus sampai Oktober 2024.
Selain itu, KPK telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi dalam PPDB. Isinya menegaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam PPDB, baik ASN atau non-ASN, para pendidik, tenaga pendidik, maupun unit pelaksana teknis pendidikan, tidak boleh menggunakan wewenang atau jabatan mereka untuk kepentingan pribadi.
”Jadi, tidak hanya muridnya yang diberi edukasi tentang integritas, tetapi juga pemangku kepentingannya, seperti orangtua, dinas, sekolah, dan sebagainya, demi membangun ekosistem yang bagus. Jadi, memang tantangan banyak banget di dunia pendidikan ini,” tutur Irrene.
Pendidikan jadi komoditas
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Education, Regulations, and Development Analysis (Cerdas) Indra Charismiadji menilai, selain karena integritas yang rendah, arah kebijakan pendidikan Indonesia juga keliru. Pendidikan dipandang sebagai komoditas sehingga biayanya yang mahal harus ditanggung sepenuhnya oleh rakyat.
Padahal, pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting dalam membangun peradaban manusia. Kemajuan suatu negara sangat dipengaruhi oleh seberapa maju pendidikan di negara tersebut. Dalam konstitusi, hak pendidikan layak bagi rakyat Indonesia dilindungi sebagai bagian dari hak asasi manusia sesuai dengan Pasal 31 UUD 1945.
”Pendidikan kita dikelola seperti bisnis. Hanya di Indonesia, pendidikan dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jadi, memang cara berpikirnya pendidikan sebagai komoditas dagang, bukan sebagai hak asasi,” kata Indra.
Pemerintah perlu memperbanyak pembangunan sekolah, termasuk mencetak tenaga kependidikan yang berkualitas, agar keterbatasan daya tampung murid bisa diatasi. Dengan pemerataan pendidikan, polemik PPDB diharapkan bisa berkurang.
Esther Duflo, peraih Hadiah Nobel bidang ekonomi yang meneliti kebijakan pembangunan SD inpres era Presiden Soeharto, pun menyimpulkan bahwa akses pendidikan untuk semua dan dibiayai 100 persen oleh negara akan berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi serta peningkatan pendapatan masyarakat dan negara.