Cuti Suami di UU KIA, demi Lebih Lama Temani Istri dan Urus Anak
Aturan penambahan cuti bagi suami untuk mengurus anak dan menemani istri yang baru melahirkan di UU KIA disambut baik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan atau RUU KIA untuk disahkan menjadi undang-undang. Keputusan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/6/2024).
RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan mengatur sejumlah hal yang terkait kesejahteraan ibu dan anak, termasuk mengatur cuti ibu dan ayah atau suami. RUU tersebut mengatur cuti melahirkan bagi ibu bekerja, yaitu paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus.
Selain cuti ibu, RUU tersebut juga menetapkan kewajiban suami mendampingi istri selama masa persalinan. Oleh karena itu, suami berhak cuti selama dua hari dan dapat diberikan cuti tambahan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja. Suami yang istrinya mengalami keguguran berhak cuti selama dua hari (Kompas.id, 4/6/2024).
Adanya ketentuan terkait cuti tambahan bagi suami saat istri melahirkan disambut baik oleh publik, salah satunya Aji Suryo (35). Sebagai seorang pegawai di badan usaha milik negara (BUMN) di Jakarta, Aji merasa aturan tersebut sangat mendukung para suami untuk berperan lebih dalam menemani istrinya, baik sebelum, saat, maupun setelah melahirkan.
Selain bekerja, Aji saat ini tengah disibukkan mengurus buah hati ketiga yang baru lahir pada April lalu. Berbeda saat kelahiran dua anak sebelumnya, Aji kini sudah terbiasa dan memahami peran apa saja yang dilakukan suami. Hal itu mulai dari membantu kebutuhan rumah tangga, menemani kehamilan istri, proses persalinan, hingga mengurus anak yang baru lahir.
Aji mengakui, saat dua anak sebelumnya lahir, dia tidak bisa optimal menemani istri dan mengurus bayinya. Hal ini tidak terlepas dari minimnya waktu cuti atau libur yang diberikan perusahaan.
Beruntung, saat kelahiran anak ketiganya, perusahaan tempatnya bekerja menerapkan cuti 30 hari bagi suami. Tujuannya agar bisa menemani istrinya yang melahirkan.
”Pada kelahiran dua anak sebelumnya, saya tidak bisa ikut mendampingi karena sedang dinas di luar kota. Setelah istri melahirkan pun saya membantu semua kebutuhan keluarga mulai dari mengantar jemput anak pertama sampai merawat bayi,” ujarnya, Rabu (5/6/2024).
Menurut Aji, peran suami sangat penting dan krusial bagi anak dan ibu yang baru melahirkan. Suami harus sigap membantu semua kebutuhan bayi karena ibu masih merasakan sakit pada rahimnya pada satu minggu setelah proses persalinan.
Selain itu, Aji juga setia mendampingi istrinya saat bayi menyusui pada malam hari. Sebab, pada umumnya ibu akan menyusui anaknya yang baru lahir selama dua jam sekali. Dengan didampingi suami, pemberian air susu ibu (ASI) akan lebih berkualitas mengingat istri juga mendapat perhatian dan dukungan penuh dari seorang suami.
”Sebelum punya anak, saya jarang sekali membereskan rumah, mencuci, ataupun belanja. Namun, selama mendapat cuti melahirkan selama 30 hari, saya melakukan mayoritas pekerjaan rumah sehingga istri juga bisa fokus mengurus bayi,” ungkapnya.
Selain Aji, adanya ketentuan terkait cuti tambahan bagi suami dalam RUU KIA juga mendapat respons positif dari Afif Reza (28). Afif yang tengah menunggu kelahiran putri pertamanya ini berharap, dengan pengesahan RUU tersebut, tempat kerjanya bisa memberikan cuti melahirkan bagi suami dalam jangka waktu yang cukup lama.
”Cuti tujuh sampai sepuluh hari sepertinya sudah cukup ideal bagi suami agar punya waktu lebih dalam mengurus anak dan menemani istri yang baru melahirkan. Ibu-ibu muda yang baru melahirkan juga akan lebih mudah beradaptasi dan tidak terkena baby blues bila ditemani suami,” kata pekerja swasta di salah satu perusahaan di Depok ini.
Figur ayah
Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Dian Ekawati menegaskan, peran ayah harus didorong untuk mengatasi persoalan mental orangtua, terutama ibu. Oleh karena itu, RUU KIA harus bisa mengatasi persoalan kehilangan figur ayah (fatherless) dalam keluarga.
”Kita tidak mau status fatherless country menempel di Indonesia, sehingga jangan jadikan isu ini sebagai hal yang biasa. Pemberian cuti kepada ayah diharapkan dapat memaksimalkan peran ayah dalam mendampingi istrinya dan membentuk ikatan dengan anak,” ucapnya dalam diskusi terkait RUU KIA di Jakarta bulan lalu.
Dia menyebut, peran ayah perlu diatur dalam RUU KIA karena tidak sedikit ibu yang merasa jenuh dan kelelahan ketika mengurus anak, terutama bayi yang baru lahir. Kelelahan ibu tersebut terjadi karena kurang mendapat dukungan dari suami ataupun lingkungan di sekitar keluarga.
Psikolog anak dan remaja Mutia Aprilia menambahkan, sejumlah negara di Eropa telah membuat kebijakan terkait cuti untuk ayah dengan jangka waktu yang cukup lama. Kebijakan seperti dalam UU KIA ini diberlakukan karena negara-negara tersebut merasakan manfaat untuk keluarga hingga tempat kerja dari pola pengasuhan yang dilakukan dua orang, yakni ibu dan ayah.
”Anak akan diuntungkan ketika kedua orangtua terlibat dalam proses pengasuhan. Sebab, cara mengasuh anak terkadang berbeda antara ayah dan ibu. Ayah terkadang mengajak bermain anak untuk lebih aktif yang bisa membuat mereka bisa lebih percaya diri,” tuturnya.