Laskar rempah akan menjelajahi Kota Dumai dan Siak sebagai tempat strategis perdagangan dalam jalur rempah Nusantara.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
DUMAI, KOMPAS — Setelah empat hari menempuh 588 mil laut dari Belitung Timur, kapal layar KRI Dewaruci yang membawa para anggota laskar rempah akhirnya bersandar di Pelabuhan Pelindo, Kota Dumai, Riau, Minggu (16/6/2024) pagi. Mereka akan menapaki sejarah jalur perdagangan rempah di Dumai dan Kabupaten Siak.
Sabtu malam, kapal sempat menurunkan jangkar di laut Dumai untuk menunggu waktu bersandar. Selama itu, para anggota laskar rempah, ahli, dan media serta para perwira dan taruna KRI Dewaruci berkumpul bersama di geladak kapal dan bernyanyi bersama merayakan malam perpisahan.
Para anggota laskar rempah menangis bersama karena ini malam terakhir mereka bersama KRI Dewaruci sebelum digantikan dengan kelompok laskar rempah kedua yang akan berlayar dari Dumai-Sabang-Malaka-Tanjung Uban pada 18 Juni sampai 7 Juli. Lalu dilanjutkan kelompok ketiga dari Tanjung Uban-Lampung-Jakarta pada 7-17 Juli.
”Perjalanan tujuh hari di laut bersama KRI Dewaruci dari Jakarta-Belitung Timur-Dumai ini tidak akan pernah kami lupakan dalam hidup. Doakan kami terus memperjuangkan jalur rempah sebagai warisan budaya dunia,” kata Muhammad Jufri Rumadaul, anggota laskar rempah dari Merauke, Papua Selatan.
Kedatangan KRI Dewaruci, kapal jenis barquentine nan legendaris, ini disambut dengan meriah oleh masyarakat Dumai. Tarian selamat datang pun dipersembahkan. Anak-anak muda laskar rempah lalu ikut bersama taruna menaiki tiang layar Bima, Arjuna, dan Yudhistira berparade saat proses sandar.
Saat bersandar, kapal cagar budaya ini akan dibuka untuk umum agar masyarakat bisa mengenal lebih dekat sejarah kapal yang sudah mengelilingi dunia itu. KRI Dewaruci dibuat di Jerman, dibeli Indonesia pada 1952 dan tiba di Tanah Air pada 1953.
”Kapal akan kami buka untuk umum. Silakan masyarakat melihat kapal legendaris kita ini,” kata Komandan KRI Dewaruci Letkol Laut (P) Rhony Lutviadhani.
Sesampainya di darat, rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) 2024 ini diajak mengikut Festival Multikultur di Taman Bukit Gelanggang. Malam harinya, mereka akan berdiskusi bersama Wali Kota Dumai Paisal.
”Ini kebanggaan buat kami dikunjungi Dewaruci dan MBJR. Di sini ada 17 suku. Selain Melayu Dumai, ada juga Bengkalis, Siak, dan lain-lain. Setiap suku berbeda-beda. Kami ingin budaya ini terus dilestarikan agar tidak hilang ditelan bumi,” kata Paisal.
Perjalanan tujuh hari di laut bersama KRI Dewaruci dari Jakarta-Belitung Timur-Dumai ini tidak akan pernah kami lupakan dalam hidup.
Perjalanan mereka tak berhenti di Dumai. Malam harinya mereka langsung melanjutkan perjalanan darat ke kota Siak Sri Inderapura di Kabupaten Siak. Keesokan harinya, mereka akan menunaikan ibadah shalat Idul Adha di Lapangan Siak.
Kemudian, penjelajahan berlanjut ke beberapa obyek cagar budaya Siak, seperti Tangsi Belanda, Kelenteng Hock Siu Kiong, Makam Koto Tinggi beserta Gudang Mesiu, Kompleks Istana Siak, Makam Sultan, dan Balai Kerapatan Tinggi. Rangkaian kegiatan tersebut ditutup dengan Gelar Budaya Melayu Sampena Jalur Rempah.
Riau dan rempah
Provinsi Riau memiliki sejarah dengan Kerajaan Siak (1723-1945) yang berdaulat dan memiliki wilayah kekuasaan yang membentang di bagian timur Pulau Sumatera dari pedalaman hingga pesisir. Kerajaan ini didiami oleh penduduk dari berbagai suku bangsa, yaitu Melayu, Sakai, Akit, Orang Utan atau Rawa, Minangkabau, Jawa, Tionghoa, Batak, Bugis, orang-orang Arab, Siam, dan India.
Sungai Siak atau Sungai Jantan menjadi jalur niaga terpenting pada masa lampau dengan kekayaan hasil alam sebagai komoditas berharga, seperti gaharu, batu geliga, dan kapur barus. Dalam wacana besar Jalur Rempah, keberadaan sungai ini sering diabaikan karena orang cenderung melihat Selat Malaka sebagai jalur yang seolah berdiri tunggal.
Padahal, sungai ini merupakan jalur penting karena Johor, Belanda, dan Pagaruyung saling berebut peran dan pengaruh karena kekayaan alamnya berikut aktivitas niaga yang tumbuh di sepanjang tepiannya. Ini didukung dengan kedalaman dan lebar sungai yang ideal sebagai jalur perdagangan utama pada abad-abad lampau di kawasan Sumatera timur.
Menuju UNESCO
Muhibah Budaya Jalur Rempah merupakan program dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan TNI AL. Tahun ini, pelayaran dilakukan selama 39 hari mulai dari 7 Juni sampai 17 Juli 2024 dengan total jarak 3.105 kilometer.
Adapun tujuh titik yang dituju adalah Jakarta, Belitung Timur, Dumai, Sabang, Malaka, Tanjung Uban, dan Lampung. Sebanyak 75 anggota laskar rempah yang dibagi menjadi tiga kelompok dalam pelayaran ini diseleksi dari masyarakat umum bersama peserta lainnya, yakni peneliti, pewarta, serta pegiat film dan foto. Mereka dipilih untuk turut melihat titik-titik sejarah jalur perdagangan dan budaya rempah.
Program ini telah digelar sejak 2020 sebagai bagian dari program prioritas nasional pemerintah. Bersama KRI Dewaruci, MBJR telah melintasi jalur rempah di Surabaya, Makassar, Baubau dan Buton, Ternate dan Tidore, Banda Naira, Kupang, dan kembali ke Surabaya pada 2020, serta jalur rempah di Surabaya dan Kepulauan Selayar pada 2023.
Direktur Pelindungan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Judi Wahjudin menjelaskan, pelayaran muhibah yang panjang ini adalah upaya Indonesia untuk mengajukan jalur rempah sebagai warisan budaya dunia kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang ditargetkan bisa didapatkan pada 2024.
”Catatan perjalanan mereka akan masuk dalam dokumen yang sebentar lagi selesai dan bisa kita ajukan ke UNESCO,” kata Judi.