RUU KIA pada Fase 1.000 HPK Nyaris Mustahil Dinikmati Perempuan Buruh
Meski RUU KIA pada Fase 1.000 HPK disetujui DPR disahkan menjadi UU, implementasi dari UU tersebut masih dipertanyakan.
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan atau RUU pada Fase 1.000 HPK membawa kabar gembira bagi para perempuan pekerja. Namun, bagi sejumlah buruh perempuan, UU itu nyaris mustahil menjangkau mereka.
Padahal, sejumlah pasal yang diatur dalam RUU KIA pada Fase 1.000 HPK mengusung tujuan yang sangat mulia, yakni memenuhi kebutuhan dasar ibu dan anak, mewujudkan sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul, serta mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
Baca juga: DPR Setujui RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak untuk Disahkan
RUU ini juga bertujuan melindungi ibu dan anak dari tindak kekerasan, diskriminasi, penelantaran, eksploitasi, perlakuan merendahkan derajat dan martabat manusia, pelanggaran hak asasi manusia, serta perlakuan melanggar hukum lainnya, dan mewujudkan rasa aman serta nyaman.
Karena itu, ketika mendengar adanya RUU KIA pada Fase 1.000 HPK, yang mengatur soal cuti bagi ibu pekerja, sejumlah perempuan buruh hanya bisa sebatas mengapresiasi langkah DPR dan Pemerintah. Mereka pesimistis bahwa begitu RUU itu diundangkan, aturan itu akan mudah diimplementasikan bagi perempuan buruh.
”RUU KIA pada Fase 1.000 HPK isinya sangat indah, tetapi sebenarnya mustahil diterapkan pada perempuan buruh seperti kami,” ujar Rahma (45), karyawati yang bekerja di sebuah perusahaan garmen di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Sabtu (8/6/2024).
Semua hak-hak perempuan pekerja yang diatur dalam RUU tersebut menunjukkan perhatian yang besar dari negara bagi para perempuan pekerja, terutama soal hak cuti dan pengaturan upah.
RUU pada Fase 1.000 HPK mengamanatkan setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat tiga bulan pertama, dan paling lama tiga bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Tak hanya itu, RUU KIA juga mengatur ibu yang bekerja menggunakan hak cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya. Ibu-ibu tersebut berhak mendapat upah penuh selama tiga bulan pertama dan bulan keempat, serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam.
Di atas kertas, aturan cuti melahirkan dan upah yang diatur dalam RUU KIA pada Fase 1.000 HPK sangat bagus. Namun, bagi perempuan buruh, UU ini sulit untuk diterapkan, apalagi mereka yang bekerja dengan status kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
”Sampai sekarang masih ada teman-teman yang bekerja dengan sistem kontrak. Jadi, kalau ketahuan hamil, ya selesai sudah, akan disuruh mengundurkan diri atau selesaikan kontrak,” papar Rahma yang telah bekerja sekitar 19 tahun.
Bagi pekerja tetap, lanjut Rahma, RUU KIA pada Fase 1.000 HPK bisa saja terdengar indah, tetapi bagi mayoritas perempuan buruh dengan sistem kontrak kerja, aturan cuti dan upah sebagaimana diatur dalam RUU tersebut hanyalah sebuah ’mimpi indah’ belaka.
Apalagi, dengan adanya UU Cipta Kerja, saat ini ada sebagian besar perempuan buruh bekerja dengan sistem kontrak kerja yang sangat pendek, yakni diperpanjang setiap sekitar 1 atau 2 bulan. Bahkan, menurut Rahma, ada perusahaan garmen yang berusia lebih dari 20 tahun pun, separuh karyawatinya bekerja dengan sistem PKWT.
Baca juga: Pro-Kontra RUU KIA, Tidak Semua Perempuan Setuju Aturan Cuti 6 Bulan
Jangankan menikmati cuti sampai enam bulan, dalam praktik selama ini hanya untuk menikmati cuti haid saja begitu sulit bagi perempuan buruh. Padahal, UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa perempuan pekerja atau buruh yang dalam masa haid merasakan sakit, dan memberitahukan kepada perusahaan, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua masa haid.
Ketika mengambil cuti haid selama dua hari, perempuan pekerja tetap berhak mendapatkan upah. Namun, dalam praktik, di sejumlah perusahaan diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, di mana perempuan buruh yang akan mengambil cuti haid harus menyertakan surat keterangan dokter. Sementara tidak semua fasilitas kesehatan mengeluarkan surat keterangan tersebut.
Pengalaman selama ini, sejumlah perempuan buruh, untuk mendapatkan surat keterangan sedang haid mereka harus mengakses klinik yang berbayar. Sejumlah perempuan memilih tidak mengambil surat keterangan dokter dan memilih bekerja seperti biasa karena tidak menerima upah saat cuti haid.
”Tidak semua perempuan buruh berani mengambil cuti haid. Ada yang mengalami intimidasi perusahaan karena terancam diakhiri kontrak kerjanya,” papar Rahma.
Domestifikasi perempuan
Meskipun membawa misi mulia untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, aturan cuti melahirkan hingga 6 bulan yang diatur dalam RUU KIA pada Fase 1.000 HPK dikhawatirkan akan merugikan perempuan pekerja. Bahkan, berpotensi mendomestifikasi perempuan dari area publik.
Sebab, ketika perempuan buruh mengajukan cuti melahirkan hingga 6 bulan karena mengalami kondisi khusus, pengusaha bisa mencari tenaga kerja yang laki-laki saja, atau yang perempuan yang tidak menikah saja. Bahkan, perusahaan juga bisa menyodorkan kesepakatan untuk menunda kehamilan dengan pekerja perempuan.
”Artinya, RUU ini akan semakin meminggirkan perempuan, seolah-olah kerja merawat anak adalah tanggung jawab ibu semata, padahal kan tidak. Merawat anak adalah tanggung jawab bersama. Setiap perempuan punya pilihannya masing-masing, dan itu layak diapresiasi. Perempuan layak mempunyai ruang untuk mengaktualisasikan dirinya,” papar Jumisih, Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Perempuan Indonesia.
Laporan survei ”Persepsi terhadap Pekerjaan Perawatan, Pandangan Publik dalam Kerangka 5R” yang dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan KataData Insight Center pada 15 September-3 November 2023 menyatakan, 42,6 persen dari 2.217 responden mengatakan bahwa cuti melahirkan adalah layanan paling dibutuhkan (Kompas, 15/11/2023).
Hasil survei tersebut juga menemukan sebanyak 68,3 persen responden laki-laki menyatakan wajar jika perempuan meninggalkan pekerjaan berbayarnya demi tanggung jawab perawatan dalam keluarga. Sebab, hal itu dianggap sebagai bagian dari kewajiban sebagai ibu atau bakti anak perempuan kepada orangtua.
Baca juga: Selain Cuti Melahirkan 6 Bulan bagi Ibu Pekerja, Ada Apa Lagi di RUU?
Menurut Jumisih, untuk saat ini, di lapangan, implementasi hak cuti melahirkan di lapangan merupakan tantangan tersendiri seiring dengan ”informalisasi tenaga kerja” yang disahkan oleh UU Cipta Kerja.
Perempuan buruh tidak berani mengambil hak cuti melahirkannya karena sejumlah faktor, antara lain takut tidak diperpanjang kontrak kerja, takut di PHK (pemutusan hubungan kerja), serta takut tidak mendapatkan pekerjaan kembali.
”Hal-hal itu akan berpengaruh terhadap pendapatan buruh sehingga mereka takut keluarganya nanti makan apa. Karena ada juga kejadian, perempuan buruh mau mengambil cuti melahirkan malah disodorkan surat pengunduran diri. Hal-hal seperti ini sering terjadi di lapangan,” kata Jumisih.
Jadi, apakah cuti melahirkan 6 bulan bisa dipraktikkan? Bagi sebagian perusahaan, mungkin bisa. Akan tetapi, bagi industri manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja perempuan, ini tidak mudah. Maka, pengawasan atas implementasi UU KIA pada Fase 1.000 HPK menjadi penting.
Kendati demikian, masih ada peluang bagi kalangan perempuan buruh yang berserikat untuk menguatkan aturan dalam UU KIA pada Fase 1.000 HPK melalui perjanjian kerja bersama (PKB) dengan perusahaan.
Kekhawatiran soal UU KIA pada Fase 1.000 HPK tidak hanya di kalangan perempuan buruh, tetapi juga sejumlah perempuan pekerja di sektor lain. Pada umumnya, mereka mengaku khawatir aturan cuti enam bulan justru akan menjadi bumerang pada perempuan pekerja yang menikah, dan membuat peluang kerja perempuan semakin sempit karena perusahaan berpikir kehadiran perempuan pekerja akan menjadi beban.
Terlepas dari sejumlah pertanyaan terkait RUU tersebut, kehadiran UU KIA pada Fase 1.000 HPK diharapkan semakin meningkatkan perhatian negara pada ibu dan anak. Seperti harapan besar dari Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka.
”Bila RUU tersebut disahkan menjadi UU, dan ditindaklanjuti dalam berbagai bentuk implementasi kebijakan dan program, akan mampu mengangkat harkat martabat para ibu, kesejahteraannya, serta menjamin tumbuh kembang anak sejak fase seribu hari pertama kehidupannya,” kata Diah saat paripurna DPR, Selasa (4/6/2024) lalu.