”Tadi Bapak Presiden juga appeal (memohon) kepada Norwegia untuk memberi pemahaman dan persepsi yang tepat agar tidak terjadi diskriminasi terkait dengan sawit,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar seusai mendampingi Presiden Jokowi menemui Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia Eriksen.
Selain Siti Nurbaya, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga turut mendampingi Presiden menerima Eriksen. Adapun Eriksen didampingi Duta Besar Norwegia untuk Indonesia dan Timor Leste Rut Kruger Giverin.
Tadi Bapak Presiden juga appeal (memohon) kepada Norwegia untuk memberi pemahaman dan persepsi yang tepat agar tidak terjadi diskriminasi terkait dengan sawit.
Dalam pertemuan itu, Presiden Jokowi juga menyampaikan mengenai penghutanan kembali yang sudah ditangani dengan baik. Hal lain yang dibahas adalah soal regulasi bebas deforestasi Uni Eropa atau EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) yang dinilai merugikan Indonesia.
”Jadi, Indonesia juga mengkritisi metode land inventory-nya dan ini sedang terus kita kerjakan,” ujar Siti.
Terkait dengan hal ini, Eriksen mengatakan bahwa sesungguhnya semua negara memiliki tujuan sama, memanfaatkan sumber daya hayati yang berkelanjutan. Untuk itu pula, Indonesia dan Norwegia bekerja sama.
”Dan, kami bisa menyoroti kerja sama ini supaya seluruh Eropa bisa melihat ketika kami diskusi dengan negara-negara Eropa lainnya. Juga, penggunaan citra satelit resolusi tinggi (high resolution satelite imagery) bisa dimanfaatkan untuk verifikasi dari mana sumber daya hayati itu berasal dan ini akan jadi cara yang bagus untuk menunjukkan kepada negara-negara Eropa bahwa Indonesia mendapatkan (minyak sawit) dengan cara yang berkelanjutan,” tutur Eriksen dalam bahasa Inggris kepada wartawan seusai pertemuan.
Sebelumnya, Eriksen juga menyinggung perluasan kerja sama Indonesia dan Norwegia terkait penghutanan kembali. Dia mengatakan, Pemerintah Norwegia menyediakan citra satelit resolusi tinggi yang bisa dimanfaatkan untuk program reboisasi. Untuk pemanfaatan citra satelit ini, pelatihan untuk staf profesional sudah berjalan.
Kunjungi Bukit Lawang
Sebelum bertemu Presiden Jokowi, pada Sabtu (1/6/2024) Eriksen bersama Siti Nurbaya dan Sri Mulyani mengunjungi Bukit Lawang yang menjadi bagian Taman Nasional Gunung Leuser. Sri Mulyani membagikan cerita perjalanannya ke Bukit Lawang di akun media sosialnya.
”Perjalanan ini untuk meninjau dana hibah dari Pemerintah Kerajaan Norwegia yang dikelola BPDLH (Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup) dimanfaatkan untuk peremajaan dan pengelolaan kawasan Bukit Lawang. Kawasan ini rumah bagi 28 orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang sangat langka,” tulisnya.
Eriksen pun menyebut kunjungan ke Bukit Lawang sangat menarik karena pemandangannya yang indah. Ia juga merasa beruntung karena dalam perjalanan itu bertemu orangutan. ”Ini semakin menunjukkan bahwa kita harus menjaga kawasan itu,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Dia juga terkesan ketika bertemu dengan masyarakat setempat yang memiliki proyek pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, dia menyambut baik kerja sama lebih lanjut antara Indonesia dan Norwegia.
Kunjungan ini juga menunjukkan komitmen Indonesia dalam menurunkan deforestasi dan mendukung pencapaian Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan. Saat ini, kerja sama Indonesia dan Norwegia dalam pendanaan berbasis kontribusi (result-based contribution) untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) telah dijalankan.
Siti menjelaskan, cakupan kerja sama Indonesia dan Norwegia dalam FOLU Net Sink 2030 cukup luas. ”Dukungan kontribusi sejak tahun lalu sampai sekarang sudah 156 juta dollar AS dan masih akan terus bertambah, tergantung forestasi kita dalam agenda REDD+ yang makin baik. Jadi, kontribusi itu adalah reward kepada kinerja,” tuturnya.
Dukungan kontribusi Norwegia itu setara dengan 30,2 juta emisi karbon yang bisa dikurangi.
Siti mengklaim, setiap tahun Indonesia bisa mengurangi emisi karbon secara cukup signifikan. Pada tahun 2020, emisi karbon bisa turun 945 juta ton, tahun 2021 sebanyak 889 juta ton, tahun berikutnya 2022 sebanyak 875 juta ton. Untuk tahun 2023, penurunan emisi masih dihitung, tetapi Siti memperkirakan masih di atas 810 juta ton.
Karena itu, penurunan emisi karbon Indonesia selalu di atas 40 persen. Capaian ini dinilai jauh lebih baik dari target komitmen penurunan emisi 31,89 persen.
”Kalau ada kerja sama internasional, (penurunan emisi karbon) bisa 43 persen targetnya. Yang diberikan oleh Norwegia seperti yang disampaikan Ibu Menkeu tadi, prestasi kita, kinerja kita itu memang sesuatu, tetapi memang dia cuma bisa kasih kita penilaian itu untuk 30,2 juta ton, padahal kita nurunin (emisi karbon)nya 800 juta lebih," tambah Siti.
Melihat kondisi tersebut, Siti menegaskan, masih ada ruang untuk dukungan dari sejumlah pihak. Kinerja baik ini diharapkan juga mendapatkan apresiasi.
Sri Mulyani menambahkan, kontribusi Norwegia baru bisa direalisasikan bila ada kinerja nyata Indonesia dalam menurunkan deforestasi. Dana ini dikelola oleh BPDLH (Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup) atau Indonesia Environmental Fund.
BPDLH di bawah Kementerian Keuangan dengan pengarah Menteri LHK dan menteri lainnya, menurut Sri Mulyani, sudah dipercaya oleh kalangan internasional sebagai institusi yang mampu memanfaatkan dana tersebut secara efisien, akuntabel, dan transparan. Hal ini setidaknya terlihat dari penerimaan hibah dari Bank Dunia dan filantropi lain. Selain itu, BPDLH juga mengelola dana APBN, yakni dana bencana untuk pencegahan yang berjumlah Rp 7,5 triliun.
Sementara itu, sebagai langkah konkret dari kerja sama dengan Norwegia, Pemerintah RI akan segera menyusun agenda-agenda kerja partisipatoris dari para pemangku kepentingan. Siti mengatakan, pemerintah akan memperbanyak kerja sama dengan akar rumput untuk menekan defortasi. Penanaman hutan kembali akan melibatkan sekolah, kemitraan konservasi, UMKM berbasis hasil hutan, dan lainnya.
”Sekarang sudah dilaksanakan, terutama tanam pohon, tetapi akan kita perluas, sambil mendukung kesejahteraan masyarakat. Artinya, kerja mitigasi iklim harus berbarengan atau embedded dengan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.