Solstis Juni Tiba, Belahan Bumi Utara Masuk Musim Panas
Solstis Juni 2024 jatuh pada Jumat, 21 Juni pukul 03.51 WIB. Ini jadi tanda datangnya musim panas di belahan Bumi utara.
Solstis Juni 2024 terjadi pada Kamis(20/6/2024) pukul 20.51 waktu universal atau Jumat (21/6/2024) pukul 03.51 WIB. Dalam astronomi, ini menjadi petunjuk datangnya musim panas di belahan Bumi utara dan musim dingin di belahan Bumi selatan. Di Indonesia, peristiwa ini menjadi penanda maju-mundurnya waktu shalat lima waktu. Solstis atau solstice berasal dari bahasa Latin sol yang berarti matahari dan sistere yang bermakna diam atau berhenti. Sebutan ini diberikan karena saat solstis Juni, posisi Matahari terbit dan terbenam akan mencapai titik paling jauh di utara. Karena mencapai titik terjauhnya, Matahari akan terlihat diam untuk sementara sebelum bergerak kembali menuju selatan dalam beberapa hari ke depan.
Sejatinya, Matahari tetap terbit di timur dan terbenam di barat. Namun, Bumi mengelilingi Matahari dalam posisi miring 23,5 derajat sesuai kemiringan sumbu rotasi Bumi. Konsekuensinya, Matahari akan terlihat dari Bumi seolah-olah bergerak bolak-balik dari utara ke selatan sehingga posisi terbit dan terbenamnya Matahari tidak selalu tepat di arah timur.
Saat mencapai titik terjauhnya hari ini, Matahari akan terbit di 23,5 derajat sebelah utara arah timur. Kondisi ini adalah normal dan wajar sehingga tidak perlu ada kehebohan di media sosial seperti yang terjadi pada 2021 saat seorang guru di Sulawesi Selatan mengunggah video ketakjubannya karenamatahari terbit di utara.
Setiap tahun, solstis Juni akan terjadi antara 20 Juni dan 22 Juni, bergantung pada zona waktu masing-masing wilayah. Titik balik musim panas di belahan Bumi utara paling sering terjadi pada 21 Juni. Adapun solstis Juni pada 22 Juni relatif jarang terjadi, terakhir kali terjadi pada 1975 dan baru akan terjadi lagi pada 2203.
Namun, solstis Juni yang menandai datangnya musim panas untuk belahan bumi utara kali ini berlangsung istimewa. Seperti dikutip dari livescience.com, solstis Juni kali ini, yang berlangsung pada 20 Juni 2024 pukul 20.51 waktu universal, merupakan solstis Juni paling awal dalam 228 tahun terakhir.
Solstis Juni yang lebih awal terakhir kali terjadi pada tahun 1796 atau saat Vereenigde Oost-Indische Compagnie(VOC) yang menguasai ekonomi dan politik Nusantara bangkrut dan diambil alih Pemerintah Belanda. Saat itu solstis Juni, seperti dikutip dari earthsky.org, terjadi pada 20 Juni 1796 pukul 17.45 waktu universal.
Solstis Juni yang lebih awal lagi baru akan terjadi 72 tahun ke depan atau pada 20 Juni 2096 pukul 06.32 waktu universal. Saat itu, usia kemerdekaan Indonesia akan mencapai 151 tahun.
Baca juga: Solstis 21 Desember dan Potensi Bencana yang Menyertainya
Siang terlama
Bagi masyarakat di belahan Bumi utara, seperti dikutip dari space.com, solstis Juni juga disebut summer solstice alias titik balik musim panas. Datangnya solstis Juni menjadi tanda datangnya musim panas secara astronomi yang akan berlangsung hingga tiga bulan ke depan. Namun, secara meteorologi, musim panas sudah tiba sejak 1 Juni karena dihitung dari kenaikan rata-rata temperatur yang terjadi, bukan karena berpatokan pada peristiwa astronomi.
Saat solstis Juni, maka posisi Matahari di belahan Bumi utara akan mengalami posisi tertinggi sepanjang tahun. Akibatnya, Bumi utara akan menikmati waktu siang terpanjang dan waktu malam terpendek selama setahun. Bahkan, di sekitar kutub utara, di wilayah lingkaran Arktik, Matahari tidak akan tenggelam alias tidak akan mengalami malam.
Sebagai gambaran, seperti dikutip dari data timeanddate.com, waktu siang Jumat (21/6/2024) di Tromsø, Norwegia, yang terletak di lingkaran Akrtik, akan berlangsung selama 24 jam atau siang penuh. Adapun waktu siang di New York, Amerika Serikat, selama 15 jam 5 menit 36 detik dan di Banda Aceh, Indonesia, selama 12 jam 26 menit 42 detik.
Solstis Juni adalah puncak dari panjang waktu siang dan pendeknya waktu malam di belahan Bumi utara. Setelah mencapai titik terjauhnya di utara ini, Matahari akan kembali bergerak ke selatan.
Situasi itu membuat solstis Juni selalu disambut dengan kegembiraan di belahan Bumi utara. Karena sinar Matahari jatuh langsung ke belahan Bumi utara, maka solstis Juni menjadi tanda hadirnya suhu udara yang lebih panas dibanding musim semi yang hangat. Ini adalah waktu terbaik untuk bercocok tanam, saat hewan ternak bisa digembalakan di padang, hingga waktu yang tepat bagi manusia untuk melakukan berbagai aktivitas luar ruang.
Karena itu, banyak festival, karnaval, pesta, dan berbagai acara digelar menyambut solstis Juni. Sejak 2.800 tahun lalu, masyarakat berkumpul di sekitar monumen batu Stonehenge di Wiltshire, Inggris, merayakan datangnya musim panas. Masyarakat St Petersburg menikmati momen ini dengan perayaan Malam Putih atau White Night karena letaknya yang berada dekat lingkaran Arktik membuat malam selama solstis Juni di sana tidak akan benar-benar gelap, hanya terlihat senja hingga dini hari.
Di Jepang, awal datangnya musim panas ini disebut Geshi dan dirayakan dengan pendirian cincin besar dari jerami di depan kuil. Masyarakat akan melewati jerami itu sambil berdoa untuk penyucian dan perlindungan dari penyakit dan musibah. Adapun penduduk Nome, Alaska, AS, merayakannya dengan terjun ke Laut Bering untuk berenang seperti beruang kutub dan menyelenggarakan berbagai atraksi seni selama festival Matahari tengah malam atau midnight sun.
Solstis Juni adalah puncak dari panjang waktu siang dan pendeknya waktu malam di belahan Bumi utara. Setelah mencapai titik terjauhnya di utara ini, Matahari akan kembali bergerak ke selatan. Akibatnya, secara perlahan waktu siang akan memendek dan waktu malam kembali memanjang.
Meski demikian, suhu akan tetap tinggi karena radiasi panas Matahari masih disimpan lebih lama di wilayah daratan. Suhu akan tetap panas setidaknya sampai musim gugur datang September nanti.
Meski demikian, datangnya musim panas juga meningkatkan kewaspadaan datangnya gelombang panas, khususnya di wilayah dan lintang menengah. Gelombang panas membuat suhu di negara empat musim bisa mencapai lebih dari 40 derajat celsius yang bisa terjadi pada bulan Juli atau Agustus yang menjadi puncak musim panas.
Namun, suhu panas ekstrem itu sudah dialami sejumlah wilayah subtropis, seperti yang terjadi di India pada akhir Mei 2024 atau dialami jemaah haji di Arab Saudi pada Minggu (16/6/2024). Di kedua negara itu, suhu di sebagian wilayah bisa lebih dari 50 derajat celsius.
Belahan Bumi selatan
Jika solstis Juni identik dengan datangnya kebahagiaan karena suhu yang hangat dan Matahari yang bersinar cukup lama, maka peristiwa ini justru menjadi momen sebaliknya di belahan Bumi selatan. Jika solstis Juni identik dengan datangnya musim panas di belahan Bumi utara, maka di belahan Bumi selatan justru menjadi tanda datangnya musim dingin. Karena itu, jika solstis Juni disebut summer solstice di belahan Bumi utara, maka momen yang sama disebut winter solstice di belahan Bumi selatan.
Solstis Juni juga menjadi penanda waktu malam terpanjang dan waktu siang terpendek dalam satu tahun di belahan Bumi selatan. Pada Jumat (21/6/2024), waktu siang di Melbourne, Australia, hanya 9 jam 32 menit 27 detik; Sao Paulo, Brasil, 10 jam 40 menit 57 detik; dan di Jakarta, Indonesia, selama 11 jam 45 menit 57 detik.
Sama seperti di belahan Bumi utara, datangnya musim dingin di belahan Bumi selatan ini juga jarang dirayakan karena, setidaknya selama tiga bulan ke depan, suhu udara akan menjadi sangat dingin. Bahkan, di sebagian wilayah juga akan mengalami hujan salju. Udara dingin dan terbatasnya waktu terlihatnya Matahari sering diidentikkan dengan meningkatnya kecemasan dan depresi karena pergantian musim ini bisa sangat memengaruhi kesehatan mental masyarakat.
Meski Jakarta berada di belahan Bumi selatan dan Banda Aceh di belahan Bumi utara, mereka tidak akan mengalami perubahan suhu serta pergantian waktu siang dan malam yang besar. Karena posisi Indonesia berada di sekitar khatulistiwa, maka Indonesia tidak mengalami perubahan musim yang ekstrem seperti di negara empat musim.
Perubahan waktu siang dan malam yang dirasakan di Indonesia hanya dalam kisaran menit. Meski tidak besar, perubahan waktu siang dan malam ini tetap bisa dirasakan masyarakat karena akan memengaruhi waktu shalat lima waktu, khususnya Subuh yang menjadi tanda datangnya fajar dan Maghrib yang menandakan terbenamnya Matahari.
Dikutip dari data Kementerian Agama, pada Jumat (21/6/2024), waktu Subuh di Jakarta pukul 04.40 WIB dan waktu Maghrib pukul 17.51 WIB. Karena Jakarta berada di belahan Bumi selatan, maka selama solstis Juni, waktu malamnya akan lebih panjang sehingga subuh datang lebih siang dan Maghrib terjadi lebih malam.
Setelah solstis Juni, waktu siangnya akan berganti memanjang hingga datangnya musim panas di belahan Bumi selatan pada Desember nanti. Saat itu, waktu Subuh dan Maghrib di Jakarta pada 21 Desember 2024 akan berubah menjadi pukul 04.13 WIB dan pukul 18.09 WIB. Panjang waktu siang kala itu dari terbit hingga terbenamnya Matahari adalah 12 jam 28 menit 58 detik.
Banda Aceh yang berada di belahan Bumi utara, waktu Subuh dan Maghrib pada Jumat (21/6/2024) adalah pukul 05.05 WIB dan pukul 18.57 WIB. Saat ini mereka sedang mengalami waktu siang yang lebih panjang dibanding waktu malamnya. Pada 21 Desember 2024, saat Matahari berada di titik balik selatan dan puncak musim dingin di belahan Bumi utara, maka waktu Subuh dan Maghribnya menjadi pukul 05.22 WIB dan pukul 18.34 WIB. Ketika itu, panjang waktu siang di Banda Aceh 11 jam 48 menit 12 detik alias waktu siang lebih pendek dibanding waktu malamnya.
Meski solstis Juni tidak memberi dampak besar dalam pergantian musim di Indonesia, solstis Juni bisa dijadikan tanda akan datangnya puncak musim kemarau khususnya wilayah Indonesia yang ada di selatan khatulistiwa. Dalam kondisi normal, sebelum ada perubahan iklim, puncak musim kemarau biasanya terjadi pada Juli-Agustus.
Saat solstis Desember, ketika Matahari di titik balik selatan, umumnya menjadi tanda datangnya puncak musim hujan. Puncak musim hujan wilayah Indonesia yang ada di selatan garis ekuator umumnya akan berlangsung sejak akhir Desember hingga awal Februari.
Baca juga: Semua Daerah di Indonesia Bisa Menikmati Hari Tanpa Bayangan
Namun, pemanasan global telah mengubah keteraturan musim tersebut dan meningkatkan potensi cuaca ekstrem di sejumlah wilayah, baik suhu panas ekstrem, hujan ekstrem, maupun badai salju ekstrem. Kondisi ekstrem itu memicu terjadinya sejumlah bencana alam yang tak hanya merenggut harta, tetapi juga nyawa.
Karena itu, pengendalian pemanasan global penting tidak hanya untuk menghindarkan manusia dari risiko bencana, tetapi juga menjaga keteraturan hidup manusia, termasuk keteraturan datangnya musim sebagai konsekuensi dari keajekan peristiwa astronomi.