Kian Terdesak Sawit dan HPH, Punan Batu Meminta Percepatan Hutan Adat
Pemerintah diminta menetapkan hutan Benau Sajau yang menjadi ruang hidup Punan Batu sebagai hutan adat.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Punan Batu, pemburu dan peramu satu-satunya di Kalimantan, semakin terancam karena hutan yang menjadi ruang hidup mereka rusak akibat penebangan dan perambahan untuk perkebunan sawit. Peraih Kalpataru 2024 ini meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan hutan di Benau Sajau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, sebagai hutan adat.
Permintaan itu disampaikan perwakilan Punan Batu, Makrup dan Samsul, dalam diskusi yang diselenggarakan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) di Jakarta, Kamis (6/6/2024). Diskusi juga dihadiri Direktur Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Jo Kumala Dewi, Bupati Bulungan Syarwani, peneliti dari Mochtar Riady Institute Pradiptajati Kusuma, dan Direktur Eksekutif YKAN Herlina Hartanto.
Makrup dan Samsul berada di Jakarta untuk menerima Penghargaan Kalpataru kategori penyelamat lingkungan hidup dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar pada Rabu (5/6/2024).
”Tolong bantu kami mempertahankan hutan. Jangan lagi ada perusahaan menebang kayu dan orang-orang membuka kebun sawit. Bukan kami tidak bisa jaga. Tetapi perusahaan dan orang-orang itu selalu mengatakan hutan ini milik negara dan kami tidak punya hak melarang penebangan hutan,” kata Samsul.
Hidup kami sekarang semakin susah. Cari ubi susah. Binatang buruan juga susah. Sungai keruh, tidak bisa diminum. Bantu kami lindungi tempat hidup kami dan anak-anak kami.
Makrup mengatakan, hutan merupakan tempat hidup mereka sejak dulu. Namun, kerusakan hutan akibat penebangan dan perambahan untuk perkebunan membuat kehidupan semakin susah.
”Hidup kami sekarang semakin susah. Cari ubi susah. Binatang buruan juga susah. Sungai keruh, tidak bisa diminum. Bantu kami lindungi tempat hidup kami dan anak-anak kami. Apalagi kami sudah sampai Jakarta. Kalau tidak penting, kami tidak akan sampai di sini, hanya karena ingin menyelamatkan hutan kami,” kata Makrup.
Makrup mengatakan, setelah membawa pulang Kalpataru, masyarakat Punan Batu berharap agar wilayah tinggal mereka di hutan Benau Sajau dapat segera ditetapkan sebagai hutan adat. Penetapan ini penting untuk memastikan luas kawasan hutan tidak semakin berkurang atau tidak beralih fungsi.
Hutan yang dihuni suku Punan Batu hingga saat ini masih berstatus sebagai konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) Inhutani. Dalam surat permohonan Punan Batu tertanggal 23 Mei 2024 dan diterima Biro Umum Setjen Kementerian LHK pada Selasa (4/6/2024), mereka menjelaskan bahwa kehidupan mereka sangat bergantung pada keberadaan hutan. Di dalam hutan itulah mereka mencari makan, binatang buruan, dan kebutuhan hidup lain.
Pada 3 April 2023, Punan Batu Benau Sajau kami telah mendapatkan pengakuan dan perlindungan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) berdasarkan SK Bupati Bulungan nomor 18845/319 tahun 2023.
”Berdasarkan SK Bupati tersebut dan menindaklanjutinya dalam rangka perlindungan terhadap kehidupan kami dan hutan sebagai ruang hidup kami, maka kami memohon kepada Ibu Menteri agar memberikan penetapan atas zona inti sebagai ruang hidup dan zona penyangga hidup dengan luasan 15.184 hektar sebagaimana dalam peta lampiran SK Bupati untuk ditetapkan sebagai hutan adat kami,” demikian surat yang ditandatangani sejumlah perwakilan Punan Batu.
Bupati Syarwani mengatakan, setelah penetapan MHA Punan Batu dan penghargaan Kalpataru, upaya berikutnya untuk melindungi Punan Batu adalah penetapan hutan adat, selain usulan untuk menjadikan kawasan Benau Sajau. ”Dengan kehadiran Ibu Jo Kumala dari KLHK ini, kami berharap wilayah yang ditempati Punan Batu yang masih jadi konsesi HPH ini bisa dilihat kembali. Kalau hutan yang jadi ruang hidup mengecil, maka budaya Punan Batu ini juga akan hilang,” katanya.
Direktur Eksekutif YKAN Herlina Hartanto berharap penghargaan Kalpataru bisa membawa MHA Punan Batu selangkah lebih maju dalam perjalanan mereka dalam mendapatkan legalitas hutan adat. “Kami sangat menghargai pengakuan yang diberikan oleh KLHK terhadap peran penting masyarakat Punan Batu Benau Sajau dalam menjaga dan melindungi hutan,” katanya.
Moratorium HPH dan hutan adat
Jo Kumala Dewi mengatakan, KLHK akan berupaya menjaga penerima kalpataru sebagai pionir dan menjadi percontohan bagi perlindungan lingkungan. Namun, penghentian operasi HPH di hutan Punan Batu sulit dilakukan karena mereka sudah mendapat izin. ”Mungkin bisa diupayakan legalisasi hutan adat, bisa didorong bersama. Namun, pengajuannya baru dimasukkan. Masih ada beberapa hal yang harus dilakukan,” katanya.
Agung Pambudi dari Direktorat Penanganan Konflik dan Tenurial Hutan Adat KLHK yang hadir dalam diskusi menyampaikan, percepatan penetapan hutan adat tidak mudah dilakukan. ”Antreannya panjang. Saat ini ada lebih dari 130 komunitas yang mengajukan hutan adat dan itu harus diverifikasi ke lapangan oleh tim terpadu. Sementara itu, kapasitas anggaran kami hanya bisa untuk 18 pengajuan per tahun,” katanya.
Sementara itu, Pradiptajati Kusuma menyatakan, sebagai peneliti, dirinya siap memberikan dukungan data ilmiah yang dibutuhkan untuk melindungi ruang hidup Punan Batu. Secara genetik dan budaya, Punan Batu memiliki kekhasan karena merupakan satu-satunya pemburu dan peramu yang masih aktif di hutan hujan tropis Kalimantan.
Berbeda dengan masyarakat Dayak, menurut Pradiptajati, Punan Batu tidak memiliki tradisi bercocok tanam. Oleh karena itu, mempertahankan hutan berarti menjaga keberlangsungan hidup dan budaya Punan Batu.
Wahyudi, Penasihat Senior untuk Kebijakan Terestrial YKAN, menyampaikan, Punan Batu merupakan masyarakat yang unik dan spesifik sehingga butuh tindakan segera untuk melindungi hutan yang menjadi ruang hidup mereka. ”Upaya melindungi Punan Batu dan hutan mereka seharusnya bisa ditempatkan sebagai superprioritas, jangan mengacu pada prosedur birokrasi yang panjang. Diharapkan pengakuan hak hutan adat bisa segera keluar,” kata Wahyudi.
Menurut Wahyudi, KLHK juga bisa melakukan moratorium penebangan di wilayah hidup Punan Batu. ”Untuk bupati, saya sarankan, upaya mengatasi perkebunan ilegal itu di tangan bapak. Kalau tidak bisa ditangani bupati, bisa minta bantuan ke tingkat lebih atas,” katanya.