Banyaknya Korban Jiwa karena Paparan Panas dan Masa Depan Ibadah Haji
Banyaknya korban jiwa menjadi alarm tentang masa depan ibadah haji ke depan mengingat suhu global bakal terus memanas.
Lebih dari 1.000 orang meninggal dunia pada ibadah haji tahun ini di tengah cuaca panas ekstrem di Arab Saudi, dan ratusan orang di antaranya merupakan warga negara Indonesia. Banyaknya korban jiwa ini menjadi alarm tentang masa depan ibadah haji ini mengingat suhu global bakal terus memanas.
Ibadah haji merupakan ritual tahunan yang telah berlangsung sejak ratusan tahun. Ritual ini disyariatkan kepada umat Islam sejak sekitar tahun ke-6 Hijriah atau 628 Masehi, dan terlaksana setelah peristiwa pembebasan kota Mekkah pada 8 H/630 M. Sejak itu, umat Islam dari seluruh dunia berkumpul di Mekkah dan Madinah setiap tahunnya di bulan Zulhijah, yang tahun ini berlangsung selama bulan Mei-Juni 2024.
Menurut otoritas haji Arab Saudi, lebih dari 1,83 juta pemeluk Islam menunaikan ibadah haji pada tahun 2024, termasuk lebih dari 1,6 juta anggota jemaah dari 22 negara, dan sekitar 222.000 warga negara dan penduduk Saudi. Jutaan orang, yang sebagian berusia lanjut usia tersebut, mesti menghadapi suhu permukaan yang sangat terik.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebutkan, suhu bumi selama setahun terakhir telah memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan, terutama karena ulah manusia yang telah meningkatkan emisi dengan membakar batubara, minyak, dan gas alam. Suhu global rata-rata pada tahun 2023 mencapai 1,5 derajat celsius lebih hangat dibandingkan suhu pada masa awal industri (1850-1900).
Rekor gelombang panas bumi, yang dimulai pada bulan Juni 2023, terus berlanjut hingga tahun 2024. Mei 2024 menandai 12 suhu global yang memecahkan rekor selama beberapa bulan berturut-turut.
Tanah Arab yang panas bertambah panas tahun ini. Menurut data meteorologi Arab Saudi, di Masjidil Haram di Mekkah, suhu mencapai 51,8 celsius pada hari Senin (17/6/2024) pekan ini.
Sekalipun belum ada penjelasan resmi tentang penyebab kematian tiap korban, paparan panas kemungkinan turut berkontribusi terhadap banyaknya jumlah korban jiwa selama ibadah haji. Laporan AFP pada Kamis (20/6/2024) menyebutkan, jumlah korban jiwa selama pelaksanaan ibadah haji tahun 2024 ini secara total telah melebihi seribu orang.
Laporan real time dari laman Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kemenag RI pada Jumat (20/6/2024), pukul 10.45 WIB, menunjukkan, jumlah jemaah haji Indonesia yang meninggal hingga hari ke-40 mencapai 200 orang. Jumlah korban ini lebih sedikit dibandingkan periode yang sama tahun 2023, yang mencapai 343 orang, tetapi lebih tinggi dibandingkan tahun 2022 sebanyak 50 orang, 2021 sebanyak 188 orang, dan 2020 sebanyak 177 orang.
Baca juga: Jemaah Haji Hadapi Cuaca Panas Ekstrem
Dampak panas ekstrem
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menghitung bahwa panas membunuh setidaknya setengah juta orang setiap tahun meski angka sebenarnya bisa mencapai 30 kali lebih tinggi. Ilmuwan menjelaskan bagaimana panas ekstrem merusak tubuh dan bagaimana aktivitas fisik di luar ruangan meningkatkan risiko tersebut.
Dalam kondisi normal, tubuh mengatur suhunya sendiri seperti termostat, menjaganya tetap stabil pada suhu sekitar 36,8 derajat celsius. Saat panas di luar meningkat, tubuh mendinginkan dirinya dengan meningkatkan aliran darah ke pembuluh darah di dekat kulit.
”Fenomena ini disebut thermoregulatory. Hal ini dilakukan dengan keluarnya keringat yang mengeluarkan panas ke permukaan dan sekaligus mendinginkan bagian luar tubuh. Namun, dalam kondisi kelembaban udara tinggi, keringat akan sulit keluar karena udara luar sudah mengandung banyak uap air,” kata ahli iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto.
Semakin buruk kondisi cuacanya, akan semakin besar kemungkinan terjadinya insiden seperti itu.
Lily Hospers dan Jem Cheng, peneliti dari Faculty of Medicine and Health University of Sydney, dalam artikelnya di The Conversation pada 12 Juni 2024 menyebutkan, secara alami, tubuh akan berupaya mengeluarkan panas ke lingkungan sekitar dengan cara memompa darah hangat ke permukaan kulit. Namun, apabila suhu udara lebih tinggi daripada suhu kulit, sekitar 35 derajat celsius, cara ini menjadi tidak efektif. Sebaliknya, tubuh mulai memperoleh panas dari lingkungannya.
Suhu panas, paparan sinar matahari, kelembaban, dan aktivitas fisik semuanya dapat memberikan tantangan bagi tubuh manusia. Jika faktor-faktor ini digabungkan, dan suhu tubuh di atas 40 derajat celsius, hal ini bisa menjadi resep heat stroke, yaitu serangan panas yang memicu gagalnya sistem organ tubuh, termasuk disfungsi sistem saraf.
Disfungsi sistem saraf ini dapat muncul dalam bentuk kebingungan atau disorientasi, dan dapat menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran. Heat stroke merupakan keadaan darurat medis, di mana disfungsi sistem saraf pusat dan kegagalan organ pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Bayi, orang lanjut usia, orang dengan masalah kesehatan, dan pekerja di luar ruangan merupakan kelompok yang paling berisiko terkena penyakit ini. Jumlah kelenjar keringat di tubuh berkurang seiring bertambahnya usia sehingga kemampuan tubuh untuk mendinginkan diri menjadi berkurang.
Bakal lebih berisiko
Sejauh ini, jumlah korban terbanyak selama ibadah haji terjadi saat tragedi di Mina pada tahun 2015 ketika banyak anggota jemaah terinjak-injak. Lebih dari 2.400 anggota jemaah menjadi korban saat itu. Sebelumnya, kecelakaan derek(crane) terpisah di Masjidil Haram Mekkah, yang terjadi sebelum bencana Mina, juga menewaskan 111 orang.
Di luar insiden ini, perubahan iklim yang menyebabkan suhu global semakin panas dapat membuat risiko ibadah haji bakal menjadi lebih besar, terutama jika pelaksanaannya bertepatan dengan musim panas di Arab Saudi. Ibadah haji ini mengikuti kalender lunar sehingga haji jatuh sekitar 11 hari lebih awal setiap tahunnya.
Studi oleh ahli di Massachusetts Institute of Technology (MIT) di jurnal Geophysical Review Letters (2019) menemukan bahwa risiko paparan panas yang dialami jemaah haji akan terus meningkat seiring dengan pemanasan global.
Dalam laporan ini, ahli teknik sipil dan lingkungan MIT, Elfatih Eltahir, dan dua orang lainnya menunjukkan risiko yang serius bagi peserta haji, terutama terjadi pada bulan-bulan musim panas terpanas, yaitu dari tahun 2047 hingga 2052 dan dari tahun 2079 hingga 2086. Hal ini akan terjadi bahkan jika langkah-langkah substansial diambil untuk membatasi dampak perubahan iklim, dan tanpa hal-hal tersebut, dampak bahayanya akan lebih besar.
Waktu pelaksanaan haji bervariasi dari satu tahun ke tahun berikutnya, jelas Eltahir, karena didasarkan pada kalender lunar dan bukan kalender matahari. Setiap tahun haji terjadi sekitar 11 hari lebih awal, jadi hanya ada rentang tahun tertentu yang berlangsung pada bulan-bulan musim panas terpanas.
”Itu adalah saat-saat yang bisa berbahaya bagi peserta,” tulis Eltahir. Saat musim panas tiba di Arab Saudi, kondisinya menjadi sangat buruk, dan sebagian besar aktivitas ini dilakukan di luar ruangan.
Menurut kajian Eltahir dan tim, peristiwa terinjak-injak yang mematikan selama ibadah haji dalam beberapa dekade terakhir, yaitu pada tahun 1990 yang menewaskan ribuan orang, dan satu lagi pada tahun 2015 yang menyebabkan ratusan orang meninggal, bertepatan dengan puncak gabungan suhu dan kelembaban di wilayah tersebut.
Hal itu diukur dengan ”suhu bola basah” dan tekanan suhu tinggi mungkin berkontribusi terhadap peristiwa mematikan tersebut. ”Jika ada kerumunan orang di suatu lokasi,” kata Eltahir. Karena itulah, semakin buruk kondisi cuacanya, akan semakin besar kemungkinan terjadinya insiden seperti itu.
Baca juga: Sejumlah Negara Laporkan Jemaah Haji Meninggal akibat Cuaca Panas Ekstrem
Simulasi iklim yang dilakukan Eltahir dan rekan-rekan penyelidiknya menggunakan skenario ”bisnis seperti biasa”, dan skenario yang mencakup tindakan pencegahan signifikan terhadap perubahan iklim menunjukkan bahwa kemungkinan melampaui ambang batas iklim yang aman untuk jangka waktu yang lama akan terus meningkat selama abad ini. Dengan terus meningkatnya risiko, ibadah haji ke depan bakal semakin berisiko, terutama jika bertepatan dengan puncak musim panas di Arab Saudi.