Setelah tiga hari menjelajahi sejarah di Belitung Timur, KRI Dewaruci dan Laskar Rempah akan mengarungi lautan sepanjang 588 mil ke Dumai.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
BELITUNG TIMUR, KOMPAS — Setelah tiga hari menjelajahi Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, para laskar rempah bersama kapal layar KRI Dewaruci melanjutkan muhibah budaya jalur rempah ke Kota Dumai, Provinsi Riau, Rabu (12/6/2024). Pelayaran diperkirakan akan memakan waktu selama empat hari.
Tepat pukul 10.00 WIB, Komandan KRI Dewaruci Letkol Laut (P) Rhony Lutviadhani memerintahkan anak buahnya untuk segera melepas tali tambat dan bertolak meninggalkan dermaga Tanjung Keluang. Cuaca pagi cukup cerah dan angin cukup tenang setelah semalaman dilanda hujan.
Sementara para laskar rempah, ahli, dan media yang berjumlah 48 orang berbaris di geladak kapal melambaikan salam perpisahan kepada warga Belitung Timur. Tak ketinggalan, puluhan perahu tradisional ”kater” ikut melepas KRI Dewaruci. Proses tolak berlangsung sekitar 30 menit hingga memasuki laut lepas menyusuri timur Pulau Sumatera.
Tidak mudah untuk membangkitkan masa kejayaan rempah di Belitung Timur. Masih banyak peninggalan Belitung yang belum tergali dan terkumpul.
”Kita akan berlayar ke Dumai sepanjang 588 mil laut yang akan memakan waktu selama empat hari. Semoga cuaca selalu mendukung,” kata Rhony.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Irini Dewi Wanti mengatakan, Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) adalah upaya Indonesia untuk mengajukan jalur rempah sebagai warisan budaya dunia kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang ditargetkan bisa didapat pada 2024.
”Penelitian dan narasi jalur rempah di Belitung Timur masih harus banyak kita lakukan. Para periset, peneliti, dan akademisi perlu menguatkannya untuk kita mengajukan status Warisan Budaya Dunia ke UNESCO,” kata Irini.
Bupati Belitung Timur Burhanudin mengakui tidak mudah untuk membangkitkan masa kejayaan rempah di Belitung Timur. Masih banyak peninggalan Belitung yang belum tergali dan terkumpul. Upaya pengusulan ke UNESCO ini berkaitan dengan masa depan dan identitas Pulau Belitung.
Burhanudin juga meminta para laskar rempah untuk turut menyebarkan narasi jalur rempah agar masa kejayaan bahari Indonesia bisa terulang. Sebab, generasi merekalah yang akan merasakan manfaatnya di masa depan.
”Dengan demikian, orang tidak hanya mengenal kami karena tambang timah, tetapi juga dengan sejarah dan kebudayaannya,” ujar Burhanudin.
Sepanjang pelayaran, laskar rempah yang memulai perjalanan dari Jakarta pada 7 Juni ini akan kembali mengikuti sejumlah pelajaran dari para ahli dan taruna TNI AL tentang kepelautan dan jalur rempah.
Nantinya, rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah dan KRI Dewaruci akan bersandar di Pelabuhan Umum Pelindo Dumai yang dijadwalkan pada Minggu, 16 Juni, sekitar pukul 09.00 WIB. Setelah itu, mereka diajak mengikuti Festival Multikultur di Taman Bukit Gelanggang dan berdiskusi bersama Wali Kota Dumai Paisal.
Perjalanan mereka tak berhenti di Dumai. Malam harinya mereka langsung melanjutkan perjalanan darat ke Kota Siak Sri Indrapura di Kabupaten Siak, Riau. Keesokan harinya, mereka akan menunaikan ibadah shalat Idul Adha di Lapangan Siak.
Kemudian, penjelajahan berlanjut ke beberapa obyek cagar budaya Siak, seperti Tangsi Belanda, Kelenteng Hock Siu Kiong, Makam Koto Tinggi beserta Gudang Mesiu, Kompleks Istana Siak, Makam Sultan, dan Balai Kerapatan Tinggi. Rangkaian kegiatan akan ditutup dengan Gelar Budaya Melayu Sampena Jalur Rempah.
Riau dan rempah
Provinsi Riau memiliki sejarah Kerajaan Siak (1723-1945) yang berdaulat yang wilayah kekuasaannya membentang di bagian timur Pulau Sumatera dari pedalaman hingga pesisir. Kerajaan ini didiami penduduk dari berbagai suku bangsa, yaitu Melayu, Sakai, Akit, Orang Utan atau Rawa, Minangkabau, Jawa, Tionghoa, Batak, Bugis, orang-orang Arab, Siam, dan India.
Sungai Siak atau Sungai Jantan adalah jalur niaga terpenting pada masa lampau dengan kekayaan hasil alam sebagai komoditas berharga seperti gaharu, batu geliga, dan kapur barus. Dalam wacana besar Jalur Rempah, keberadaan sungai ini sering diabaikan karena orang cenderung melihat Selat Malaka sebagai jalur yang seolah berdiri tunggal.
Padahal, sungai ini merupakan jalur penting karena Johor, Belanda, dan Pagaruyung saling berebut peran dan pengaruh karena kekayaan alamnya berikut aktivitas niaga yang tumbuh di sepanjang tepiannya. Ini didukung dengan kedalaman dan lebar sungai yang ideal sebagai jalur perdagangan utama pada abad-abad lampau di kawasan timur Sumatera.