Penurunan Tengkes Rendah, Pemerintah Gelar Evaluasi dan Pemadanan Data
Angka tengkes di Indonesia cenderung stagnan. Capaian penurunan tengkes dievaluasi kembali.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan angka tengkes (stunting) di Indonesia masih mencapai 21,5 persen. Angka tersebut cenderung stagnan dari tahun sebelumnya.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menuturkan, evaluasi capaian penurunan tengkes di Indonesia masih dilakukan. Sebab, penurunan tengkes cenderung rendah.
Dari data SKI 2023, prevalensi tengkes di Indonesia sebesar 21,5 persen. Prevalensi tersebut hanya menurun 0,1 persen dari tahun sebelumnya yang dilaporkan dalam Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022.
”Kita sedang evaluasi dan lakukan penimbangan serentak bulan ini di seluruh Indonesia. Sudah mulai dari dua minggu lalu dan ini bisa menyatukan kenapa ini penurunan stunting-nya sedikit. Apakah karena ada faktor teknis pengukuran atau survei memang menunjukkan penurunannya rendah,” tutur Dante, di sela-sela acara diseminasi hasil SKI 2023, Rabu (12/6/2024), di Jakarta.
Hal tersebut sebelumnya disampaikan pula oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, saat ditemui akhir April 2024 dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2024. Pemadanan data tengkes antara data dalam SKI 2023 dan data Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (E-PPGBM) harus dilakukan. Sebab, ada gap yang cukup signifikan di antara kedua data tersebut dalam capaian penurunan tengkes di daerah.
Intervensi
Dalam pemaparannya, Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Liza Munira menuturkan, terkait dengan intervensi dalam penurunan tengkes, fokus pencegahan dapat dilakukan pada usia 0-5 bulan dan 6-23 bulan. Sebab, dari data SKI 2023 menunjukkan angka tengkes meningkat signifikan pada usia selanjutnya.
Pada 2022, angka tengkes pada anak usia 6-11 bulan tercatat 13,7 persen. Kemudian, dalam survei yang dilakukan satu tahun setelahnya yang dilaporkan dalam SKI 2023 menunjukkan angka tengkes pada anak usia 12-23 bulan meningkat 1,7 kali menjadi 22,7 persen.
”Jadi, di masa MPASI (makanan pendamping ASI) ini (angka tengkes) meningkat tajam sehingga bisa menjadi perhatian kita terhadap pencegahan anak-anak yang berisiko stunting. Stunting ini tidak terjadi tiba-tiba dan biasanya dimulai dari kondisi wasting (kurus) dan underweight (berat badan kurang),” ujar Liza.
Itu patut untuk diperhatikan karena dalam data SKI 2023 juga menunjukkan adanya peningkatan prevalensi wasting. Pada 2023, angka wasting sebesar 8,5 persen, sementara pada 2022 sebesar 7,7 persen.
Liza mengatakan, upaya pencegahan tengkes perlu dimulai pada bayi dan anak balita dengan kondisi kurang dan berat badan kurang. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan sejak dini, bahkan sejak ibu hamil.
Selain itu, kondisi lain yang dapat dipertimbangkan yakni pada bayi dengan kondisi berat badan lahir rendah kurang dari 2.500 gram dan bayi pendek dengan panjang lahir kurang dari 48 sentimeter. Risiko bayi kurus dan berat badan kurang dapat pula dipengaruhi karena kurangnya asupan makanan, terutama tidak mendapatkan ASI eksklusif serta MPASI yang rendah protein.
Cakupan imunisasi yang rendah dapat pula memicu terjadinya bayi kurus dan berat badan kurang. Biasanya, bayi yang kurus dan berat badan kurang mengalami penyakit penyerta, seperti pneumonia dan diare.
”Anak balita yang mengalami wasting dan underweight sangat rentan berlanjut pada kondisi stunting. Jadi, seharusnya cegah sebelum stunting terjadi,” tutur Liza.
Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik (BPS) Ahmad Avenzora mengatakan, evaluasi program percepatan penurunan tengkes dapat didukung dengan pemanfaatan data dari Survei Ekonomi Sosial Nasional (Susenas). Dalam data Susenas terdapat sejumlah data yang mengukur indikator terkait intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif terkait penanganan tengkes.
Dalam intervensi gizi spesifik, indikator yang diukur, antara lain, persentase perempuan pernah kawin (PPK) usia 15-49 tahun yang melahirkan dan proses melahirkannya ditolong oleh tenaga kesehatan. Data lainnya, persentase bayi usia kurang dari enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif, persentase anak usia 6-23 bulan yang mendapatkan MPASI, dan persentase anak usia 12-23 bulan yang menerima imunisasi lengkap.
Selain itu, indikator yang diukur terkait intervensi gizi sensitif, antara lain, persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak, persentase rumah tangga yang memiliki akses layanan sanitasi layak, serta persentase penduduk yang memiliki jaminan kesehatan nasional atau jaminan kesehatan daerah.
”Indikator yang dihasilkan dari Susenas dapat digunakan untuk evaluasi program percepatan penurunan stunting, baik intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik dilakukan untuk menanggulangi faktor penyebab langsung dari stunting, sementara intervensi gizi sensitif untuk menanggulangi faktor penyebab tidak langsung,” tutur Ahmad.