Apakah UU KIA Bisa Membuat Pekerja Perempuan Cuti Melahirkan sampai 6 Bulan?
Aturan cuti ibu dan ayah menjadi perbincangan dalam RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Apa yang dapat Anda pelajari dari artikel ini?
1. Apa latar belakang Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak atau KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan?
2. Kenapa fase seribu hari menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia?
3. Apa dampaknya bila anak tidak bisa merasakan manfaat dari seribu hari pertama dalam kehidupan?
4. Lantas, bagaimana RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan bisa meminimalkan berbagai ancaman bagi masa depan anak?
5. Bagaimana aturan cuti untuk ibu dalam RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan?
6. Sementara itu, bagaimana RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan ini memberikan cuti pada ayah (suami)?
7. Apakah muncul pro-kontra dari keberadaan RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan ?
8. Apa yang harus dilakukan guna meredam laju pro-kontra terkait RUU ini ?
9. Bagaimana tanggapan dunia usaha menjawab kekhawatiran yang muncul terkait RUU KIA ?
RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan disetujui DPR RI untuk disahkan menjadi undang-undang pada Selasa (4/6/2024). Harapannya, tidak hanya menyelesaikan masalah ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan tapi ikut mendukung masa depan keluarga dan bangsa yang lebih baik.
Apa latar belakang RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan?
RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan merupakan inisiatif DPR RI yang proses legislasinya dimulai sejak September 2022. Awalnya, RUU ini mengatur kesejahteraan ibu dan anak secara umum. Namun, akhirnya disepakati fokus RUU adalah mengatur kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan.
Hal itu mencakup kehidupan anak sejak janin dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun. Dunia kesehatan menganggap fase ini adalah yang terpenting dalam kehidupan manusia.
Baca juga: DPR Setujui RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak untuk Disahkan
Kenapa fase seribu hari pertama kehidupan sangat penting untuk masa depan keluarga, terutama anak?
Fase 1000 hari disebut juga periode emas tumbuh kembang. Dalam fase ini, otak manusia berkembang hingga 80 persen dari kapasitas maksimal. Pertumbuhan ini akan menentukan masa depan ideal semua manusia.
Periode ini mencakup sembilan bulan dalam kandungan, ibu menyusui, bayi baru lahir, dan dua tahun setelah kelahiran.
Pada ibu hamil, pastikan gizi seimbang diberikan dengan baik. Hal ini diberikan melalui pemberian makanan dengan tinggi protein dengan tambahan karbohidrat, sayur, dan buah.
Kenaikan berat badan juga harus dipantau setidaknya 0,5 kilogram per bulan di trimester pertama serta 0,5 kilogram per minggu di trimester kedua dan ketiga.
Ketika melahirkan, pastikan bayi mendapat kesempatan inisiasi menyusui dini untuk memperkuat daya tahan bayi. Di usia bayi 0-6 bulan, pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif juga harus dipastikan. Ibu yang menyusui pun perlu mendapatkan asupan nutrisi yang baik.
Kemudian, saat bayi berusia 7-11 bulan, makanan pendamping ASI diberikan dengan mempertimbangkan konsep gizi seimbang.
Baca juga: Penting dalam 1.000 Hari Pertama, Siapkan MPASI Aman untuk Bayi
Kebutuhan gizi seimbang pada makanan pendamping ASI (MPASI) berbeda dengan proporsi orang dewasa. Proporsi protein perlu lebih besar dari sumber pangan lain. Ini bisa didapatkan dari ikan, telur, tempe, dan daging merah.
Kebutuhan MPASI ini terus berlanjut sampai anak berusia dua tahun. Pada usia 11-24 bulan, makanan yang diberikan dapat disesuaikan dengan makanan keluarga. Pemberian ASI pun sebaiknya tetap diberikan sampai anak berusia dua tahun.
Apa dampaknya bila anak tidak bisa merasakan manfaat dari seribu hari pertama dalam kehidupan?
Salah satu ancaman serius adalah tengkes. Itu tidak hanya mengakibatkan seseorang bertubuh pendek, tapi juga kemampuan kognitif yang dimiliki cenderung dangkal.
Jika jumlah anak dengan tengkes amat tinggi, kualitas sumber daya manusia Indonesia bisa terancam. Tengkes tidak bisa disembuhkan jika sudah melewati masa seribu hari pertama kehidupan.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi rata-rata tengkes (stunting) di Indonesia mencapai 30,8 persen. Artinya, satu dari tiga anak di Indonesia mengalami tengkes.
Jumlah ini jauh dari ambang batas yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni kurang dari 20 persen. Beberapa hal penting dalam RUU KIA diharapkan bisa menekan tengkes dan penyakit lainnya mengancam generasi masa depan Indonesia.
Baca juga: Pencegahan Tengkes Tidak Selalu Mahal
Lantas, bagaimana RUU KIA bisa meminimalkan berbagai ancaman bagi masa depan anak dan keluarga ?
Komisi VIII DPR RI menerima masukan dan kesaksian tentang anak yang telantar, kekurangan pengasuhan, ibu tunggal yang menanggung anak yang terimpit antara bekerja dan mengasuh anak, keluarga yang menghadapi keterbatasan akses dan layanan kesehatan, dan sebagainya.
RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan juga memberikan jaminan pada semua ibu dalam keadaan apa pun, termasuk ibu dengan kerentanan khusus, antara lain ibu berhadapan dengan hukum, ibu di lembaga pemasyarakatan, ibu di penampungan, serta ibu dalam situasi konflik dan bencana.
Akan tetapi, di luar itu, bahasan yang menjadi perbincangan banyak kalangan adalah mengatur cuti ibu dan ayah (suami).
Baca juga: Kualitas Pengasuhan, Kunci Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Bagaimana aturan cuti untuk ibu dalam RUU KIA?
RUU tersebut mengatur cuti melahirkan bagi ibu bekerja, yaitu paling singkat 3 (tiga) bulan pertama dan paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus.
Selain itu, ibu bekerja yang menggunakan hak cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dan berhak mendapat upah penuh selama 3 (tiga) bulan pertama dan bulan keempat serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam.
Dalam masa itu, tidak hanya bisa mendukung tumbuh kembang fisik anak, ibu bisa lebih fokus dan memiliki waktu lebih lama mendukung pola pengasuhan anak lebih baik.
Lihat juga: Kekhawatiran dari Wacana Cuti Melahirkan Enam Bulan di RUU KIA
Sementara itu, bagaimana RUU KIA memberikan cuti pada ayah (suami)?
Selain cuti ibu, RUU tersebut juga menetapkan kewajiban suami mendampingi istri selama masa persalinan. Untuk itu, suami berhak cuti selama dua hari dan dapat diberikan cuti tambahan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai kesepakatan atau sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja/pengusaha. Bagi suami yang istrinya mengalami keguguran berhak cuti selama dua hari.
Baca juga: Cuti Suami di UU KIA, demi Lebih Lama Temani Istri dan Urus Anak
Apakah muncul pro-kontra dari keberadaan RUU KIA ?
Iya. Sebagian perempuan pekerja khawatir aturan ini bakal mempersulit perempuan untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka cemas jika perusahaan akan semakin memperketat persyaratan kerja bagi perempuan.
Aturan itu juga rentan memberatkan perusahaan. Waktu enam bulan cukup lama bagi perusahaan untuk mengalami kekosongan sumber daya manusia.
Hal ini bisa semakin berat apabila ada lebih dari satu pekerja yang harus izin cuti melahirkan, sementara tidak mungkin menambah beban kerja kepada pekerja lainnya.
Sementara itu, pihak lain menyebut, cuti yang lebih lama bagi perempuan pekerja membuat waktu untuk mendampingi anak menjadi lebih lama. Apalagi, cuti ini juga diberikan untuk suami yang mendampingi.
Cuti yang lebih panjang bagi ibu melahirkan diharapkan dapat mendukung pemberian ASI eksklusif pada bayi selama enam bulan pertama masa kehidupan. Pemberian ASI eksklusif sangat bermanfaat bagi tumbuh kembang anak.
Baca juga: Pro-Kontra RUU KIA, Tidak Semua Perempuan Setuju Aturan Cuti 6 Bulan
Apa yang harus dilakukan guna meredam laju pro-kontra terkait RUU ini ?
Sosialisasi vital dilakukan agar esensi penting perlindungan anak beserta keluarganya bisa dilindungi RUU ini. Jangan sampai, semuanya justru jadi bumerang, terutama bagi anak dan ibu. Contohnya, perbedaan persepsi terkait cuti antara dunia usaha dengan ibu yang baru melahirkan.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah mengatakan, setelah disetujui DPR dan diundangkan nanti, KPAI berharap UU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan segera disosialisasikan agar masyarakat mengetahui, terutama hal-hal yang diatur dalam UU tersebut.
Baca juga: Peran Orangtua dalam Pengasuhan Tak Tergantikan
Bagaimana tanggapan dunia usaha menjawab kekhawatiran yang muncul terkait RUU KIA ?
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Jawa Tengah Frans Kongi mengaku sudah mendengar tentang RUU KIA pada Fase 1.000 HPK. Namun, dia belum membaca detail isi RUU tersebut.
”Yang jelas, tanpa UU KIA saja, perusahaan pemberi kerja sudah menerapkan perlindungan perempuan buruh yang melahirkan. Kalau ada gangguan kesehatan setelah melahirkan, kami bisa mempertimbangkan untuk memberi istirahat,” papar Frans.
Frans meminta perusahaan jangan dilihat sebagai pihak tanpa rasa kemanusiaan kepada para perempuan pekerja. Pemenuhan hak pada perempuan pekerja menjadi perhatian. Apalagi, mayoritas pekerja di banyak perusahan adalah perempuan.