Pro-Kontra RUU KIA, Tidak Semua Perempuan Setuju Aturan Cuti 6 Bulan
Beberapa perempuan pekerja khawatir dengan adanya aturan cuti enam bulan akan mempersulit mereka mencari kerja.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan telah disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang. Namun, muncul pro dan kontra terkait regulasi yang mengatur cuti bagi ibu bekerja yang melahirkan hingga suami yang mendampingi itu.
Disebutkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA), cuti melahirkan bagi ibu bekerja diberikan paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus. Dengan begitu, total cuti yang didapatkan bisa hingga enam bulan.
Selain itu, suami berhak cuti selama dua hari dan dapat diberikan cuti tambahan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai kesepakatan atau sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja atau pengusaha. Suami yang istrinya mengalami keguguran pun berhak cuti selama dua hari.
Dengan aturan tersebut, diharapkan ibu dan ayah bisa mendukung secara optimal tumbuh kembang anak pada fase seribu hari pertama kehidupan. Itu termasuk terkait pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, pemberian perawatan dan pendampingan selama masa awal kehidupan anak, dan kebutuhan lain untuk kesejahteraan ibu.
Meski begitu, aturan tersebut masih menuai pro-kontra di masyarakat. Bahkan, ada penolakan pada perempuan pekerja.
Sebagian perempuan pekerja yang tidak setuju merasa khawatir aturan ini justru mempersulit perempuan untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka cemas jika perusahaan akan semakin memperketat persyaratan kerja bagi perempuan.
Hal itu salah satunya disampaikan Sisilia Dona (32) pada Rabu (5/6/2024). Perempuan pekerja di sektor perbankan ini khawatir aturan pemberian cuti enam bulan bagi perempuan akan semakin memperketat persyaratan kerja di perusahaan.
Ia yang saat ini bekerja di Bandung masih berencana mencari pekerjaan di tempat lain. Namun, dengan adanya aturan tersebut, ia khawatir semakin banyak perusahaan yang mensyaratkan perempuan untuk tidak menikah dan hamil pada awal masa kerja.
”Kalau ada aturan ini, jadi takut akan menambah syarat dari perusahaan. Jangan-jangan banyak perusahaan lebih memilih pekerja laki-laki. Sekarang saja sudah sulit kalau mau pindah pekerjaan. Apalagi saya juga ada rencana untuk menikah,” tuturnya.
Cuti tiga bulan yang selama ini diberikan masih sangat kurang. Waktu tiga bulan akan sangat cepat berlalu, sementara kita masih repot mengurus bayi baru lahir. Belum tentu juga sudah dapat pengasuh. Tentu kita juga masih belum tega meninggalkan bayi yang masih kecil.
Hal yang sama disampaikan Maria Anggita (26). Pekerja swasta di Jakarta Barat ini merasa aturan itu bisa menjadi bumerang bagi perempuan. Meskipun aturan ini dibuat pemerintah, pelaksanaan dari aturan tersebut tetap tergantung pada perusahaan. Menurut Maria, keberadaan fasilitas day care di tempat kerja lebih dibutuhkan saat ini.
”Jangan sampai dengan adanya aturan ini, banyak perusahaan menambahkan syarat calon karyawan yang belum menikah atau belum berencana punya anak. Untuk saya yang sedang mencari pekerjaan, ini tentu akan menyulitkan,” ujarnya. Hal itu disampaikan Maria karena ia baru saja mendapatkan keputusan pemberhentian kerja dari kantornya.
Tanggapan lain disampaikan Fara Ambita (50), branch service manager di salah satu perusahaan di Bandung, Jawa Barat. Sebagai seorang karyawan, aturan cuti enam bulan selama masa persalinan akan sangat mendukung perempuan pekerja yang akan melahirkan, terutama untuk mendampingi anaknya yang baru saja lahir.
Namun, aturan itu akan memberatkan bagi perusahaan. Waktu enam bulan cukup lama bagi perusahaan untuk mengalami kekosongan sumber daya manusia. Hal ini bisa semakin berat apabila ada lebih dari satu pekerja yang harus izin cuti melahirkan, sementara tidak mungkin menambah beban kerja kepada pekerja lainnya.
Pertumbuhan anak
Meski ada sebagian perempuan pekerja yang tidak setuju dengan aturan itu, tidak sedikit yang mendukung adanya pemberian cuti enam bulan bagi perempuan pekerja yang melahirkan serta cuti bagi suami yang mendampingi. Menurut Evany Romaria (32), ibu dengan dua anak tersebut, pemberian cuti enam bulan sangat dibutuhkan oleh seorang ibu bekerja yang melahirkan.
Dengan adanya cuti yang lebih lama bagi perempuan pekerja, waktu untuk mendampingi anak menjadi lebih lama. Apalagi, cuti ini juga diberikan untuk suami yang mendampingi.
”Cuti tiga bulan yang selama ini diberikan masih sangat kurang. Waktu tiga bulan akan sangat cepat berlalu, sementara kita masih repot mengurus bayi baru lahir. Belum tentu juga sudah dapat pengasuh. Tentu kita juga masih belum tega meninggalkan bayi yang masih kecil,” tuturnya.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) Piprim Basarah Yanuarso yang dihubungi di Jakarta, Rabu (5/6/2024), menuturkan, aturan dalam RUU KIA diharapkan dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang lebih optimal. Dengan adanya aturan ini, peran pendamping, terutama suami, pun bisa lebih baik dalam mendampingi ibu sejak masa kehamilan, persalinan, hingga pascapersalinan.
Cuti yang lebih panjang bagi ibu melahirkan juga diharapkan dapat mendukung pemberian ASI eksklusif pada bayi selama enam bulan pertama masa kehidupan. Pemberian ASI eksklusif sangat bermanfaat bagi tumbuh kembang anak.
Namun, Piprim masih memberikan sejumlah catatan terkait dengan aturan dalam RUU KIA pada fase seribu hari pertama kehidupan. Itu terutama terkait ketentuan pemberian cuti pada tiga bulan berikutnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
”Seharusnya syarat dan ketentuan berlaku tidak diperlukan. Tidak perlu asal ada keterangan dokter. Itu pada akhirnya bisa mempersulit ibu untuk mendapatkan cuti berikutnya jika persyaratan cuti menjadi amat ketat,” katanya.
Selain itu, Piprim juga mengimbau agar suami yang mendapatkan cuti bisa memanfaatkan masa cuti untuk mendampingi istri dengan baik. ”Kalau ayah bisa memanfaatkan cutinya untuk mengurus istri dan anak, itu akan mendukung seribu hari pertama kehidupan. Namun, kalau ayahnya justru main gim dan asyik sibuk sendiri, itu akan percuma,” ucapnya.