Jurnalisme di Antara Kecerdasan Buatan dan Hoaks
Sisi lain kecerdasan buatan ialah memicu peningkatan sebaran hoaks. Jurnalisme bisa dijadikan alat untuk memeranginya.
Bagi sebagian pihak, kecerdasan buatan terasa menakutkan. Sisi lain dari teknologi itu dikhawatirkan dapat menambah sebaran hoaks dengan kecanggihan tinggi. Di tengah sengkarut persoalan itu, jurnalisme bisa dijadikan jalan keluarnya.
Februari lalu, seorang Youtuber asal Taiwan, Chen Neng Chuan, dan temannya, Lu Tsu-hsien, mengunggah video yang menggemparkan publik Kamboja. Isi video itu menunjukkan mereka ditangkap dan dipukuli di kota Pelabuhan Sihanoukville, Kamboja.
Selang sehari, istri Chen melaporkan suaminya hilang dan mengumumkannya melalui media sosial. Namun, Chen justru kembali mengunggah video yang mempertontonkan dirinya tengah berlari dari kejaran penculik.
Baca juga: Seruan Bersama dari Kamboja Melawan Hoaks
Ternyata, belakangan diketahui, video itu direkayasa Chen. Ia dan temannya sebenarnya hanya berlari-lari pada satu lokasi. Akibat kabar bohong itu, mereka dikenai hukuman penjara 2 tahun oleh Pemerintah Kamboja.
Secuplik peristiwa itu dipaparkan penasihat senior International Relations Institute of Cambodia, Liao Ran, di sela-sela lokakarya bertajuk ”The 3rd Mekong Journalism Training Workshop on The Role of Media in Combating Disinformation and Fake News in AI Context for Regional Peace, Stability and Prosperity” di Phnom Penh, Kamboja, Rabu (5/6/2024).
”Mereka semacam punya dua tujuan. Yang satu untuk merusak citra Kamboja. Yang satunya lagi membuat orang China tidak ingin mendatangi Kamboja sebagai turis. Itu jahat sekali bukan?” kata Liao keheranan.
Naasnya, kata Liao, kelompok yang paling terdampak sebaran berita bohong justru rakyat jelata. Kabar bohong membuat turis enggan berkunjung ke negara mereka. Sumber pendapatan mereka pun seketika terhenti. Itu semua terjadi akibat disinformasi yang diciptakan orang-orang tak bertanggung jawab.
Berdasarkan data dari Kementerian Informasi Kamboja, pada 2023, ditemukan 3.000 kasus informasi palsu. Angka itu meningkat sebesar 160 persen dibandingkan pada 2020. Ketika itu, pemerintah menemukan 1.300 kasus.
Sekretaris Kementerian Informasi Kamboja Chum Kosal menyatakan, peredaran hoaks berdampak buruk dalam banyak hal, seperti ekonomi, sosial, politik, hingga keamanan nasional. Jika dibiarkan, ia khawatir kabar bohong lebih dipercaya sebagai kebenaran daripada informasi yang disiarkan pada kanal media kredibel.
Saat ini, integrasi AI seolah mengakselerasi produksi informasi palsu (bohong) secara semakin cepat dan mudah. (Chum Kosal)
Dalam kondisi sekarang, Kosal justru agak khawatir dengan pesatnya kemajuan teknologi. Kehadiran kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) membuatnya waswas karena membuka peluang meningkatkan sebaran hoaks. Lebih-lebih pemanfaatan media sosial oleh publik kini semakin marak.
”Saat ini, integrasi AI seolah mengakselerasi produksi informasi palsu (bohong) secara semakin cepat dan mudah,” kata Kosal.
Kosal mencontohkan dampak buruk AI dalam teknologi pengubah suara pada sambungan telepon. Fitur itu memungkinkan seorang penelepon mengubah suaranya sesuka hati. Masalah besar akan muncul apabila fitur itu digunakan untuk menirukan seorang pejabat publik guna menyampaikan berita bohong.
Direktur Eksekutif Club of Cambodian Journalists (CCJ) Leang Delux memiliki penilaian berbeda terkait kecerdasan buatan. Daripada terlalu khawatir, ia menganggap, jurnalis sebaiknya ikut memanfaatkan kemajuan teknologi guna memproduksi konten berkualitas. Dengan sendirinya, upaya itu akan menetralkan masifnya sebaran hoaks di ruang digital.
”AI punya dua sisi, yaitu sisi positif dan negatif. Permasalahannya, bagaimana kita bisa menggunakan AI secara positif. Oleh karena itu, jurnalis harus selalu mengembangkan kemampuan dirinya sesuai tantangan dari zamannya,” kata Leang.
Profesionalisme jurnalis, ungkap Leang, termasuk aspek penting dalam memerangi berita bohong. Kode etik jurnalistik harus dijunjung tinggi setiap melaksanakan peliputan. Itu menjadi kunci agar berita yang dihasilkan sesuai fakta dan dapat dipertanggungjawabkan isinya.
”Kita harus sadar betul untuk selalu memverifikasi sebelum berita yang dibuat akan dirilis. Itu adalah cara terbaik melawan berita bohong. Sebagai jurnalis, kita tidak bisa melihat informasi dari media sosial lalu menyebarkannya begitu saja,” kata Leang.
Tantangan bersama
Direktur ASEAN Studies Center dan Center for Journalism Matthew Denver M Trinidad mengungkapkan, perlawanan jurnalis terhadap sebaran berita bohong terjadi hampir di semua negara. Tingginya penetrasi digital menyebabkan akses informasi kian mudah. Namun, tidak semua kabar yang tersiar pada ranah maya itu bisa dipastikan kebenarannya.
Dari pengamatannya, menurut Matthew, hoaks tumbuh subur lewat berbagai platform media sosial. Matthew mengungkapkan, industri media perlu ikut meramaikan arena daring itu dengan berita yang tervalidasi. Dengan demikian, ”jagat daring” tak melulu dibuat bising oleh informasi palsu.
”Di Filipina, media arus utama juga menggunakan media sosial. Kami mengimbangi sebaran hoaks dengan peliputan yang berimbang dan akurat. Ini upaya kami untuk aktif memerangi fenomena misinformasi dan disinformasi,” kata Matthew, yang juga menjadi salah satu peserta lokakarya, di Kamboja, tersebut.
Baca juga: Gigih Membendung Hoaks yang Semakin Canggih
Di sisi lain, kata Matthew, ”perang” dengan berita bohong juga harus disertai gerakan literasi media. Menurut dia, nalar kritis masyarakat sewaktu menerima informasi mesti dibangun. Itu bertujuan untuk membentengi publik supaya tidak mudah terjebak dengan sebaran hoaks.
Berkaca dari praktik di negaranya, kata Matthew, literasi media bahkan diajarkan dalam ruang-ruang kelas sejak tingkatan dasar. Sebagai generasi penerus, anak-anak muda dijadikan tumpuan terkait permasalahan tersebut.
”Sangat penting untuk mengedukasi generasi muda. Kita harus mengedukasi mereka agar lebih memahami tentang pentingnya media dan informasi,” kata Matthew.
Industri media perlu ikut meramaikan arena daring itu dengan berita yang tervalidasi. Dengan demikian, ’jagat daring’ tak melulu dibuat bising oleh informasi palsu. (Matthew Denver M Trinidad)
Seruan bersama
Direktur Jenderal International Relations Institute of Cambodia Kin Phea menyatakan, tantangan bersama atas fenomena hoaks itu hendaknya disikapi secara lebih serius. Setidaknya pada level negara-negara se-Asia Tenggara. Seruan bersama coba berisi tentang peran pemangku kepentingan menghadapi tantangan itu coba ditawarkannya.
Seruan bersama itu dihasilkan dari diskusi panjang selama lokakarya yang melibatkan lebih dari 70 peserta yang berasal dari sejumlah negara, seperti Kamboja, Malaysia, Filipina, China, dan Indonesia. Latar belakang para peserta juga cukup beragam terentang dari mahasiswa, akademisi, perwakilan pemerintah, dan jurnalis.
Adapun seruan bersama itu membuahkan 22 poin mengenai langkah-langkah yang mesti dilakukan untuk melawan disinformasi. Poin-poin itu ditujukan kepada empat pihak, yaitu media, pemerintah, ASEAN, dan pemangku kepentingan lainnya.
Baca juga: Kecerdasan Buatan Segera Kehabisan Naskah Buatan Manusia
Dalam seruan itu, media diminta menjaga profesionalisme dengan menjunjung standar etik yang tinggi. Dengan demikian, informasi yang disuguhkan kepada publik dipastikan akurat. Itu akan membuat media didudukkan sebagai sumber informasi terpercaya di tengah sebaran berita bohong pada masa sekarang.
Lalu, pemerintah didorong melaksanakan literasi media kepada masyarakat supaya tidak mudah terjebak pada informasi palsu. Sementara itu, ASEAN didesak menyediakan platform bersama untuk melawan hoaks yang tersebar di negara-negara anggotanya.
”Memang, belum bisa diketahui apakah seruan bersama ini akan langsung berdampak atau tidak. Namun, ini menunjukkan komitmen dan usaha bersama untuk memerangi masalah tersebut,” kata Kin.