Mandi khatulistiwa membersihkan diri, baik fisik maupun jiwa, serta memantapkan diri untuk siap menjaga lautan Nusantara.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
Saat matahari pada hari kedua pelayaran KRI Dewaruci dari Belitung Timur menuju Dumai belum terbit, tiba-tiba suara tawa menyeramkan terdengar keras membangunkan laskar rempah dari tidurnya. Suara misterius itu memerintahkan semua untuk segera berjalan ke geladak kapal.
Laskar rempah yang masih dalam kondisi setengah sadar dipaksa berjalan jongkok, dibentak, dan disuruh duduk berbaris oleh para perwira dan taruna di geladak. Setelah itu, mereka disiram air laut yang dipompa dari kapal.
Sembari disiram, mereka diminta merenungkan perjalanan hidup masing-masing tentang perjuangan orangtua membesarkan anak hingga pengalaman hidup yang menguatkan. Beberapa dari laskar menangis, beberapa mengusap mata karena pedihnya air laut.
Angin yang bertiup kencang membuat badan mengigil. Lagu-lagu nasionalis dari ”Garuda Pancasila” hingga ”Indonesia Pusaka”, dengan entakan ala militer sebagai penyemangat pun, dinyanyikan.
Kemudian, suara misterius itu muncul kembali. Dia memanggil Komandan KRI Dewaruci Letnan Kolonel Laut (P) Rhony Lutviadhani untuk menghadap ke anjungan. Dia adalah ”Dewa Neptunus” yang ceritanya muncul dari dasar laut di bawah garis khatulistiwa lengkap dengan kostum dan garpu trisula.
Subuh itu, Jumat (15/6/2024) pukul 05.00 WIB, KRI Dewaruci yang membawa 29 anggota laskar rempah tepat melewati titik nol derajat lintang di Selat Malaka dekat Tembilahan, Riau. Tradisi mandi khatulistiwa wajib dilakukan.
”Kami membawa anak-anak muda, para laskar rempah. izinkan kami melewati khatulistiwa dan sucikanlah mereka dari segala kotoran,” pinta Rhony kepada Dewa Neptunus.
Permintaan dipenuhi. Satu per satu nama penumpang KRI Dewaruci dipanggil dengan nama-nama rasi bintang. Mereka lalu diguyur dengan air kembang tujuh rupa sebagai tanda pembaptisan, mencium kaki Dewa Neptunus, dan terakhir meminum air ramuan jamu.
Rhony menjelaskan, mandi khatulistiwa adalah tradisi sejak 1953 di KRI Dewaruci dan KRI Bima Suci yang merupakan induk kapal perang TNI AL. Tradisi ini dilakukan saat para taruna pertama kali berlayar melewati garis khatulistiwa. Jam berapa pun kapan melalui nol derajat lintang, acara ini tetap wajib dilakukan.
Kapal akan berputar-putar di garis khatulistiwa dan perlakuan kepada para taruna akan lebih tegas. Mereka akan diminta merayap atau jalan jongkok berkeliling kapal sebelum ke geladak. Seusai disiram air laut yang kadang-kadang dicampur air sisa makanan, para taruna menunggu ”Dewa Neptunus” keluar.
”Karena teman-teman ini sipil, jadi kami buat lebih santai saja sebagai pengalaman. Nanti kalau mereka berlayar melewati khatulistiwa, tidak perlu mandi lagi, cukup tunjukkan sertifikatnya,” kata Rhony.
Air tidak hanya menjadi medium untuk membersihkan diri, baik fisik maupun jiwa. Air juga menjadi stimulus membangunkan tubuh dan pikiran. Dengan demikian, ide-ide dan komitmen yang disampaikan selama mandi khatulistiwa bisa terinternalisasi di setiap pribadi taruna untuk siap menjaga lautan Nusantara.
Laskar rempah yang masih dalam kondisi setengah sadar dipaksa berjalan jongkok, dibentak, dan disuruh duduk berbaris oleh para perwira dan taruna di geladak. Setelah itu, mereka disiram air laut yang dipompa dari kapal.
Diki Bayu Aji (27), guru SMP 154 Jakarta Selatan yang menjadi anggota laskar rempah, sangat bangga ikut dalam acara mandi khatulistiwa. Baginya, mandi khatulistiwa adalah pengalaman yang sangat berharga dan berkesan dalam hidupnya.
”Saya merasa sudah melampaui batas Indonesia. Artinya, langkah saya sudah cukup jauh mengenal Indonesia dan makin yakin cinta NKRI,” kata Diki.
Pelayaran laskar rempah bersama kapal layar KRI Dewaruci ini merupakan bagian dari Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR), program dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan TNI AL. Tahun ini, pelayaran dilakukan selama 38 hari, mulai dari 7 Juni sampai 17 Juli 2024.
Adapun tujuh titik yang dituju adalah Jakarta, Belitung Timur, Dumai, Sabang, Malaka, Tanjung Uban, dan Lampung. Sebanyak 75 anggota laskar rempah ini diseleksi dari masyarakat umum bersama peserta lainnya, yakni peneliti, pewarta, serta pegiat film dan foto. Mereka telah dipilih untuk turut melihat titik-titik sejarah jalur perdagangan dan budaya rempah.
Program ini telah digelar sejak 2020 sebagai bagian dari program prioritas nasional pemerintah. Bersama KRI Dewaruci, MBJR telah melintasi jalur rempah di Surabaya, Makassar, Baubau dan Buton, Ternate dan Tidore, Banda Naira, Kupang, dan kembali ke Surabaya pada 2020, serta jalur rempah di Surabaya dan Kepulauan Selayar pada 2023.
Pelayaran muhibah jalur rempah yang panjang ini merupakan upaya Indonesia untuk mengajukan jalur rempah sebagai warisan budaya dunia kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang ditargetkan bisa didapatkan pada 2024.
Saat ini, laskar rempah dan KRI Dewaruci tengah menuju Kota Dumai dan dijadwalkan bersandar di Pelabuhan Umum Pelindo Dumai pada Minggu (16/6/2024) sekitar pukul 09.00 WIB. Setelah itu, mereka diajak mengikut Festival Multikultur di Taman Bukit Gelanggang dan berdiskusi bersama Wali Kota Dumai Paisal.
Perjalanan mereka tak berhenti di Dumai. Malam harinya mereka langsung melanjutkan perjalanan darat ke kota Siak Sri Inderapura di Kabupaten Siak. Keesokan harinya, mereka akan menunaikan ibadah shalat Idul Adha di Lapangan Siak.
Penjelajahan berlanjut ke beberapa obyek cagar budaya Siak, seperti Tangsi Belanda, Kelenteng Hock Siu Kiong, Makam Koto Tinggi beserta Gudang Mesiu, Kompleks Istana Siak, Makam Sultan, dan Balai Kerapatan Tinggi. Gelar Budaya Melayu Sampena Jalur Rempah akan menutup rangkaian kegiatan.