Mau Lebih Hemat dan Sehat dalam Belanja? Usahakan Transaksi Tunai
Mungkin terdengar tidak populer, tapi memilih transaksi tunai akan membantu kita mengerem pemborosan.
Penggunaan transaksi nontunai ternyata bisa mendorong seseorang untuk lebih konsumtif, antara lain terobsesi membeli barang mewah dan makanan yang tidak sehat. Namun, jika menyangkut urusan donasi, seseorang tidak menjadi lebih murah hati saat penggunaan transaksi nontunai.
Transaksi nontunai saat ini mulai menggeser penggunaan uang tunai, termasuk di Indonesia. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, tahun 2023, nilai transaksi perbankan digital di Indonesia Rp 58.478,24 triliun atau tumbuh 13,48 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Nilai transaksi elektronik juga meningkat 43,45 persen dibandingkan tahun sebelumnya sehingga mencapai Rp 835,84 triliun. Diproyeksikan, transasi elektronik ini meningkat 25,77 persen tahun ini sehingga mencapai Rp 1.051,24 triliun.
Di banyak negara maju, transaksi menggunakan uang tunai hampir hilang. Misalnya, di Australia, uang tunai hanya digunakan dalam 16 persen transaksi, anjlok dari sekitar 70 persen pada tahun 2007.
Kemajuan teknologi telah mengubah cara kita membayar barang dan jasa. Telepon genggam dan jam tangan pintar kini dapat dengan mudah digunakan untuk membayar dengan kartu dan skema beli sekarang bayar nanti (paylater) juga menawarkan kemudahan.
Peralihan dari penggunaan uang tunai ke nontunai semakin cepat terjadi selama pandemi Covid-19. Para ahli kesehatan merekomendasikan untuk menghindari penggunaan uang tunai karena alasan kebersihan.
Baca juga: Pandemi dan Digitalisasi Dorong Transaksi Nontunai
Namun, banyak orang tidak menyadari bahwa perubahan kebiasaan menggunakan transaksi nontunai ternyata mendorong perilaku manusia modern menjadi lebih konsumtif.
Sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Retailing pada Mei 2024 menunjukkan bagaimana dampak penggunaan transaksi nontunai terhadap perilaku seseorang menggunakan uangnya. Penelitian dilakukan dengan menganalisis 71 laporan yang dipublikasikan dan tidak dipublikasikan dari 17 negara, melibatkan lebih dari 11.000 partisipan.
”Melalui metaanalisis ini, kami mengidentifikasi faktor-faktor utama yang membuat efek (pembayaran) nontunai menjadi lebih kuat atau lebih lemah yang tidak dapat ditemukan dalam penelitian individual. Dengan melakukan ini, kami menemukan wawasan baru yang sering diabaikan oleh peneliti lain dalam penelitian individual,” kata Lachlan Schomburgk, peneliti dari University of Adelaide Business School, yang memimpin penelitian ini.
Jika menyangkut urusan donasi, seseorang tidak menjadi lebih murah hati saat penggunaan transaksi nontunai.
Penelitian tersebut menemukan bahwa transaksi nontunai menyebabkan orang mengeluarkan lebih banyak uang ketika membeli produk yang biasanya digunakan untuk menandakan status, seperti perhiasan. Namun, efeknya tidak terlihat saat menyumbang atau memberi tip.
”Kami juga menemukan bahwa pembayaran tanpa uang tunai tidak selalu menghasilkan tip atau donasi yang lebih besar dibandingkan dengan uang tunai,” kata Schomburgk yang melakukan penelitian bersama Arvid Hoffmann, ekonom dari Universitas Adelaide, dan Alex Belli dari Universitas Adelaide Melbourne.
Jadi, jika urusannya untuk belanja, transaksi nontunai ternyata membuat orang lebih boros, Namun, jika menyangkut beramal, cenderung menghemat. Menurut studi ini, pengumpulan uang untuk donasi secara tradisional, seperti stoples atau kotak amal, sama efektifnya dengan tempat penjualan tanpa uang tunai untuk mengumpulkan tip atau sumbangan.
Makanan tidak sehat
Tak hanya cenderung konsumtif, riset juga menunjukkan penggunaan transaksi nontunai cenderung mendorong seseorang membeli makanan tidak sehat. Riset yang diterbitkan di Journal of the Association for Consumer Research pada Januari 2021 menunjukkan, seseorang cenderung kurang memperhatikan risiko saat memutuskan berbelanja nontunai, termasuk risiko kesehatan.
Penulis studi ini, Joowon Park, Clarence Lee, dan Manoj Thomas dari Univerity of Chicago, menyebutkan, pembayaran tunai dan nontunai menimbulkan tingkat rangsangan negatif yang berbeda-beda dalam pembuatan keputusan berbelanja. ”Kebanyakan orang mengalami respons emosional negatif secara spontan terhadap hilangnya kekayaan, terutama ketika kehilangan tersebut nyata (tunai),” tulis para peneliti.
Baca juga: Transaksi Nontunai untuk Tingkatkan Pendapatan dan Transparansi Daerah
Sebaliknya, ketika seseorang menggesek kartu atau menggunakan pembayaran seluler, sulit membayangkan uang berpindah tangan. Pembayaran dilakukan di kemudian hari, yang mungkin tidak memerlukan penyerahan uang secara fisik. ”Karena transaksi semacam itu tidak konkret,” tulis para penulis, ”pembayaran tanpa uang tunai cenderung tidak menimbulkan dampak negatif yang dinilai sebagai ’kesulitan membayar’.”
Menurut Park dan tim, pembayaran nontunai dapat mengalihkan perhatian konsumen dari risiko pengambilan keputusan. Hal ini membuat pembeli kurang memperhatikan risiko yang berkaitan dengan makanan. Misalnya, risiko bahwa produk makanan yang dibeli dapat berdampak buruk pada kesehatan dalam jangka panjang.
Para peneliti menyebut proses ini sebagai ”kurangnya perhatian terhadap risiko pengambilan keputusan” yang disebabkan oleh pembayaran tanpa uang tunai.
Untuk menguji gagasan ini, penulis mengundang peserta ke laboratorium untuk simulasi belanja bahan makanan di mana beberapa peserta diminta membayangkan melakukan pembayaran tunai dan yang lain diminta membayangkan melakukan pembayaran tanpa uang tunai. Selama simulasi belanja, peserta memakai perangkat di tangan mereka yang mengukur perubahan tingkat konsentrasi fisik mereka.
Para penulis menemukan bahwa peserta yang berpikir melakukan pembayaran tanpa uang tunai mengalami konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan mereka yang berpikir melakukan pembayaran tunai. Konsentrasi yang lebih tinggi dari pembayaran tunai membuat peserta menaruh perhatian terhadap risiko kesehatan yang terkait dengan barang-barang belanjaan sehingga kecil kemungkinannya untuk menambahkan barang-barang tidak sehat, seperti kue dan permen, ke dalam keranjang belanja mereka.
Di sisi lain, rendahnya konsentrasi pada kelompok yang melakukan pembayaran nontunai membuat mereka kurang memperhatikan risiko kesehatan sehingga cenderung membeli barang-barang tidak sehat. Artinya, pembayaran nontunai membuat peserta kurang memperhatikan risiko pengambilan keputusan. Perubahan konsentrasi tidak memengaruhi keputusan pembelian makanan sehat, seperti apel dan salad.
Baca juga: Pembayaran Tunai Masih Diminati dalam Ekosistem Digital
Dalam penelitian serupa, peserta diminta untuk membayangkan display makanan penutup di kota-kota besar di AS. Mereka diberi tahu bahwa perusahaan makanan tersebut tertarik untuk memahami popularitas beberapa produk makanan penutup.
Peserta melihat gambar dan deskripsi beberapa makanan penutup dan menunjukkan berapa banyak mereka bersedia membayar untuk setiap makanan penutup. Mirip dengan hasil sebelumnya, peserta yang berpikir untuk melakukan pembayaran tanpa uang tunai bersedia membayar lebih untuk makanan penutup dibandingkan mereka yang berpikir untuk melakukan pembayaran tunai.
Selain itu, kesenjangan ini lebih besar terjadi pada peserta yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang mungkin lebih sadar akan risiko kesehatan dari konsumsi makanan penutup. Para peneliti menemukan bahwa kurangnya perhatian terhadap risiko terkait pembayaran tanpa uang tunai meningkatkan jumlah peserta dengan pendidikan lebih tinggi yang bersedia membayar untuk makanan penutup.
Namun, bagi peserta yang berpendidikan lebih rendah, perbedaan metode pembayaran tidak memengaruhi seberapa besar mereka bersedia membayar. Para peneliti menemukan bahwa bagi para peserta, tingkat perhatian terhadap risiko kesehatan tidak menjadi masalah, mungkin karena mereka tidak begitu menyadari risiko kesehatan tersebut.
Usahakan pakai tunai
Schomburgk dan tim memberi saran kepada konsumen agar lebih berhati-hati terhadap metode pembayaran yang mereka gunakan. Jika mau berhemat dalam belanja, gunakan transaksi tunai.
”Untuk mencegah pengeluaran lebih dari yang direncanakan, kami merekomendasikan konsumen untuk membawa uang tunai dibandingkan kartu, kapan pun mereka bisa, karena ini bertindak sebagai metode pengendalian diri,” kata Schomburgk.
Menurut kajian ini, saat menggunakan uang tunai, orang secara fisik menghitung dan menyerahkan uang kertas dan koin sehingga membuat tindakan belanja menjadi lebih menonjol. Jika tidak ada yang diserahkan secara fisik, mudah untuk lupa berapa banyak yang dibelanjakan.
Krisis biaya hidup telah menjadikan pengendalian pengeluaran sebagai prioritas utama bagi banyak orang. Metaanalisis oleh Schomburgk dan tim menunjukkan bahwa kembali ke ”uang tunai” jika memungkinkan dapat menjadi salah satu alat yang berharga untuk membantu penghematan.
Sementara itu, kajian Park dan tim menunjukkan, penggunaan transaksi tunai juga bisa mengerem hasrat untuk membeli makanan tidak sehat. Hal itu disebabkan penggunaan transaksi nontunai sering membuat seseorang tidak menyadari risiko dari apa yang dibelinya.
Transisi menuju masyarakat tanpa uang tunai sepertinya tidak bisa dihindari. Namun, risiko yang akan ditanggung konsumen ke depan jika transaksi nontunai ini semakin mendominasi juga tinggi. Selain lebih boros, bahkan bisa menjerat dengan utang, pilihan untuk membeli barang-barang konsumsi yang tidak sehat juga meningkat.